TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Partai Buruh ini mengatakan, Iqbal menyarankan Presiden Prabowo Subianto segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan beberapa permohonan uji materi terkait klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja. persetujuan pekerjaan (UU) pada Kamis (31 Oktober 2024).
Hal itu diungkapkan Said Iqbal dalam wawancara eksklusif melalui Zoom dengan Wakil Direktur Pemberitaan Tribun Network Domu D Ambarita pada Jumat (11/1/2024).
Menurut Said Iqbal, seharusnya isi Perppu mencakup seluruh keputusan MK.
“Jika Presiden Prabowo berkenan, kami akan meminta Perppu dikeluarkan lebih cepat.”
Isinya satu hal: semua putusan MK dimasukkan, klaster lapangan kerja-ketenagakerjaan dalam omnibus law cipta kerja dicabut, dan seluruh turunan undang-undang cipta lapangan kerja dicabut, kata Iqbal.
Ia pun berharap DPR dan pemerintah segera mengesahkan undang-undang ketenagakerjaan yang baru.
Mahkamah Konstitusi memberi waktu dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang ketenagakerjaan baru yang isinya UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. TIDAK. dari undang-undang, 6/2023. TIDAK. memuat muatan undang-undang dan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi.
“Perintah pengadilan adalah Anda harus membuat undang-undang baru dalam waktu tidak lebih dari dua tahun dan memerintahkan agar undang-undang tersebut dihapus dari kelompok ‘Omnibus Law, Ketenagakerjaan’. Jadi kita tunggu DPR dan pemerintah mengeluarkan undang-undang,” jelasnya.
Dalam putusannya, MK memenuhi permintaan Partai Buruh dan serikat pekerja.
Setidaknya ada 21 norma yang disetujui sebagian atau dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebanyak 21 standar mencakup tujuh topik utama, yaitu pekerja asing, pengaturan kerja sementara tertentu, pekerja outsourcing, upah dan upah minimum, cuti, pemberhentian dan pesangon, kompensasi klaim upah dan bonus senioritas.
Kalau di omnibus law, cukup mengusir orang yang punya kedutaan WA
Presiden Partai Buruh itu juga menyoroti keputusan Mahkamah Konstitusi terkait pemecatan.
Iqbal menyoroti praktik penerapan Omnibus Act yang memaksa pemilik modal memecat karyawannya sesuka hati.
“Dalam undang-undang kolektif, PHK dipermudah, orang mudah dipecat. Bayangkan jika orang hanya bisa dipecat dengan WA. Di negara mana ini?”
“Orang-orang yang cinta pekerjaan banyak yang dikirimi pesan WA untuk pulang setelah PHK. Ini bagus, ini serius. Ini negara neoliberalisme yang tidak diinginkan Pak Prabowo,” ujarnya.
Menurutnya, kecilnya pesangon yang diberikan kepada pekerja yang dipecat juga sangat tidak adil. Praktik pemecatan sewenang-wenang dan rendahnya pesangon merupakan praktik yang dihadapi oleh para pekerja atau pekerja tidak terampil.
“Yah, kompensasinya kecil. Hal ini menjelaskan mengapa pelaku korporasi lebih memilih PHK dibandingkan paket pesangon yang lebih kecil dan outsourcing. Karena outsourcing itu bebas dalam hukum kolektif,” jelasnya.
Oleh karena itu, kata dia, Mahkamah Konstitusi memutuskan hal tersebut tidak boleh terjadi dan pekerja atau pekerja harus dilindungi sesuai konstitusi, bahwa setiap warga negara berhak atas penghidupan dan penghasilan yang layak.
“Jadi pengadilan mengaitkan pemecatan itu dengan mekanisme lama yang harus dipersulit, ada kutipan ya, mekanismenya yang mempersulit,” ujarnya.
Menurut Mahkamah Konstitusi, perusahaan tidak bisa lagi seenaknya memecat karyawannya atau pekerja tidak terampil. Perlu ada mekanisme yang tidak bisa lagi dilakukan hanya dengan pesan WA dll.
“Jika mereka ingin keluar, mereka harus mengajukan surat tertulis terlebih dahulu, memanggil pekerja, dan kemudian melakukan negosiasi dua arah. Jika ada serikat pekerja, biarkan serikat pekerja menemani Anda.”
“Jika tidak ke Badan Pengawas Narkoba dan mediasi, dan jika belum, kirimkan surat ke Pengadilan Perburuhan atau PHI (Pengadilan Hubungan Industrial).
“Jadi kalau tidak mau menunggu lama, cukup gunakan perintah WA ‘Jangan datang lagi’, security akan menghentikan Anda, gerbang ditutup, akan ada pengumuman. Ini tidak mungkin, kata pengadilan. “Kalau tidak boleh, inkonstitusional, baru kita tutup,” tegasnya.
Wawancara lengkapnya hanya bisa Anda saksikan di YouTube Tribunnews.(*)