TRIBUNNEWS.com – Warga Israel di utara Kiryat Shmona, yang berbatasan dengan Lebanon, mengatakan hidup mereka tidak lagi tertahankan.
Perlu diketahui bahwa Hizbullah melakukan konfrontasi dengan tentara Israel sebagai sarana dukungan dan respon terhadap genosida Zionis di Gaza.
Warga Kiryat Shmona, Uri Vazan, mengatakan kepada Associated Press (AP) bahwa kehidupan di perbatasan Lebanon “tak tertahankan” di tengah serangan tersebut.
Ia pun mengaku takut dengan serangan Hizbullah.
Sebab, menurutnya, kedatangan rudal Hizbullah belum bisa dipastikan kapan akan jatuh di wilayah tempat tinggalnya.
Diketahui, Kamis (19/6/2024), Hizbullah mengebom Kiryat Shmona dengan 15 roket.
“Enggak tahu kapan (rudal) datang ke kamu. Tiba-tiba alarm berbunyi, tiba-tiba rudal jatuh,” ujarnya.
“Berada di sini tidak mudah. Sangat menakutkan, tak tertahankan,” kata warga lainnya, Shishi Phima.
Bentrokan antara Hizbullah dan pasukan Israel memaksa Ben Hamo dan keluarganya melarikan diri dari Kiryat Shmona.
Dia dan keluarganya telah berada di luar kota selama berbulan-bulan.
Namun, pada hari kerja, Hamo kembali bekerja di supermarket lokal di kota.
“Kadang terjadi 10 ledakan atau lebih dalam sehari. Kadang alarm berbunyi, kadang tidak. Ini sangat menakutkan,” akunya kepada NPR.
Kiryat Shmona adalah kota Palestina bernama Al-Khalissa.
Namun, kota ini diduduki setelah Israel didirikan pada tahun 1948, sehingga menyebabkan warga Palestina meninggalkan wilayah tersebut.
Banyak keluarga Palestina yang masih tinggal di seberang perbatasan Lebanon, berharap bisa kembali suatu hari nanti.
Kini, pusat kota ditutup sepenuhnya, kecuali restoran shawarma yang masih berfungsi, yang penuh dengan tentara Israel saat makan siang. Ancaman Hizbullah terhadap Israel
Sementara itu, Hizbullah tampaknya tidak tertarik untuk berhenti, atau bahkan sekadar mengurangi intensitas serangannya terhadap Israel.
Pada Rabu (19/6/2024), pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah bersumpah akan terus menyerang Israel.
Dia bersikeras bahwa “tidak ada tempat” di Israel yang tidak menerima serangan Hizbullah, The Times of Israel melaporkan.
Nasrallah juga menantang Israel untuk berperang “tanpa aturan” dan “tanpa batas”.
“Israel tahu betul bahwa kami (Hizbullah) sedang mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk. Tidak ada tempat (di Israel) yang bisa lolos dari serangan roket kami,” ujarnya.
Israel “tahu apa yang menanti di Mediterania adalah hal yang luar biasa,” katanya.
Namun Nasrallah tidak merinci pernyataannya apakah Hizbullah akan menyerang anjungan gas lepas pantai Israel atau tidak.
Dalam pernyataan yang sama, Hizbullah juga untuk pertama kalinya mengancam Siprus karena negara tersebut mengizinkan Israel menggunakan bandara dan pangkalannya untuk latihan militer.
Hizbullah menganggap perilaku Siprus sebagai “bagian dari perang” dan akan menyerang jika IDF kembali diizinkan menggunakan infrastruktur logistik negara tersebut untuk menyerang Lebanon.
“Membuka bandara dan pangkalan di Siprus bagi Israel untuk menyerang Lebanon berarti pemerintah Siprus adalah bagian dari perang.”
“Kami akan menghadapinya sebagai bagian dari perang,” tegas Nasrallah.
Setelah pidato Nasrallah, Presiden Siprus, Nikos Christodoulides, mengatakan negaranya “tidak terlibat” dalam operasi militer di wilayah tersebut atau di tempat lain.
Christodoulides juga mengatakan bahwa pernyataan Nasrallah “tidak menunjukkan apa yang dia coba lakukan, yaitu memberikan kesan bahwa Siprus terlibat dalam operasi militer.”
Ia meyakinkan bahwa Siprus adalah “bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah”.
Hal ini, menurut Christodoulides, diketahui di seluruh dunia Arab dan internasional melalui inisiatif-inisiatif tersebut, seperti jalur laut Siprus-Gaza yang membantu masyarakat dengan perahu ke Gaza.
Dia juga mencatat bahwa ada jalur komunikasi dengan Lebanon dan Iran “melalui saluran diplomatik.”
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)