TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kekhawatiran akan kehadiran satelit orbit rendah seperti Starlink tidak hanya dikritisi oleh penyedia layanan telekomunikasi dari sudut pandang persaingan bisnis.
Namun keberadaan Starlink juga dipandang oleh sebagian pihak sebagai ancaman terhadap kedaulatan siber Indonesia dan kemungkinan meningkatkan risiko separatisme di Papua.
Lembaga yang telah melakukan penelitian mengenai kedaulatan siber dan potensi risiko separatisme di Papua adalah Sekolah Kajian Strategis dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (SKSG UI).
Dalam penelitian yang dipublikasikan beberapa waktu lalu, Muhamad Syauqillah, Ketua Program Studi SKSG UI, menjelaskan jika satelit berteknologi Low Earth Orbit Satellite (LEO) tidak bekerjasama dengan perusahaan telekomunikasi di Indonesia, maka akan meningkatkan risiko terhadap kedaulatan siber. . dan potensi risiko separatisme di Papua.
Hal ini dikarenakan Starlink tidak memiliki NOC, Gateway dan IP Address.
Hingga saat ini Starlink belum pernah ingin membangun NOC, Gateway, dan alamat IP di negara yang dilayaninya. Semua peralatan telekomunikasi berlokasi di Amerika.
Selain itu, Starlink menggunakan teknologi Inter Satellite Link (ISL) dalam pengoperasiannya. Dengan teknologi ini, seluruh data telekomunikasi yang muncul di Starlink dicatat dan dikelola langsung di Amerika.
Karena semua peralatannya tidak ada di Indonesia, maka penguasaannya ada di negara lain. Akibatnya, aparat penegak hukum di Indonesia akan kesulitan memantau dan mengendalikan Starlink.
Teknologi ISL ini memungkinkan Starlink untuk melewati gateway Internet Indonesia, sehingga negara tidak memiliki kedaulatan untuk menerapkan kebijakan Internet seperti kepercayaan positif dan kewajiban hukum penyadapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.
“Dari sudut pandang ini, kami melihat Indonesia sebagai negara yang berdaulat penuh tidak memiliki kedaulatan siber bagi badan usaha yang berbisnis di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian yang telah dilakukan adalah jika Starlink ingin beroperasi di Indonesia, sebaiknya mereka tidak menjual produk apa pun. “Jika ingin menjalankan bisnis, Starlink dapat bermitra dengan penyedia layanan telekomunikasi yang ada di Indonesia,” kata Syauqillah.
Syauqillah membenarkan, prosedur dan mekanisme pengajuan izin jasa telekomunikasi dibuat oleh Kemenkominfo.
Bagi badan usaha yang ingin menjalankan usaha jasa telekomunikasi, regulator mewajibkan memiliki NOC, server, hub dan NMS (Network Monitoring System).
Selain itu, harus menggunakan nomor sistem otonom (AS) dan alamat IP di Indonesia. Perangkat ini bukan sekedar boneka. Namun kehadiran fisiknya harus ada dan berlokasi di Indonesia. Tujuannya adalah untuk mendukung penyadapan hukum.
Jika Starlink masih enggan memenuhi seluruh persyaratan dan prosedur tersebut, Syauqillah yakin kerja sama dengan penyedia jasa telekomunikasi bisa menjadi jalan tengah dalam menawarkan layanan telekomunikasi di Indonesia.
“Starlink hanya mematuhi seluruh mekanisme dan prosedur yang ditetapkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Semua prosedur ini harus menjadi acuan bagi semua perusahaan telekomunikasi yang ingin berinvestasi di Indonesia. “Jika Starlink beroperasi di Indonesia tanpa mematuhi semua mekanisme dan prosedur yang berlaku di Indonesia tidak akan memiliki kedaulatan siber dan hal ini berpotensi menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional,” kata Syauqillah.
Pemerintah tidak hanya mempertimbangkan potensi investasi yang muncul dari kehadiran Starlink di Indonesia. Syauqillah mengatakan pemerintah juga harus bisa memperhitungkan keamanan, pertahanan, dan ancaman separatisme di Papua jika ingin mengizinkan Starlink.
“Mengingat situasi geopolitik regional dan global yang sedang panas, pemerintah sebagai negara berdaulat hendaknya lebih tegas dalam menerapkan prosedur dan mekanisme pengajuan izin Starlink. Oleh karena itu, lingkungan strategis harus diperhitungkan ketika memberikan izin kepada Starlink. Kita tidak bisa menutup mata terhadap dinamika geopolitik dalam pemberian izin kepada Starlink. “Pemerintah tidak boleh hanya mempertimbangkan potensi investasi tanpa mempertimbangkan lingkungan strategis dan dinamika geopolitik saat ini,” kata Syauqillah.
Syauqillah menegaskan, penyelidikan SKSG UI terhadap Starlink tidak berpotensi anti investasi di sektor telekomunikasi, dan juga tidak melawan Elon Musk.
Riset SKSG UI merekomendasikan, selain melihat potensi investasi ke depan, pemerintah juga harus mempertimbangkan permasalahan kedaulatan negara dan keamanan, pertahanan serta ancaman separatisme di Papua yang ditimbulkan oleh kehadiran Starlink.
Menurut Syauqillah, penelusuran terhadap SKSG UI serta seluruh persyaratan dan tata cara pengajuan izin penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang dilakukan Kemenkominfo bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. Semua itu merupakan kebutuhan strategis untuk menjaga kedaulatan Indonesia.
Syauqillah mengatakan, pemerintah kini harus pintar mencari titik keseimbangan antara menarik investasi di sektor telekomunikasi dan kebutuhan strategis nasional.
“Riset SKSG UI menyimpulkan bahwa poin strategis ini bisa terjadi jika Starlink ingin berbisnis di Indonesia, perlu menjalin kerja sama dengan perusahaan di Indonesia. Kerja sama ini dapat memenuhi kebutuhan keamanan dan pertahanan nasional. Agar potensi investasi di Indonesia tidak terancam kedaulatan dan keamanan nasionalnya, kata Syauqillah. Proses di IKN
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengungkapkan Starlink telah mengajukan izin penyelenggaraan ruang.
RUANG
Menkominfo menegaskan Starlink harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk memenuhi persyaratan beroperasi di Indonesia.
Kedepannya Starlink akan melakukan uji coba di Ibu Kota Negara (IKN).
“Di IKN (Starlink) dia akan melakukan uji coba dan mengerjakan jadwalnya (jadwal uji coba layanan Starlink tahun 2024),” kata Menkominfo dalam keterangannya, dikutip Kamis (4/4/2024).
Menurut Budi Arie, pemerintah membuka peluang bagi perusahaan telekomunikasi, baik nasional maupun global, untuk berinvestasi dan mengembangkan ekosistem digital di Indonesia.
“Kita lihat saja perkembangannya. Yang penting kita harus menciptakan perusahaan yang adil, level playing field dan semua orang harus mengikuti aturan yang ada,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Wayan Toni Supriyanto mengatakan, dalam proses perizinan operasionalnya, Starlink telah membangun hub dan memenuhi standar peralatan Direktorat Jenderal Sumber Daya Pos dan Informatika.
“Jadi ada kemungkinan sudah memenuhi VSAT. Kalau internet (ISP) harus kerja sama dengan NAP, mungkin perjanjian kerjasamanya belum final,” kata Wayan Toni.
Dirjen PPI Kominfo membenarkan adanya perbedaan posisi antara Starlink Global dan Starlink Indonesia. Menurutnya, Starlink Indonesia merupakan bagian dari penyedia telekomunikasi di Indonesia.
“Mereka global, Starlink sendiri. Kalau Starlink Indonesia punya lisensi VSAT dan ISP, maka akan terlihat seperti penyelenggara di Indonesia. “Mereka beli peralatan dan internetnya dari Starlink Global, jangan sampai tertukar, jadi terpaksa membangun hub di sini,” ujarnya.