Laporan reporter tribunnews.com Dennis Destyawan
Tribunnews.com, Menteri Lingkungan Jakarta-Deputy, Diaz Hendropriyono melihat bahwa tantangan industri minyak kelapa sawit tidak hanya di dalam negeri.
Pada saat yang sama, itu berasal dari bagian “asing” yang tidak ingin Indonesia maju ke industri palem.
Diaz di Ombudsman menekankan bahwa kebijakan minyak kelapa sawit harus meninggalkan masyarakat. Jika ada aturan yang tumpang tindih, prioritas kepentingan masyarakat harus ditangani.
Diaz kemudian menekankan tantangan industri palem, selain berasal dari negara itu, tetapi juga dari partai asing.
“Beberapa bagian tidak ingin menjadi kuat dalam minyak kelapa sawit. Terutama bagian barat, kami pasti akan melakukan sesuatu nanti untuk memblokir sekop kami atau apa pun namanya,” kata Diaz di kantor Ombudsman, Jakarta pada hari Senin (18/18 / 2024).
Selain itu, Diaz mengatakan mereka memiliki tantangan yang sama ketika Presiden Prabowo Subianto meluncurkan program makanan dan supervisi energi pada tahun 2028.
“Ancamannya alien. Jadi bagian alien ini tetap terganggu. Mereka tidak senang melihat kita sehat,” kata Diaz.
Diaz mengatakan bahwa sekarang waktu yang tepat untuk makanan dan energi swadaya, termasuk pendidikan industri kelapa sawit Indonesia.
“Kami memiliki presiden yang hebat dan kuat yang ingin Indonesia menjadi lebih mandiri,” katanya.
Sebelumnya, Ombudsman mencatat potensi kerugian di Indonesia karena penurunan produktivitas palem. Jumlah yang mencapai 111,6 triliun rp.
Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fathi, menekankan bahwa saat ini tidak diintegrasikan antara kebijakan perkebunan dan kebijakan lingkungan.
Bahkan, untuk mencapai optimalisasi penanaman kelapa sawit, upaya untuk mempertahankan lingkungan ruang bawah tanah lingkungan perlu seimbang.
Potensi kerugian karena obstruksi proses aplikasi lahan terjadi dalam meningkatkan produktivitas lahan dan mengurangi penggunaan bubuk kimia.
“Total pertumbuhan produktivitas, karena tanah masih berubah dan masih dalam proses pembelajaran,” kata Yaka Jakarta pada hari Senin (11/11/2012).
Dari sudut pandang administrasi, kemungkinan evaluasi jahat adalah akibat dari potensi kerugian karena produktivitas optimal tandan buah segar (FFB). “Produktivitas nasional FFB Indonesia saat ini adalah 12,8 ton per hektar,” Yeka menjelaskan.
Ini dibandingkan dengan Malaysia, di mana produktivitas optimal dicapai oleh perusahaan -perusahaan Palsh minyak Malaysia dengan sertifikat minyak Palm (MSPO) Malaysia (MSPO) dan 95 % dari FFB 19 ton per hektar. Sementara itu, minyak kelapa sawit Indonesia (ISPO) masih rendah.
“Jadi Malaysia menggunakan 95 % dari MSPO, hampir 100 persen. Indonesia hanya 35 % (ISPO). Produktivitas kami adalah 12,8 ton per hektar, produktivitas Malaysia adalah 19 ton FFB per hektar,” tambah Yeka. Oleh karena itu, ombudsman melihat perlunya optimalisasi kelapa sawit, dan pemerintah membutuhkan program biodiesel.
Potensi kerugian karena penurunan produktivitas kelapa sawit adalah dua hal, yaitu produktivitas lahan terbaik, yang dapat disebabkan oleh hasil minyak rendah (PSR), antara lain.
Kedua, produktivitas rendah dari perkebunan kelapa sawit dapat disebabkan oleh latihan perkebunan yang tidak mematuhi standar ISPO. Saat ini, sertifikasi ISPO hanya memiliki 35 persen.
“Oleh karena itu, apa potensi kerugian sekarang karena kami belum mencapai produktivitas yang diinginkan, Ombudsman mengharapkan RP1111,6 triliun setiap tahun,” tambah Yeka.