TRIBUNNEWS.COM – BPOM resmi mewajibkan pemberian label BPA pada galon air minum kemasan isi ulang melalui penerbitan Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024. Peraturan baru ini menggantikan peraturan BPOM sebelumnya Nomor 31 Tahun 2018 dan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran konsumen. Risiko kesehatan jika menggunakan kemasan plastik polikarbonat yang mengandung BPA.
Salah satu aspek penting dari peraturan baru ini adalah kewajiban untuk mencantumkan aturan penyimpanan pada label air minum dalam kemasan.
Label harus memuat tulisan “Simpan di tempat yang bersih dan sejuk, jauh dari sinar matahari langsung dan benda berbau menyengat” sesuai ayat 48 (1). Hal ini diharapkan dapat menjaga kualitas air minum dalam kemasan bagi konsumen dan mencegah kontaminasi yang tidak perlu.
Selain itu, pelabelan BPA juga menjadi fokus utama peraturan ini untuk mengatur produsen AMDK tertentu yang menggunakan plastik polikarbonat.
Mereka yang menggunakan plastik polikarbonat wajib membawa label AMDK yang menyatakan bahwa “dalam keadaan tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA ke dalam air minum dalam kemasan”. Informasi ini penting bagi konsumen untuk diketahui agar lebih berhati-hati dalam menggunakan dan menyimpan air minum dalam botol galon isi ulang.
Hal ini mendapat sambutan positif dari para pakar dan YLKI
Peraturan BPOM tentang tata cara penyimpanan dan pelabelan AMDK mendapat sambutan positif dari para Farmakolog dan anggota Yayasan Konsumen Indonesia (YLKI).
Profesor Apoteker. Junaidi Khotib, S.Si., Apt., M.Kes., Ph.D menyatakan, pemberian label BPA pada air minum dalam kemasan merupakan langkah positif untuk melindungi kesehatan masyarakat.
Ia menjelaskan, BPA merupakan senyawa kimia sintetik yang dikenal luas sebagai pengganggu endokrin aktif. Senyawa tersebut mirip dengan senyawa endogen dalam tubuh, termasuk beberapa hormon yang dapat berikatan dengan reseptor hormon. Pengikatan endokrin pada reseptornya akan memastikan fungsi fisiologis terjadi dengan benar.
Namun jika fungsi fisiologis ini terganggu oleh BPA, maka keadaan fisiologis tersebut menjadi keadaan patofisiologis. Beberapa referensi menunjukkan dampak langsung dari gangguan endokrin seperti diabetes, hipertensi, kesuburan, kanker, dan gangguan jiwa Tribunnews (1/7/2024).
Dalam studi yang dilakukan kelompoknya, menilai dampak paparan BPA terhadap kesehatan mental menunjukkan bahwa paparan BPA pada tingkat yang berbeda-beda dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan gangguan perilaku seperti keterampilan motorik dan fungsi gerak, keseimbangan dan pembelajaran. . Memori pada hewan.
“Perubahan perilaku ini disebabkan oleh perubahan struktur sel saraf, kemampuan berdiferensiasi dan proses pematangan, serta produksi neurotransmiter,” tambahnya.
Dengan adanya peraturan BPOM yang baru ini, Prof. Junaidi berharap produsen bisa lebih transparan dalam memberikan informasi penting mengenai BPA pada label produknya. Dari sisi konsumen, masyarakat dapat memilih produk yang menjamin kesehatan dan mencegah penyakit terkait endokrin.
“Dengan berbagi informasi terkini yang sedang dikembangkan terkait pelepasan BPA dari kemasan polikarbonat dan hadirnya peraturan BPOM tentang pelabelan, saya yakin hal ini akan membuka ruang edukasi yang cukup bagi masyarakat untuk memilih produk yang dapat menjamin kesehatan dan mencegah penyakit endokrin. penyakit terkait. Masyarakat akan bisa, tegasnya.
Menurut Prof. Junaidi, Pengurus Harian YLKI Tubagus Haryo pun menyambut baik aturan baru BPOM tersebut. Menurut dia, aturan ini berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8/1999 bertujuan untuk melindungi hak-hak konsumen.
“Peraturan ini merupakan langkah positif BPOM dalam upaya melindungi konsumen dari potensi risiko kesehatan akibat BPA. YLKI sangat mendukung peraturan BPOM ini karena sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen 8/1999 untuk memberikan informasi yang akurat dan aman. tentang produk yang digunakan bertujuan untuk melindungi hak konsumen termasuk hak mengambil,” kata Tubagus Haryo kepada Tribunnews.com (2/7/2024).
Namun YLKI berpesan kepada BPOM bahwa pelabelan dan pengendalian perilaku produsen AMDK melalui peraturan tersebut tidak cukup. BPOM perlu melakukan beberapa langkah untuk mensosialisasikan peraturan tersebut dengan baik, seperti: edukasi massal di berbagai media, workshop dan seminar, kerjasama dengan asosiasi industri, serta monitoring dan inspeksi distribusi produk AMDK.
Tubagus Haryo juga mengingatkan Peraturan BPOM no. 6 Tahun 2024 mungkin akan menimbulkan kontroversi dari konsumen dan produsen.
“Konsumen bisa jadi khawatir atau bingung produk mana yang aman, apalagi jika informasi yang diberikan tidak jelas. Sementara di pihak produsen, mereka mungkin mengalami kesulitan dalam penyesuaian proses produksi dan biaya tambahan untuk beralih ke kemasan bebas BPA, jelasnya.
Oleh karena itu, Tubagus Haryo mengajak semua pihak mulai dari lembaga pemerintah dan non-pemerintah, produsen dan masyarakat untuk saling bekerjasama dalam memberikan edukasi dan konsultasi mengenai Peraturan BPOM Nomor 11. 6 tahun 2024.***MAT***