Jaga Kelestarian Alam, Batik Tulis Giri Wastra Pura Pakai Pewarna Alami hingga Pembayaran Non-Tunai

TRIBUNNEWS.COM – Saat memasuki Galeri dan Rumah Produksi Batik Tulis Giri Vastra Pura di Desa Girilayu, Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah, Anda langsung merasakan indahnya suasana.

Pepohonan yang lebat menghalangi sinar matahari, sehingga meski jam menunjukkan pukul satu siang, suasana terasa sejuk.

Di atap rumah, empat orang perempuan sedang melukis lilin sambil bersandar pada kain berlubang.

Lilin panas berwarna coklat keemasan disebarkan di atas penggorengan kecil, yang diambil dengan bantuan mesin miring dan kemudian dipotong menjadi pola pada kain.

Partinah, Ketua Kelompok Batik Tulis Givi Vastra Pura (GWP), mengatakan, Selasa (22/4/2024), “Goresannya bisa mulus karena udara di sini dingin. Batik Yatra tertulis Giri Vastra Pura (GWP) melestarikan warisan budaya kuno. (Mimbar Berita/Wahyu Gilang Putranto)

Udara dingin, lanjutnya, dapat menyebabkan wax atau lilin menempel pada kain dalam bentuk garis-garis tipis.

“Ada alasan mengapa batik tulis populer di sini, karena garis-garisnya bisa tipis di malam hari,” ujarnya.

Partina menampilkan beberapa motif yang masih dilestarikan sebagai identitas batik Girilayu, yaitu motif tugu Tri Dharma, motif manggis, dan motif durian. Monumen Tri Dharma (kiri), terletak di Astana Mangadeg, Girilyu, Matesih, Karanganayar, pemandangan corak batik khas Giri Vastra Pura (kanan). (Mimbar Jawa Tengah/Ist)

Ketiga motif inilah yang menjadi ciri khas batik tulis asal Desa Girilyu, Mateseh, Karanganyar selama ratusan tahun.

Proses pembuatan batik tulis yang dilakukan di kelompok GWP juga menggunakan bahan-bahan alami.

“Untuk warna kami menggunakan bahan alami, ada kayu secang dan daun nila, selama ini kami menggunakan bahan alami,” ujarnya.

Batik Girilyu sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka, sehingga tak heran jika penggunaan bahan alami menjadi pilihan utama.

“Tidak ada yang sintetis, jadi nenek saya mengajari saya menggunakan sekang, ketapang,” jelasnya.

Partinah dan kelompok Batik tulis GWP masih menggunakan bahan-bahan alami hingga saat ini.

Kertas daur ulang juga digunakan untuk kemasan batik jadi.

Selain itu, Batik Tulis GWP juga mulai mengadaptasi penggunaan pembayaran non tunai untuk ikut dalam gerakan konservasi dengan mengurangi penggunaan uang kertas.

“Pada masa pandemi, kami mulai menggunakan QRIS BRI karena kami merupakan salah satu UMKM binaan BRI sehingga dapat memberikan perlindungan kesehatan dan mengurangi penggunaan uang kertas,” jelasnya.

Uang kertas akan berumur panjang jika peredarannya diminimalisir sehingga memberikan kontribusi terhadap lingkungan khususnya kertas.

Selain itu, transaksi yang masuk akan dikelola dengan lebih baik tanpa harus menuliskannya di atas kertas seperti sebelumnya. Kolase Karis dalam Batik Tulis Givi Vastra Pura (DOK. Istimewa).

“Tiba-tiba ada banyak uang di rekening,” kata Partina sambil tersenyum.

Sekitar separuh pembeli batik GWP sudah menggunakan pembayaran non tunai, kata Partina.

“Karena praktis dan cepat, masyarakat saat ini hanya membawa sedikit uang, apalagi jika memesan batik dalam jumlah banyak, biasanya melalui transfer bank atau QRIS,” ujarnya.

Batik Girilyu sudah ada sejak awal mula Mangkunegaran

Mangkunegra telah menjadi sentra perajin batik sejak jaman dulu atau sekitar tahun 1775.

Tradisi membatik ini telah diwariskan secara turun temurun sejak sebelum Indonesia merdeka dan erat kaitannya dengan Kadipaten Praja Mangkunegran Solo.

Batik Girilayu erat kaitannya dengan Mangkunegran karena secara regional Girilayu sangat dekat dengan banyak situs penting Mangkunegran.

Misalnya raja Mangkunegran yang dimakamkan di Astana Mangdeg di Girilayu.

Astana Mangdeg berisi makam Raden Mas Said atau Pangeran Sembarniovo, adipati pertama Praja Mangkunegran.

Girilyu Astana juga tidak jauh dari makam presiden kedua R, Soeharto di Giribangun, yang juga berkerabat dekat dengan Mangkunegaran.

Konon nenek sudah membatik sejak Mangkunegaran I, dimulai dari membatik. Pola dan warna dipelajari secara turun temurun, kata Partinah.

Partina, generasi keempat keluarganya yang menggeluti batik, mengatakan Desa Girilyu memiliki puluhan kelompok batik yang membawahi puluhan perajin di setiap kelompoknya.

“Sistemnya di Girilayu ada kelompok batik. Misalnya kalau ada pesanan dalam jumlah besar, biasanya kami bekerja sama. Motif dan cara membatiknya hampir sama, karena diturunkan dari nenek moyang di desa tersebut. Girilayu. Itu sudah dilakukan,” ujarnya.

Partinah kini menjalankan kelompok batik bernama Batik Tulis Giri Vastra Pura (GWP).

Kelompok pembatiknya merupakan salah satu dari dua belas kelompok pembatik yang ada di Desa Girilyu.

“Mulai tahun 2019 ini kami akan membentuk kelompok batik untuk melestarikan warisan budaya yaitu batik tulis. Kebanyakan ibu-ibu yang membatik,” ujarnya.

Dikatakannya, warga Desa Gilayu tadinya adalah pekerja batik.

Mereka membatik di rumah masing-masing dan kemudian mengirimkan batik setengah jadi tersebut ke Solo.

Namun warga Desa Girilyu kini bisa membatik secara mandiri dan memasarkan karyanya.

“Dibuat di sini (Girilayu) lalu dikirim ke Solo untuk proses finishing atau pewarnaan, namun kini perempuan bisa mengerjakan pola kainnya, hingga diwarnai dan dipasarkan,” ungkapnya

“Saya kerjakan di rumah untuk saben (kerja sampingan), nanti kalau PR bisa kerja. Jadi saya dapat uang setelah selesai sepotong kain,” ungkapnya.

Partina mengatakan, proses pembuatan batik tulis memakan waktu sekitar 6 hingga 8 bulan.

Proses pengerjaan yang panjang dan teliti membuat batik tulis cukup mahal.

Kain lembaran dengan panjang 2,6 meter dan lebar 1,2 hingga 1,5 meter dijual mulai Rp 600.000 hingga Rp 3,5 juta.

Cashless menjadi nilai tambah bagi UKM

Pembayaran non tunai dapat menciptakan nilai tambah bagi UKM, kata Suharno, ekonom tunggal di Universitas Salamet Riyadh (Unisari).

Saat dihubungi Tribun News, Soharno mengatakan, “Solo dan Karanganyar kini sudah menjadi destinasi wisata, banyak masyarakat yang berlibur dengan pembayaran nontunai.com, tercatat Tribunnews.com pada akhir Maret 2024 lalu.

QRIS juga memastikan transaksi berjalan cepat dan efisien. Karena jumlah faktur dan pembayaran sudah tetap, tidak perlu ada perubahan varians.

“Contohnya kuliner di Solo kebanyakan murah, misalnya beli davit atau tahok harganya 8.000, lebih cepat kalau di scan, lebih awal kalau pakai cash. harga dan lain sebagainya, kata Soeharno yang menuliskan 91 tips UMKM di kelas ini.

Hal ini juga berlaku untuk transaksi bernilai besar.

“Misalnya batik tulis bisa bernilai jutaan. Kalau langsung ke QRIS, pembelinya aman dan tidak perlu membawa uang banyak. Penjual pun langsung menyetorkan uangnya ke rekeningnya,” jelas Soharno. .

Selain itu, Suharno mengatakan, transaksi nontunai dapat membuat UMKM dapat mengelola keuangannya lebih terorganisir dan tercatat.

BRI dukung UKM go digital

John Sarjono, Regional CEO RO BRI Yogyakarta, mengatakan BRI membantu UMKM mengakses pembayaran digital melalui alat transaksi EDC (Electronic Data Capture) atau QRIS (Indonesian Standard Quick Response Code).

Di wilayah yang dikelola BRI Kantor Wilayah Yogyakarta, sebanyak 9.282 merchant yang menggunakan EDC BRI pada tahun 2022 dan 209.285 merchant yang menggunakan alat transaksi BRI QRIS.

Pada tahun 2023, sebanyak 10.296 pengusaha menggunakan EDC BRI dan 245.053 pengusaha menggunakan alat QRIS.

Hingga Februari 2024, jumlah UMKM pengguna EDC BRI sebanyak 11.309 UMKM dan pengguna QRIS sebanyak 264.456 UMKM.

Sementara nilai transaksi penggunaan QRIS meningkat dari tahun ke tahun.

“QRIS sebesar Rp 315 juta pada tahun 2022 dan ditutup pada tahun 2023 dengan kenaikan sebesar Rp 1,7 T,” kata John Sarjono dalam keterangan tertulisnya (*).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *