Laporan jurnalis Tribunnews.com Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Strain baru Covid-19 LB.1 beredar di Australia.
Juru bicara Departemen Kesehatan mengatakan kasus LB.1 telah dikonfirmasi di Australia.
Para ahli, dilansir SBS.com, memperingatkan bahwa strain ini bisa menyebar lebih cepat dibandingkan strain sebelumnya.
Namun, strain JN.1 (dan strain terkait KP.2 dan KP.3) bertanggung jawab atas sebagian besar infeksi baru antara tanggal 7 Mei dan 11 Juni.
LB.1 serupa tetapi berbeda. Ahli epidemiologi menyebutnya D-FLiRT karena adanya perubahan pada protein Spike (bagian virus yang memungkinkannya menyerang sel manusia).
“Meskipun LB.1 jauh lebih mudah menular dibandingkan KP.2, varian ini tampaknya tidak mengungguli KP.3 dan turunannya,” kata Profesor Adrian Esterman, direktur Departemen Biostatistik dan Epidemiologi di University of South Australia. Senin (22/7/2024).
“Semua keturunan JN.1 ini tampaknya memiliki tingkat keparahan yang sama. Antivirus oral masih akan bekerja melawan LB.1, dan vaksin kami saat ini masih akan memberikan kekebalan silang (tetapi berkurang),” tambahnya.
Di Amerika Serikat, varian KP.2 dan KP.3 menyumbang sebagian besar kasus baru.
Masing-masing 37 persen dan 24 persen selama dua minggu menjelang 6 Juli.
Data ini berdasarkan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC).
LB.1 bertanggung jawab atas sekitar 15 persen infeksi, dan varian lain masih tersisa.
Mengapa LB.1 disebut D-FLiRT?
Akronim D-FLiRT berasal dari nama teknis varian varian yang berbeda, yang satu mengandung huruf F dan L dan satu lagi mengandung huruf R dan T.
Paul Griffin, seorang dokter penyakit menular dan ahli mikrobiologi klinis di Universitas Queensland, mengatakan D adalah tentang “bagian yang hilang”.
“Varian ini mengalami penghapusan tambahan pada protein Spike dan perubahan tambahan ini berarti pengenalan oleh sistem kekebalan kita sedikit berkurang sehingga memberikan varian tersebut peluang untuk menyebar lebih mudah,” katanya.
“Setiap kali protein Spike berubah, itu berarti perlindungan kita terhadap infeksi atau vaksinasi di masa lalu berkurang sehingga menjadi lebih mudah menular,” tambah Profesor Adrian.