Warga Sipil Israel Bersiap Hadapi Serangan Balasan Iran

Sekilas, kehidupan sehari-hari di Israel tampak normal, setidaknya bagi warga sipil.

Tampaknya tidak ada seorang pun yang memperhatikan krisis yang terjadi di jalan-jalan kota setelah Ismail Haniyeh, kepala biro politik Hamas, terbunuh di Teheran. Pemerintah Israel mewaspadai serangan balik Iran dan proksinya.

Untuk menggambarkan situasi di seluruh negeri, penduduk mengatakan “Sheket Matuach” dalam bahasa Ibrani, “tenang tapi tegang.”

Juru bicara Pasukan Pertahanan Israel Daniel Hagari mengatakan dia tidak mengubah instruksinya kepada warga sipil untuk menghilangkan ketakutan masyarakat.

“Deklarasi dan pernyataan musuh kami tanggapi dengan sangat serius. Oleh karena itu, kami sangat siap dalam menyerang dan bertahan,” ujarnya. Bentrokan di perbatasan Lebanon

Ancaman serangan balasan oleh Iran telah menimbulkan kekhawatiran di seluruh negeri. Hal ini terutama berlaku bagi penduduk di utara perbatasan Lebanon dan wilayah Hizbullah.

Milisi Syiah yang didukung Iran seperti Hamas telah berulang kali menargetkan Israel utara dengan roket dan drone sejak perang Gaza pecah.

Ancaman ini dilontarkan oleh Bat-Chen Rosner, seorang pemukim Yahudi yang menetap di Dataran Tinggi Golan yang direbut Israel dari Suriah. Ia juga mengatakan bahwa eskalasi konflik dengan Iran akan menambah beban stres.

“Kami sudah mempersiapkannya sejak lama,” katanya kepada DW. “Setiap suara seperti ledakan, setiap pintu dibanting, Anda berpikir, ‘Ini…’.”

Di sisi lain, warga berusaha menjalani kehidupan sehari-hari secara maksimal, ujarnya.

“Saya tidak berpikir kita akan duduk di ruang aman dan menunggu sesuatu terjadi.” Lebih dari 60.000 warga Israel terpaksa mengungsi dari rumah mereka sejak perang di Gaza dimulai 10 bulan lalu. Keraguan tentang militer

Warga Israel di selatan juga memantau dengan cermat perkembangan yang terjadi di Iran. Oshra Lehrer-Shaib, warga Ashdod, sebuah kota 35 kilometer utara Gaza, mengatakan keluarganya telah bersiap sejak serangan Hamas tahun lalu.

“Mulai 7 Oktober, jika kami perlu mengungsi selama tiga atau empat hari, ruang aman kami sudah disiapkan dengan makanan dan air,” ujarnya.

Menurut Lerer Shaib, yang lebih mengkhawatirkan bukanlah kemungkinan serangan Iran, melainkan keputusasaan terhadap pemerintah.

“Saya merasa begitu saya diculik, negara akan melakukan segalanya untuk mendapatkan saya kembali,” katanya.

Kegagalan militer mencegah serangan Hamas pada 7 Oktober menimbulkan kecurigaan yang masih ada hingga saat ini.

“Ketakutan kami bukan berasal dari Iran, namun dari pemerintah Israel dan infrastruktur negara tersebut tidak berfungsi dengan baik,” kata Lerer Shaib.

Hizbullah sebelumnya telah mengancam sasaran infrastruktur Israel, termasuk pelabuhan utara Haifa dan kompleks industri kimia kota tersebut.

Berbicara kepada DW tentang suasana di jalanan Ashdod, Lehrer-Scheib mengatakan ada sesuatu yang berbeda.

“Orang-orang jarang meninggalkan rumah mereka. Jalanan kosong. Sungguh menyedihkan.” Bersikaplah sangat waspada di wilayah yang diduduki

Selain menyiapkan generator serta makanan dan air jika terjadi serangan, keluarga mereka juga bersiap untuk segera mengevakuasi rumah mereka di Dataran Tinggi Golan, kata mereka.

Namun, pengaturan tersebut tidak terbatas pada situasi saat ini.

“Jika saya harus membuat pengaturan khusus setiap kali ada ancaman nyata, saya akan bangkrut,” kata Rosner sinis.

Rzn/hp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *