TRIBUNNEWS.COM, PEMATANGSIANTAR – Masih ingat dengan lagu Sayur Kol?
Ya, bermula dari sebuah lagu yang dinyanyikan oleh seorang cowok ganteng. Usianya masih kurang dari lima tahun dan nyanyiannya belum cukup sempurna untuk mengucapkan semua suku kata. Namun, bocah itu menjadi viral karena menyanyikan lagu tersebut dengan ringan, ceria, dan renyah.
Sayur Kol, kisah pertemuan seorang pria dan seorang ibu, saat berteduh dari hujan di kawasan Danau Toba, tepat di Siborongborong, Kabupaten Humbang Hasandutan, Sumatera Utara.
Lalu mereka saling bertanya tentang hubungan khas Batak atau trombo laut, marga atau marga masing-masing.
Lagu Sayur Kol ditulis dan dipopulerkan oleh grup Pematangsiantar, Panksgoran.
Enam tahun berlalu, kini kru Panksgoran meluncurkan single baru, dengan lagu Sayur Kol yang viral di tahun 2018.
Penyanyi punksgoran, Guido Virdos Hutagalung, bersolo karir menyanyikan lagu berjudul Ro Jo Humu.
Menurut Guido, lagu Ro Jo Hamu (Ye) ia persembahkan untuk Tano Batak, nama masyarakat, alam, dan budaya masyarakat Batak Sumut.
“Karya ini didedikasikan untuk setiap aspek Tano Batak; Manusia, Alam dan Budaya. “Semua hidup bersama dan hidup berdampingan karena yang terpenting adalah kepedulian dan kedamaian,” tulis Guido dalam kisah lagu Ro Jo Hamu yang diluncurkan Minggu (22/9/2023) melalui akun YouTube miliknya.
Lagu Ro Jo Hamu diciptakan oleh Osen Hutasoit bersama komposer/aransemen Raden Saragi dan Leo Sinaga. Penyanyi punk Batak Guido Virdaus Hutagalung menulis lirik lagu Ro Jo Hamu di selembar karton saat merekam video di Kawasan Tanah Adat Sihaporus, Kecamatan Pematangsidamanik, Kabupaten Simlaungun, Sumatera Utara pada 27 Agustus 2024.
Baris Tunggal Jo Hamu (Kamu)
Lagu berbahasa Batak Toba Ro Jo Hamu bisa diterjemahkan secara longgar dengan judul Silakan Datang.
Video klip lagu tersebut dibawakan di kawasan pertanian dan hutan di kawasan Danau Toba, Desa Adat Nagori/Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Menurut Guido, lagu tersebut menceritakan permasalahan masyarakat Batak yang tertindas di kawasan Danau Toba.
Apalagi, selama lebih dari setahun, ia dan Osen Hutasoit mencatat tangis dan derita penderitaan warga Batakan.
Sejak itulah ide untuk menciptakan lagu muncul. Memperhatikan permasalahan masyarakat yang tinggal di pedesaan, yaitu masyarakat kelas bawah.
Pada tanggal 25 Juli 2024, pemantik api padam. Saat itu seorang teman mengajak Guido pergi ke Sihaporas, sebuah kota di timur laut Danau Toba.
Tepatnya lokasi barak gubuk masyarakat adat atau barak organisasi adat keturunan Ambarita Sihaporus (Lamtorus) di Ompu Mamontang Lot, Kecamatan Pematangsiamanik, Kabupaten Simlungun, Sumatera Utara.
Di lahan pertanian warga, areal konflik tenurial/hutan masyarakat Sihaporas dan pemerintah serta PT Toba Pulp Lestari, ia mendapati warga dalam keadaan ketakutan luar biasa. Anak-anak dan orang tua, terutama para ibu, tampak berhati-hati, sementara laki-laki jarang bersikap hati-hati.
Guido dan kawan-kawan menyambangi gubuk-gubuk warga Lahan Buttu Pangturan Sihaporas, di mana tiga hari lalu, puluhan polisi Polres Simalungun diketahui mengangkut warga beserta satpam PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Pada hari itu, Senin 22 Juli 2024, dini hari sekitar pukul 03.00 WIB, puluhan personel melakukan operasi penangkapan terhadap komunitas perang tanah adat Sihaporus.
Lima aktivis tanah adat ditangkap dan dibawa ke Mapolsek Simlungun di Pematang Raya, sekitar 55 kilometer jauhnya.
Masih di Kabupaten Simalungun, pada 14 Agustus 2024, Sorbatua Siallagan, kakek berusia 65 tahun, tetua adat masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan, divonis dua tahun penjara dan enam orang denda Rp 1 miliar. . . bulan penjara oleh hakim di Pengadilan Negeri Simlungun.
Dia dituduh menguasai lahan PT TPL dan membakar hutan. Sihaporas dan Dolok Parmonangan berjarak sekitar 15-20 kilometer.
Guido menyampaikan kehalusan rasa takut yang menegangkan itu kepada penulis lirik Osen Hutasoit.
Ritual Adat dan Lingkungan Video klip lagu Ro Jo Hamu ini syuting di kawasan Danau Toba, Desa Nagori/Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Anda bisa melihat ladang pertanian, hutan, dan rumah adat Toba yang berbentuk rumah panggung dengan tulisan Lumban Ambarita Sihaporus di atasnya. Tn. Monumen Sihaporus Ompu Mamontang Lot Ambarita juga terlihat.
Desa Sihaporas mempunyai tiga desa yaitu Lumban Ambarita Sihaporas, Sihaporas Bolon dan Sihaporas Ek Batu. Berdasarkan data tahun 2020, terdapat 120 rumah tangga yang dikepalai oleh 288 laki-laki dan 330 perempuan.
Penduduk Sihapora homogen, keluarganya adalah marga/marga Ambarita. Biasanya kepala keluarga dalam marga Ambarita atau istrinya Boru Ambarita atau Berenya Ambarita. Ketua Umum Organisasi Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporus (Lamtorus) Mangitua Ambarita mengatakan, nenek moyangnya menempati tanah tersebut selama kurang lebih 220 tahun.
Martua Boni Raja alias Ompu Mamontang Laut Ambarita menyeberangi Danau Toba dari Ambarita di Pulau Samosir dan menuju timur laut menuju Dolok Mauli dekat Sipolha.
Menurut Mangitua, dari situlah Ompu Mamontang Laut Ambarita ‘Mamukka Huta’ membuka desa bernama Sihaporas. Ada 11 generasi sejauh ini.
Mereka mengelola tanah leluhurnya. Tanah Sihaporus juga diakui oleh penjajah Belanda. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya peta enclave pada tahun 1916 (29 tahun sebelum Indonesia merdeka).
Mereka bukan penggarap tanah. 6 Sihapor adalah pemimpin desa yang juga menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia. Misalnya, Yahya Ambarita menerima piagam Legiun Veteran Indonesia pada tahun 1989 dari Menteri Pertahanan Indonesia LB Moardani. Lainnya adalah Farman Ambarita (Ompu Dimma), Ranto Ambarita (Ompu Agus). Kemudian pasangan suami istri, Gabuk Ambarita (Ompu Rumondang) dan Victoria Br Bakar (Ompu Rumondang Boru). Namun, menurut Mangitua, praktik pengolahan lahan Sihaporus tetap diikuti. Setiap aktivitas mulai dari pembukaan lahan hingga panen diatur dan diwarnai oleh tradisi tradisional yang kuat.
Misalnya penimbunan lahan yang disebut “Manoto”, yaitu doa kepada Dewa Mulayadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) untuk memohon keberkahan dan izin, serta semacam pemberitahuan kepada alam semesta bahwa penebangan pohon akan dimulai.
Tradisi “Manjuluk” dilakukan ketika ingin menanam padi giling (Huma). Saat Padi hamil, dilakukan tradisi “manganjab” yaitu ritual bersama di dalam rumah. Doa dipanjatkan untuk kesuburan dan keberhasilan panen.
Acara kuliner tersebut juga diwarnai dengan tradisi “marsibak”, yaitu olahan makanan berbahan dasar jagung yang dicampur dengan daun untuk fermentasi.
Rangkaian berikutnya, “Robu Juma” (pantang bertani) selama tiga hari, “Robu Harangan” (pantang hutan) selama tiga hari, dan Manangsang Robu (kurban) pada hari ke-7 diisi dengan kegiatan doa. Lalu berburu di hutan.
Dikenal melakukan “Sipahlima” pada saat panen. Tujuh gulung bulir padi dikumpulkan sebelum dipanen, kemudian disimpan di pinggir gubuk. Setelah panen, diadakan pesta dan doa bersama.
Selain itu, penduduknya juga menjalani ritual sembahyang adat.
Ada tujuh bentuk doa yang sebagian besar diiringi musik tradisional Gondang, diawali dengan permohonan atau persembahan, penggunaan air berkah yang berasal dari lubang di batu.
Penggunaan “rudang” atau bahan bunga dari ladang dan hutan.
Tradisi yang paling besar adalah pesta adat “Patarias Debata Mulajadi Nabolon” yang berlangsung selama tiga hari dua malam secara terus menerus dengan menggunakan alat musik Gondang Toba.
Enam ritual lainnya adalah Kain-Kain Nabolak Parsialonan, Mombang Boru Sipiru Sundat, Manganjab, Ulaon Habonaran, Pangulu Balang Parotrot dan Manjuluk. Semua ritual tersebut memiliki nilai kearifan lokal yang bergantung pada alam sekitar dan hutan tropis.
Teks dan Terjemahan oleh Ro Jo Hamu
Guido sangat terkenal di kawasan Danau Toba dan Sumatera Utara pada umumnya. Tentu saja pelantun band Punksgoran ini memulai beberapa bisnis. Pada tahun 2018 lalu, Guido dan Punxgoaran Band melambung tinggi dengan lagu komedi “Sayur Kol” yang viral di seluruh Indonesia. Dilanjutkan dengan lagu “Halak Hita”, “Rongkap Rundut”, “Mangan Modom”, “Salang-Salang”, “Tubis BPK”. Lagu terbaru bertajuk Ro Jo Humu diluncurkan Guido pada Minggu 22 September 2024 melalui akun YouTube miliknya.
Saat instrumen mulai dimainkan, Anda mendengar kata-kata teredam dari seorang wanita. Katanya, “Dalam hati saya yang terdalam, saya bertekad, saya tidak akan mundur sejengkal pun dari tanah perjuangan (adat) ini. “Kalaupun nanti saya mati, saya harusnya mati karena konflik tanah (adat) ini, kalau pemerintah tidak memperhatikan kami.”
Setelah Guido menyanyikan syair khas tenor, pada selingan atau prelude, suara perempuan kembali terdengar di tengah lagu, “Siapa yang ditangkap, tak pernah lepas dari Sihapora ini. Babi ke peternakan, pulang, tidur. di malam hari (Polisi dan Keamanan PT TPL) Dia bangun di pagi hari, mengapa mereka harus menangkap orang yang sedang tidur.
Berikut Lirik dan Terjemahan Ro Jo Hamu yang dinyanyikan oleh Guido Hutagalung: Tung manang di dia pe hamu (Saudara-saudaraku tersebar di seluruh dunia) na targor anak ni bangsonta (Saudara-saudara yang satu ras, yang satu darah)
Bangso na balga jalan tarpasu-pasu (Bahagialah bangsa yang besar) na sian njolo sai manogu-nogu (Bangsa yang dikenal sebagai pemimpin yang memimpin sejak lama)
Chorus : Mendengar suara nami sian huta (Mendengar tangisan orang-orang yang tinggal di desa kami) nggugani dakdanak ro di na matua (tangisan dari anak-anak hingga orang tua) hathutan roha nami mar sura (dalam bentuk) terlihat ketakutan hami na gele na jadi margogo chalu
Ro jo hamu (datang) dongani darba nami soda gogo nami (dukung kami dalam kelemahan kami)
Ro Jo Hamu (Ayo) Urupi Togu Hami Anang Pasombu Hami (Ulurkan tanganmu, jangan tinggalkan kami sendiri)
Ro Jo Hamu (Ayo berangkat) Togari Roha Nami Masa Marbisuk Hami, Pahune Tano Chalu (Perkuat/kuatkan kami untuk bersatu melindungi tanah leluhur kami)
Kembali ke bagian refrain
Ro jo hamu(ye)ro jo hamu(ye)ro ma jo hamu(ye)ro jo hamu(ye)asa mar alus hokar nami chalu (agar tangis kami terjawab)
Ro jo hamu(ye)ro ma jo hamu(ye)ro jo hamu(ye)asa mar alus hokar nami chalu (agar tangisan kita terjawab)(*)