Reporter Tribunnews.com Reynas Abdila melaporkan
Kerusuhan besar-besaran terjadi di beberapa kota di Inggris pekan lalu.
Insiden pelemparan batu, nyanyian slogan anti-imigran dan Islamofobia, terjadi di Liverpool, Manchester dan Hull, dan menyebar ke Belfast, Irlandia Utara.
Wahyudi Hansudi, warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Inggris, mengatakan situasi di kota-kota besar saat ini relatif baik.
Menurutnya, kehidupan normal masih berjalan sebagaimana mestinya tanpa perubahan drastis sejak terjadinya kerusuhan.
Sebab, kota (ibu kota) besar seperti London jauh dari tempat terjadinya kerusuhan, yaitu dua setengah hingga empat jam perjalanan dari London, Selasa, 08 Juni 2024 kepada Tribun Network, kata Wahyudi. .
Secara psikologis, masyarakat merasa tidak aman setelah terjadi kerusuhan antar kelompok tersebut.
Wahudi mengaku tak kuasa menahan rasa cemas saat hendak berjalan ke suatu tempat.
“Jika kita ingin mencapai tujuan yang kita inginkan, kita harus berpikir ulang,” katanya.
Ia menambahkan, sejauh ini belum ada peringatan pemerintah mengenai aktivitas masyarakat.
Wahyudi menambahkan, warga masih diperbolehkan keluar tanpa batasan waktu.
Oleh karena itu, perencanaan berangkat adalah masalah kesadaran individu, dan perempuan khususnya diimbau untuk tidak pergi sendiri atau setidaknya ditemani untuk mengurangi risiko, ”ujarnya.
Ia melihat komunitas-komunitas di London mulai membentuk grup WhatsApp untuk mengupdate kondisi atau situasi.
Undangan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di London bersifat umum, begitu pula undangan dari Pemerintah Inggris.
Warga negara Indonesia diimbau untuk tidak meninggalkan rumah bagi mereka yang tinggal di daerah yang terkena dampak kerusuhan.
“Kecuali dalam keadaan darurat, sebaiknya jangan keluar rumah dulu, dan jika terjadi sesuatu diminta menghubungi pihak keamanan setempat,” kata Wahyudi.
Mengenai persoalan agama yang menjadi akar kerusuhan, Wahudi mengatakan tidak ada pengamanan yang terlihat di tempat ibadah yang terlalu terlihat.
Ia mengamati, aparat keamanan hanya melakukan pengamanan preventif.
“Kami melihat beberapa mobil polisi berpatroli, namun tidak dalam jumlah besar,” ujarnya.
Wayudi menambahkan, kerusuhan di Inggris tidak seseram kerusuhan di Indonesia tahun 1998.
Wahyudi mengatakan, kerusuhan di Inggris justru berbanding terbalik dengan apa yang terjadi saat krisis mata uang.
“Di sini, tidak seperti di Indonesia, di mana kerusuhan dimulai di kota-kota besar seperti Jakarta, kerusuhan justru terjadi di kota-kota kecil,” katanya.
Wahudi berharap pemerintahan baru Inggris segera mengambil langkah nyata untuk mencegah kerusuhan meluas ke kota-kota besar lainnya. menghindari keramaian
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI mencatat jumlah Warga Negara Indonesia (WNI) yang tersebar di beberapa kota di Inggris, antara lain di Sunderland 18 orang, Manchester 532 orang, Kota Leeds 467 orang, dan WNI di Nottingham 290 orang. .
Disusul Kota Bristol sebanyak 228 WNI, Liverpool 134 orang, dan London 3.279 orang.
Total WNI yang tinggal di Inggris berjumlah 4.948 orang.
Komunikasi kami dengan masyarakat Indonesia di Inggris menunjukkan bahwa tidak ada warga Indonesia yang terkena dampak kerusuhan tersebut.
“Sesuai komunikasi kami dengan masyarakat Indonesia, sejauh ini belum ada WNI yang menjadi korban,” kata Judha Nugraha, Kepala Badan Pertahanan Sipil Indonesia (PWNI), Kementerian Luar Negeri RI dan sebuah korporasi Indonesia.
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di London juga mengimbau seluruh WNI yang tinggal di Inggris dan Irlandia untuk tetap waspada dan menghindari bepergian ke luar rumah kecuali diperlukan.
“WNI diminta tetap waspada mengingat urgensi aktivitasnya di luar rumah,” kata Judha.
Warga negara Indonesia harus menghindari keramaian dan tempat berkumpulnya pengunjuk rasa.
Dalam keadaan darurat, harap segera menghubungi hotline konsuler KBRI +447795105477 atau +447425648007 atau nomor darurat setempat 112 atau 999.
Kerusuhan menyebar di Inggris ketika kelompok anti-imigran menyusup ke dalam umpan setelah pembunuhan tiga pemuda.
Mereka menyebarkan kabar bahwa tersangka yang menikam kelas dansa Southport adalah seorang imigran Muslim radikal.
Polisi mengidentifikasi tersangka sebagai Aksel Rudatsvan, 17, kelahiran Inggris.
Namun, kelompok anti-imigran tetap melanjutkan protesnya, yang akhirnya berujung pada pembakaran, penjarahan, dan bahkan kekerasan.
Aksi lempar botol antara kelompok anti-imigrasi dan anti-rasisme terjadi di Liverpool, Bristol, Hull dan Belfast.