TRIBUNNEWS.COM – Wakil Presiden Marouf Amin (Wapres) buka-bukaan soal spekulasi korban perjudian online mendapat bantuan sosial (banso) dari pemerintah.
Terkait hal tersebut, Maruf Amin menegaskan bansos diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah
“Begini, kesejahteraan itu milik orang-orang miskin, jadi jangan bilang itu perjudian karena kebanyakan hanya orang-orang miskin,” kata Maruf Amin dari JCC Senayan (Jakarta), Kamis (20/6/2024).
Marouf menjelaskan, penerima bansos telah lolos pemeriksaan, dan bansos tersebut akan diberikan kepada masyarakat tidak mampu.
Informasi penerima bansos juga selalu update setiap tahunnya.
“Kategori masyarakat miskin yang tersertifikasi adalah benar-benar miskin dan layak menerima kesejahteraan, dan ini diperbarui setiap tahunnya,” lanjutnya.
Selain itu, Ma’rouf menyarankan jika ada penerima manfaat yang menggunakan dana bantuan sosial untuk berjudi, sebaiknya dicabut.
Tujuannya mengajar, karena bantuan sosial harus dimanfaatkan dengan baik.
“Tapi kalau sebaliknya, misalnya ada penerima manfaat yang memanfaatkannya untuk perjudian online atau perjudian jenis lain, maka ambillah, oke. Kalau penerima kesejahteraan menggunakan kesejahteraannya untuk berjudi ya, cabut, itu saran saya.
“Agar masyarakat tidak memanfaatkan kesejahteraan untuk berjudi, oke?” Jadi mereka yang tidak bermain mendapat kesejahteraan.”
“Ketika orang-orang melakukan perjudian kesejahteraan, kesejahteraan mereka diambil untuk memberikan pelajaran kepada semua orang sehingga mereka dapat menggunakannya demi keuntungan mereka sendiri,” katanya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga menegaskan tidak akan ada kesejahteraan bagi para penjudi online.
Pengumuman tersebut disampaikan Jokowi saat berkunjung ke Karanganyar, Jawa Tengah (Jateng), Rabu (19 Juni 2024).
“Tidak ada (dukungan sosial untuk perjudian online),” kata Jokowi. Jumlah penjudi online mencapai 2,37 juta
Secara demografis, terdapat 2,37 juta penjudi online di Indonesia.
Ketua Satgas Judi Internet Hadi Tyahjanta menjelaskan, penjudi online mencakup anak-anak berusia 10 tahun.
Jumlah ini sekitar 2 persen atau sekitar 80.000 anak.
“Demografi perjudian internet menunjukkan 2 persen pemain di bawah 10 tahun.”
Total sudah terdeteksi 80.000, kata Hadi Tjahyanta di kantornya, Jakarta, Rabu (19/6/2024).
Saat itu, jumlah penjudi online berusia 10 hingga 20 tahun mencapai 11 persen atau sekitar 440.000 orang.
Sementara itu, proporsi penjudi online berusia 21 hingga 30 tahun mencapai 13 persen atau sekitar 520.000 orang.
“Dan proporsi usia 30-50 tahun 40 persen, 1 juta 640 ribu. Yang di atas 50 tahun 34 persen, 1 juta 350 ribu. Ini rata-rata masyarakat menengah ke bawah yang pemainnya 80 persen, 2,37 juta,” kata Hadi.
Lanjut Hadi, transaksi di klaster menengah ke bawah biasanya memiliki nilai nominal antara Rp10.000 hingga Rp100.000.
Sedangkan untuk kalangan menengah atas, klaster nominal transaksinya mencapai Rp 100-40 miliar.
Terkait hal tersebut, lanjut Hadi, gugus tugas telah memutuskan serangkaian langkah dalam dua minggu ke depan untuk menghilangkan praktik perjudian online.
Kementerian dan lembaga yang terlibat dalam langkah tersebut antara lain Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, TNI, Polri, PPATK, Kementerian Komunikasi dan Informatika, BSSN dan kementerian atau lembaga terkait lainnya.
(Tribunnews.com/Deni/Galuh)