Keluh Kesah Buruh Perempuan Saat Aksi May Day 2024, Kritik UU Cipta Kerja Hingga Biaya Pendidikan

Laporan reporter Tribunnews.com Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Eliza dan Iyoh merupakan dua dari ribuan buruh yang mengikuti perayaan Hari Buruh Internasional atau May Day 2024 di dekat Tugu Kuda Arjun Wiwaha di pusat kota Jakarta pada Rabu (5 Januari 2024).

Eliza mengaku khawatir akan kesulitan mencari pekerjaan di masa depan.

Kekhawatiran Eliza tercermin dari banyaknya pekerja yang dirumahkan (PHK) di berbagai pabrik.

Eliza yang bekerja di pabrik sepatu mengaku takut dengan penerapan omnibus law hak cipta.

Selain itu, ia juga tertarik menerapkan sistem kerja outsourcing.

Selain itu, Eliza juga mengaku prihatin dengan maraknya praktik kecurangan dalam mendapatkan pekerjaan.

“Jika UU Omnibus (penciptaan lapangan kerja) diberlakukan, kami akan sangat sedih karena akan datang generasi penerus. Sementara itu, mencari pekerjaan sangatlah sulit. Ini adalah era outsourcing. Bahkan kontrak kerja hanya tersisa 2-3 bulan saja. Sementara kami membutuhkan sumber pendapatan tetap untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Eliza.

Meski begitu, Eliza yang sudah tiga tahun bekerja di pabrik Tangerang itu mengaku sedikit risih karena berstatus pegawai tetap.

Ia pun mengaku merasa nyaman dengan pekerjaannya saat ini.

Di sisi lain, menurut Eliza yang masih lajang, masih banyak pengangguran yang mencari pekerjaan.

“Masih banyak pengangguran yang berusaha mencari pekerjaan. “Tidak masalah kalau bisa (status) pegawai tetap, bahkan mendapatkan kontrak saja susah sekali,” ujarnya.

Oleh karena itu, ia berharap perekonomian nasional ke depan tetap stabil sehingga mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak.

Selain persoalan penerapan omnibus law cipta kerja, khususnya aturan pesangon, Iyoh yang 10 tahun bekerja di pabrik yang sama dengan Eliza juga punya kekhawatiran tersendiri.

Keseharian Iyoh yang menjahit dan mengikat tali sepatu lebih berkaitan dengan biaya pendidikan kedua anaknya yang kini duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).

“(Belanja pendidikan) itu mahal. Jangan tanya. Apalagi jika hal ini terjadi di kota. Belum lagi mengeluarkan uang untuk itu setiap hari. Apalagi kalau tidak sempat menemani harus naik ojek online,” kata Iyoh.

Iyoh mengatakan, hingga saat ini dirinya belum menerima tunjangan pendidikan dari perusahaan tempatnya bekerja karena telah menyetujui kontrak dengan perusahaan tersebut.

Meski demikian, Iyoh berharap kedepannya pihak perusahaan mampu menanggung biaya pendidikan anak-anaknya.

“Saya sangat menginginkan ini, sungguh. Itu tidak buruk,” katanya.

Namun keduanya mengaku sejauh ini perusahaan belum melakukan pemotongan gaji secara khusus.

Keduanya mengaku selama ini hanya iuran BPJS dan serikat pekerja yang dipotong gajinya.

Mereka berdua juga mengaku bekerja 8 jam sehari dan mendapat libur dua hari dalam seminggu, yakni Sabtu dan Minggu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *