Kisah di Balik Secangkir Kopi Potorono, Konservasi Hutan dan Upaya Peningkatan Ekonomi Warga Sambak

TRIBUNNEWS.COM – Aroma kopi mulai tercium saat Muhammad Kurniadi membuka toples berisi biji kopi sangrai di Pondok Kopi Potorono, Desa Sambak, Kabupaten Magelang, Senin 15 April 2024.

Aroma kopi semakin pekat saat Kurniadi menggiling biji kopi lalu memasukkannya ke dalam mesin pembuat kopi V60.

Ketika air panas dituangkan dari teko gooseneck, aroma khas kopi membubung memenuhi ruangan seiring dengan jatuhnya cairan kopi ke dalam teko.

Usai mengaduk kopi di dalam teko agar tercampur rata, barista Kurniadi menuangkannya ke dalam cangkir keramik.

“Kopi Potorono memiliki aroma dark chocolate, gula merah, dan sedikit rasa rempah, seperti kapulaga,” jelas Kurniadi.

Kurniadi mengatakan, secangkir kopi Potorno hanya dengan metode seduh V60 dibanderol dengan harga Rp 10 ribu.

Namun kami bisa menjamin kualitas secangkir kopi yang disajikan adalah yang terbaik, karena sejak ditanam hingga saat disajikan, sudah memiliki standar tersendiri, ”ujarnya.

Kopi yang disajikan di Pondok Kopo Potorono merupakan kopi Robusta yang dipanen oleh warga Desa Sambak, Kabupaten Magelang.

Kopi yang ditanam di Bukit Potorono di bawah naungan pohon pinus dan mahoni juga dipercaya memperkaya cita rasa kopi Potorono.

Selain itu, para produsen kopi di desa Sabak hanya mengumpulkan biji kopi yang sudah masak di pohonnya atau buah kopi yang berwarna merah.

“Sejak awal, kepala desa mengajarkan kami untuk hanya memetik buah ceri merah yang benar-benar matang untuk menjaga kualitasnya,” kata Kourniadis. Petani kopi Desa Sambak hanya memetik biji kopi matang atau buah kopi merah sebagai upaya menjaga kualitas kopi Potorono (TribunSolo/Imam Saputro)

Pengendalian mutu secara berkesinambungan juga dilakukan pada pemilihan biji kopi sebelum dikupas.

Biji kopi merah direndam terlebih dahulu dalam air untuk memilih biji yang berlubang, pecah atau bentuknya tidak sempurna.

Kemudian pada saat proses pengeringan, para produsen kopi Desa Sambak selalu menggunakan tembok pembatas bambu agar kopinya tidak terekspos langsung ke tanah atau aspal.

“Sangat penting untuk memastikan kopi tidak terkontaminasi bau pada saat proses pengeringan, karena kopi sensitif terhadap bau lingkungan, jika dijemur di aspal maka kopi akan berbau aspal,” jelas Kunyadi.

Kopi Potorono yang diberi nama sesuai tempat penanamannya, Bukit Potorono, dijual dengan harga Rp 17.000/100 gram atau Rp 170.000/kg.

“Sekarang pesanan sudah sampai ke Kalimantan, kami juga sudah mengirim hampir seluruh Jawa dan Bali,” ujarnya.

“Kami juga sudah mengekspor ke luar negeri, namun belum bisa rutin karena kewalahan melayani pesanan dalam negeri,” imbuhnya.

Kurniadi menyatakan, kopi Potorono dikenal sebagai kopi Robusta yang tetap terjaga kualitasnya sehingga digemari banyak pecinta kopi.

Kopi Potorono juga kerap mewakili Kabupaten Magelang di berbagai pameran FnB (Makanan dan Minuman). Upaya konservasi hutan membawa manfaat ekonomi

Di balik kesegaran kopi Potorono terdapat peran Kepala Desa Sambak Dahlan yang memperkenalkan kopi tersebut kepada warganya.

Dahlan, pria kelahiran Kabupaten Temanggung, salah satu daerah penghasil kopi terkenal di Jawa Tengah, merasa prihatin melihat hutan negara di Bukit Potorono terbengkalai.

“Tahun 2007 saya jadi kepala desa, tahun 2008 saya mulai berpikir, lahannya 66 hektar, tapi kenapa yang ditanam hanya rumput untuk pakan ternak? Akhirnya terpikir untuk mencoba menanam kopi, karena saya sudah punya pengalaman di kampung halaman. ” Karena ketinggiannya, curah hujan di Sambak dan Temanggung serupa,” kata Dahlan.

Dahlan kemudian bekerja sama dengan instansi terkait untuk memulai pengembangan perkebunan kopi di Hutan Negara Bukit Potorono yang dikelola oleh Perhutani.

“Kemitraan masyarakat dengan Perhutani disebut Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), di Sambak disebut LMDH Wana Hijau Lestari,” jelas Dahlan.

Tugas LMDH Wana Hijau Lestari adalah mengelola hutan agar menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial ekologis untuk kepentingan masyarakat, dengan kewajiban menjaga hutan dari kerusakan.

Setelah berdirinya, LMDH Wana Hijau Lestari mengelola lahan hutan negara seluas 96,4 hektar dengan membagi lahan tersebut menjadi kemitraan antara pengelola dan petani.

“Peternak berhak mendapatkan pakan untuk kebutuhan hewan ternaknya, dan menjadi kewajiban petani untuk menjaga lahannya dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” kata Dahlan.

“Tapi kok hanya rumput yang dijadikan pakan ternak? Makanya saya ajukan usulan menanam kopi di bawah pohon tegakan di hutan negara,” imbuhnya.

Penanaman kopi di hutan negara sudah dilakukan sejak tahun 2018, sementara perhatian terhadap pelestarian hutan negara di Bukit Potorono terus berlanjut.

“Itu pun belum berhasil, pada masa kepemimpinan saya belum ada yang bisa panen, kita mulai bisa panen hasilnya pada tahun 2014,” jelasnya.

Dahlan menerapkan kedisiplinan kepada petani kopi di Desa Sambak dengan hanya memanen buah kopi yang sudah masak di pohonnya atau cherry merah.

“Saya sengaja mengajarkannya dari awal untuk menjaga kualitas kopi Potorono,” ujarnya.

Petani Desa Sambak akan dapat menikmati manfaat ekonomi dari penjualan kopi pada tahun 2019.

Panen biji kopi di Cerro Potoronó mulai menunjukkan hasil yang menggembirakan.

“Mulai tahun 2019 kita mulai panen cherry merah coklat dalam jumlah besar, dari 2,5 ton sampai puncak tahun 2021 kita dapat 21 ton cherry merah coklat,” kata Dahlan bangga.

Buah ceri merah yang diolah menjadi bubuk kopi atau biji kopi sangrai umumnya menyusut dengan laju 4 berbanding 1.

“Tahun 2021 cherry merah terjual 21 ton, biji kopi dan kopi bubuk sekitar 6 ton, kami jual 170.000 per kilo,” ujarnya.

Diakui Dahlan, para produsen kopi Sambak kini bisa menikmati hasil pengelolaan hutan negara yang sebelumnya hanya menanam rumput untuk pakan ternak.

“Sekarang alhamdulillah selain masyarakat Sabak menjadi petani padi dan pembuat tahu, ada tambahan penghasilan dari kopi,” ujarnya.

Dahlan berharap Desa Sambak bisa menjadi percontohan bagi desa-desa lain dalam memanfaatkan Bukit Potorono.

“Lahan yang ditanami kopi saat ini hanya sebatas lahan Desa Sambak, sedangkan Bukit Potorono mencakup banyak desa. Kami berharap desa-desa lain dapat mengambil manfaat dari Potorono karena iklim dan tanahnya cocok, kini kami sendiri kebanjiran pesanan kopi dari konsumen,” kata penyelesaian 3. Saat menerima paket baru, Kepala Desa Sambak Dahlan menunjukkan paket kopi Potorono yang baru (kanan) dibandingkan paket sebelumnya (TribunSolo/ Imán Saputro)

Kopi Sambak Village Potorono juga baru saja mendapatkan kemasan baru berupa wadah plastik dengan penutup zip dan logo yang lebih modern.

“Kami baru mendapat kemasan baru, sebelumnya masih menggunakan kertas yang ada stikernya, kemarin dari BRI ada bantuan kemasan plastik yang lebih modern dan awet karena ada resletingnya,” ujarnya.

Desa Sambak masuk dalam 15 desa BRIL tahun 2021 sehingga mendapat perhatian lebih dari BRI sebagai desa binaan bank pelat merah tersebut.

Pada tahap awal, Desa Sambak menerima 500 paket baru untuk mendukung Kopi Potorono selama pameran dan pengiriman luar kota.

Dahlan berharap Kopi Potorono dapat memberikan penghasilan tambahan kepada masyarakat Desa Sambak, selain ikut aktif dalam pelestarian hutan negara di Bukit Potorono.

“Sekarang kita sudah mulai bisa menikmati hasilnya, tinggal bagaimana kita menjaga produksi dan kualitasnya,” tutupnya. BRI berkomitmen membangun negeri melalui BRILiaN Village

Direktur Eksekutif Regional BRI Yogyakarta John Sarjono dalam keterangan tertulisnya mengatakan, terdapat 320 desa BRILiaN yang berada di wilayah kantor wilayah Yogyakarta.

John Sarjono menyampaikan Desa BRILiaN merupakan program inkubasi desa yang bertujuan untuk menghasilkan teladan dalam pembangunan desa dengan menerapkan praktik kepemimpinan desa yang unggul dan semangat gotong royong.

“Pemberdayaan pedesaan merupakan permasalahan yang perlu mendapat perhatian, mengingat pembangunan desa di Indonesia relatif belum merata,” ujarnya.

Aksi pemberdayaan baik terhadap pelaku usaha perorangan maupun lembaga pedesaan telah dilakukan BRI melalui program Desa BRILiaN sejak tahun 2020.

Desa-desa yang tergabung dalam program Desa BRILiaN diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi kemajuan desa yang dapat direplikasi di desa-desa lainnya.

“Kami fokus membantu desa-desa untuk meningkatkan apa pun potensi yang ada di daerahnya, dengan tujuan tentunya untuk mengembangkan desa lebih baik lagi,” ujarnya.

Bantuan yang diberikan BRI juga dilakukan secara berkesinambungan.

“Desa-desa yang telah mengikuti program Desa BRLIan akan mengikuti Program Pendalaman Desa BRLIan sehingga pendampingan dapat terus kami berikan,” pungkas John Sarjono.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *