TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kepala Negara Vatikan sekaligus pemimpin umat Katolik dunia, Paus Fransiskus, akan berkunjung ke Indonesia pada 3-6 September 2024.
Bagi alumni penerima beasiswa dari Yayasan Nostra Aetate Vatikan, Devi Prasvida, kedatangan Paus Fransiskus sangat diharapkan.
Dewey mempunyai rasa toleransi beragama yang sangat tinggi di Vatikan, begitu pula di Indonesia.
Indonesia toleran banget sama saya ya? Vatikan juga toleran banget,” akunya dalam podcast di Kantor Jaringan Tribun, Palmerah, Jakarta, Selasa ( 6/11).
Dia memperhatikan bahwa para pendeta dan biarawati mengenakan kalung di Vatikan.
Menurutnya, banyak orang Asia dan Afrika yang berjualan oleh-oleh di Colosseum, sebagian besar beragama Islam.
Devi sering melihat umat Islam salat di rerumputan, namun ia tak peduli.
“Nggak ada masalah kalau itu (sholat). Jadi menurut saya bagus. Maksud saya memang Kristen center ya? Sekarang mayoritas beragama Katolik. Tapi itu tidak jadi masalah,” sambung aktivis Gusduri itu. .
Devi Praswida, gadis kelahiran Semarang, Jawa Tengah, pernah berjabat tangan dengan Paus Fransiskus saat program beasiswanya sedang berlangsung.
Ia merupakan salah satu remaja putri dunia yang berkesempatan bertemu Paus Fransiskus dan kini menjadi perbincangan di media sosial.
Saksikan wawancara pembawa acara Tribun Network Geok Mengwan dengan Dewi Praswida:
Kak, kamu mau kuliah di Vatikan ya? Bisakah Anda menjelaskannya terlebih dahulu, mungkin sebelum Anda berbicara lebih banyak tentang pertemuan dengan Paus Fransiskus?
Kalau ditanya kenapa saya bisa kesana, tentu karena beasiswa administrasi.
Tapi yang lebih penting lagi, kenapa ini bisa terjadi, karena saya suka berpikiran terbuka, bergaul dengan orang lain yang berbeda. Itu modal kuat yang bisa membawaku ke sana, Kak.
Apa yang kamu pelajari di sana, saudari?
Secara akademis, saya mempelajari sejarah agama-agama besar dunia. Belakangan, saya juga mempelajari teologi secara kontras.
Dengan kata lain bagaimana melihat Islam tetapi dari sudut pandang agama lain. Terutama agama Katolik. Saya juga belajar tentang Tritunggal.
Dan masih banyak mata kuliah lain yang berkaitan dengan dialog antaragama. Namun tidak secara akademis, setiap kali saya pulang kuliah atau berlibur, saya mengunjungi gereja, museum, atau tempat wisata.
Saya bahkan mengunjungi beberapa biara, baik vihara maupun pastoran, untuk belajar.
Bagi mereka yang belajar banyak, mereka tahu banyak. Alumni penerima beasiswa dari Nostra Aetate Foundation Vatikan, Dewi Praswida dalam sesi wawancara khusus dengan News Ancor Tribun Network di Geok Mengwan Studio Tribunnews, Palmerah, Jakarta pada Selasa (11/6/2024) malam. (Tribunnews.com/Fransiskus Adhiyuda)
Jadi bagaimana Anda akhirnya mendapat kesempatan bertemu Paus Fransiskus? Bahkan berjabat tangan?
Iya, jadi untuk ketemu Paus Fransiskus atau jabat tangan, banyak banget yang antri ya Kak.
Dan kapan Anda punya kesempatan?
Hal itu terjadi pada audiensi Paus. Di Vatikan ada beberapa momen audiensi Paus Fransiskus, kalau tidak salah beberapa hari atau tanggalnya.
Alhamdulillah, untuk setiap penerima beasiswa Nostra Aetate Foundation, setiap selesai studi, kami mendapat kartu khusus. Untuk bisa bertemu Bapa Suci, saya pernah membagikan di Tiktok saya, kalau tidak salah, tiket bertemu Bapa Suci.
Dan yang lebih istimewanya, hanya mereka yang berada di barisan depan saja yang boleh berjabat tangan, adik-adik. Aku hanya bisa melihat ke belakangku.
Bagaimana ceritanya bisa terlintas dalam pikiran seperti ini, apakah datangnya lebih awal?
Di kartu saya, karena kartu tersebut memiliki kategori. Ibarat nonton bola, mungkin ada kelasnya seperti itu. Ya, dia duduk di depan, dan pada awalnya dia jarang bertemu, karena kemudian mereka memberi tahu dia bahwa ayahnya sedang tidak enak badan.
Lalu dia meninggalkan kota. Aku ingat betul, waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, ayah Markus sudah membangunkanku. Ia merupakan salah satu imam ordo SVD yang bekerja di Vatikan.
Itu diambil bersama teman saya dari Afrika. Kemudian saya tiba di Vatikan, di Basilika Santo Petrus, sebelum pukul tujuh. Kami duduk di sana, saat itu baru pukul sepuluh.
Jadi saya menunggu dari jam tujuh sampai sepuluh. Ditemukan atau tidak, itu benar.
Tapi bagaimana Anda bisa mendapatkan tiket jika Anda mendapat beasiswa? Misalnya, jika ada orang lain yang ingin bergabung, bagaimana caranya?
Kalau ada yang mau ikut, mungkin bisa menghubungi Romo Marcus atau mungkin lewat kedutaan. Saya pikir detail teknisnya mungkin berbeda setiap tahun. Namun beberapa teman yang bertemu dengan Bapa Suci, setahu saya, biasa menerima bantuan dari Pastor Marcus.
Saat Mba menikah, katanya mereka mengirim bunga dari Vatikan. Apa sih yang bisa membangun hubungan seperti itu, meski sudah menikah, tetap saja, oh, ini yang mengguncang pipa seperti itu kan?
Jadi saya masih tetap berhubungan. Menjalin komunikasi bukan berarti kita harus ngobrol 24/7. Misalnya kadang-kadang hal seperti ini terjadi, kataku, misalnya melalui Romo Marcus dan beberapa temanku yang tinggal sekamar, mereka semua tergerak secara kebetulan bukan?
Tapi kami masih berkomunikasi seperti itu. Ngomong-ngomong, teman-teman yang saya temui di sana tidak suka punya grup WhatsApp, mereka lebih suka yang seperti Facebook. Jadi walaupun sekarang orang-orang berkata, oh tidak lagi, saya tetap bermain karena itu adalah sarana komunikasi dengan teman-teman saya.
Lalu terpikir olehku untuk memberitahu Pastor Marcus. Jadi Pastor Marcus, dalam pelayanannya, menganggap saya sebagai anaknya, saudara perempuan. Dia selalu memberi tahu saya bagaimana studinya, apakah pekerjaannya nyaman, dan sebagainya.
Saat itu aku bilang ke ayahku, dia mendoakan aku mau menikah. Saya juga terkejut.
Coba kita lihat lagi, waktu kita di Vatikan, suasananya seperti apa ya Kak? Kak sebagai muslim juga tetap berhijab. Jadi ini agak mencolok, bukan? Tapi bagaimana pengalaman di sana?
Wah, suasananya beda pasti ya, Kak. Namun ada satu hal yang sama yaitu toleransi.
Indonesia sangat toleran terhadap saya, bukan? Vatikan juga sangat toleran. Hal seperti itu menarik, ayah dan adik terlibat lho.
Itu berarti pergi kemana-mana dan mengenakan kerah, mengenakan pakaian sesuai kepribadiannya. Jadi tempat tinggal saya berada di biara Passionis. Ayolah, saya tidak jenius, tapi orang-orang menulis seperti itu.
Itu dekat dengan Coliseum. Ada banyak orang yang menjual oleh-oleh di Coliseum. Ya, mereka menjual orang Afrika dan Asia.
Kebanyakan orang Asia beragama Islam. Hal ini saya lakukan setiap kali saya pulang kampus atau datang pada malam hari. Saya sering melihat mereka salat di halaman rumah, bukan di halaman rumah.
Sepertinya ada rumput di seluruh coliseum. Tidak ada yang salah dengan itu. Jadi menurut saya itu bagus.
Maksud saya, itu benar-benar pusat kekristenan, bukan? Dia sebagian besar beragama Katolik saat ini. Tapi jadi tidak ada masalah.
Meskipun kita berbicara tentang hijab, namun tidak hanya muslim saja yang berhijab. Saya mengunjungi gereja Ortodoks Rusia.
Hal ini menjadi menarik bagi saya ketika saya berada di salah satu kampus dekat Vatikan. Bagaimana kalau pendeta asal Kupang, namanya Romo Lu. Dia bertanya: ‘Bagaimana rupanya Romo yang mempunyai kubah? Apakah ini masjid?’ Iya, tidak, masjidnya dekat sini.
Masjidnya agak jauh. Lalu aku penasaran. Saya mengundang teman saya.
Itu juga dari Afrika kawan. Saya pergi ke sana Saya masuk, saya terkejut.
Biarawati Gereja Ortodoks Rusia itu. Hijab itu sangat syariah. Jilbab sebenarnya berwarna hitam sampai ke bawah.
Bahkan, aku bahkan kehilangan selendangku bersama biarawati itu. Sedangkan bagi yang berhijab besar, warnanya hitam. Jadi kalau kita bicara hijab, belum tentu seorang muslim yang berhijab.
Dia ternyata sangat toleran, bukan? Di sini misalnya kalau kita salat di tengah-tengah, jadi sedikit kentara. Ada atau tidak ya, Kak?
Enggak, mungkin itu orang, menurutku, mungkin ada orang di sana, asal jangan ganggu orang, jangan berbuat jahat, sebenarnya selain itu, aku pernah jalan-jalan seperti itu, aku melakukannya, aku berteduh di gereja, itu juga tidak masalah, tidak pernah ada masalah. (Jaringan Tribun/Reynas Abdila)