Laporan reporter Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komite Kehakiman (KY) menyetujui gagasan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie untuk dibentuknya Mahkamah Etik.
Anggota sekaligus advokat KY, Mukti Fajar Nur Dewata memahami gagasan Jimly agar Komisi Yudisial tidak hanya menjadi badan etik bagi hakim, namun juga bagi seluruh aparatur pemerintah.
“Dari ucapannya bukan bermaksud membuat organisasi baru. Tapi memperbanyak kehadiran KY. Itu yang saya pahami,” kata Mukti, saat dihubungi Tribunnews.com, Sabtu (24/8/2024).
KY menerima gagasan itu secara terbuka.
Namun, kata Mukti, apa yang disampaikan Jimly hanyalah sebuah gagasan. Sebab, jelasnya, diperlukan komitmen yang sama dari seluruh aspek pemerintahan agar gagasan digelarnya pengadilan moral bisa menjadi kenyataan.
“Iya, itu hanya gagasan saja. Sejauh gagasan itu sah-sah saja. Asal ada kemauan politik dari seluruh unsur pemerintah dengan komitmen yang sama,” kata Mukti Fajar.
Sebelumnya, Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, mengusulkan pembentukan lembaga bernama Mahkamah Etik Nasional.
Hal itu disampaikan Jimly dalam acara Peringatan Hari Ulang Tahun Komite Kehakiman (KY) ke-19 yang bertajuk “Refleksi Kelembagaan Komite Kehakiman” di Gedung Komite Yudisial di Jakarta, Selasa (24/8/2024).
Awalnya, Jimly menekankan pentingnya peran KY sebagai lembaga pengawas peradilan. Ia mengatakan, peran pengawasan dan penegakan kode etik tidak hanya relevan bagi hakim saja, namun bisa juga relevan bagi pejabat publik lainnya.
Mengenai hal tersebut, ia kemudian menyampaikan ide untuk mendirikan organisasi bernama Llys Eoseg.
Menurut dia, tujuan didirikannya organisasi etik ini adalah untuk memberikan kesempatan bagi individu yang terkena sanksi etik untuk mengajukan banding ke pengadilan etik nasional.
“Apakah kita bisa memanfaatkan entry point UUD yaitu KY? Ditambah lagi perilaku hakim dan pejabat publik lainnya. Kita tidak hanya memikirkan hakim saja, tapi seluruh pejabat publik lainnya,” kata Jimly.
Dia menjelaskan, pegawai negeri sipil dan profesional yang bergerak di bidang kepentingan publik, misalnya profesi akuntan, termasuk di antara pejabat publik yang dimaksud.
Jika pengadilan moral menjadi kenyataan, Jimly yakin hal itu akan memperbaiki sistem moral di Indonesia.
Lebih lanjut, tambahnya, saat ini seluruh kementerian dan lembaga harus memiliki badan internal yang beretika dan berkeadilan. Meskipun setiap orang bergerak secara individu.
“Sekarang hampir semua instansi pemerintah kita sudah punya kode etik. Sekarang semua undang-undang yang mengatur instansi pemerintah dan organisasi profesi pasti ada kode etiknya. Tapi ini belum terintegrasi,” jelas Jimly.
Sekaligus, ia menyebutkan contoh permasalahan etika yang bisa ditangani oleh Pengadilan Moral negara, jika nantinya terbentuk. Dalam hal ini, kasus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) resmi dibubarkan oleh mantan Menteri Kesehatan dr. Terawan Agus Putranto, dari bergabung dengan IDI.
“Misalnya Dokter Terawan diberhentikan oleh IDI, nah ini mantan menteri. Jadi pada sidang terakhir di IDI, dia tidak mau datang. Jadi karena tidak mau datang, dia dipecat. .” Jimmy menambahkan.