Vaksin AstraZeneca Dikabarkan Punya Efek Samping Pembekuan Darah, Kemenkes RI Angkat Bicara 

Reporter Tribunnews.com, Reena Ayu melaporkan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Perusahaan farmasi Inggris AstraZeneca mengakui efek samping yang jarang terjadi dari vaksin COVID-19 buatannya, menurut dokumen pengadilan baru-baru ini.

Menurut media Inggris The Telegraph pada 29 April 2024, efek samping langka ini disebut trombosis atau sindrom trombositopenia (TTS).

Gugatan class action terhadap raksasa farmasi tersebut mengklaim bahwa vaksin yang dikembangkannya bersama Universitas Oxford menyebabkan puluhan kematian dan cedera serius.

Para pendukungnya menyatakan bahwa vaksin menyebabkan efek samping pada beberapa orang.

Kasus pertama datang dari ayah dua anak, Jamie Scott, yang pada April 2021 mengalami kerusakan otak permanen akibat pembekuan darah di otak dan pendarahan setelah divaksinasi sehingga membuatnya tidak bisa bekerja.

Dalam surat tanggapan yang dikirimkan pada Mei 2023, AstraZeneca mengatakan kepada pengacara Scott bahwa mereka tidak menerima TTS disebabkan oleh vaksin.

Namun, dalam dokumen hukum yang diserahkan ke Pengadilan Tinggi pada bulan Februari, AstraZeneca mengatakan, “Diakui bahwa vaksin AZ dapat menyebabkan TTS, meskipun dalam kasus yang jarang terjadi, dan mekanisme penyebabnya sekarang diketahui. Tidak ada.”

“TTS bisa terjadi tanpa vaksin AZ (atau vaksin apa pun). Penyebab pada masing-masing kasus bergantung pada bukti ahli,” tulis dokumen tersebut, dikutip Rabu (5/1/2024).

Kementerian Kesehatan (Chemniks RI) mempertimbangkan pemberitaan tersebut.

Seti Nadia Tirmizi, Direktur Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan RI, mengatakan belum ada laporan kasus TTS pasca penggunaan vaksin AstraZeneca Covid-19 di Indonesia.

Selain itu, BPOM RI dan otoritas lainnya telah melakukan pengujian keamanan dan khasiat vaksin dan obat sebelum digunakan masyarakat.

Menurutnya, tidak dapat dipungkiri banyak manfaat yang diperoleh dari vaksinasi COVID-19 di masa pandemi.

“Di Indonesia belum ada laporan mengenai TTS karena angka kejadiannya sangat rendah dan karena vaksin tersebut telah diberikan kepada jutaan orang di seluruh dunia, juga telah diuji keamanannya oleh BPOM RI,” kata Nadia . kepada wartawan pada Rabu (5 Januari 2024). Pendapat seorang ahli epidemiologi

Dickie Budiman, ahli epidemiologi di Griffith University Australia, menjelaskan sindrom trombositopenia (TTS) merupakan penyakit langka yang bisa terjadi setelah mendapat vaksin COVID-19.

Kepada Tribunnews, Rabu (5 Januari 2024), ia mengatakan, “Trombosis dengan sindrom trombositopenia atau TTS merupakan kondisi langka. Terjadi setelah vaksinasi COVID-19, khususnya Aztrazeneca”.

Namun kondisi ini jarang terjadi dan jarang terdeteksi.

“Itu merupakan kondisi yang jarang terjadi, artinya tidak hanya sedikit orang yang mengidapnya dan sangat jarang terjadi,” imbuhnya.

TTS sendiri terjadi ketika pembekuan darah tidak normal.

Pembelian ini (trombosis) disertai dengan penurunan jumlah trombosit atau disebut trombositopenia.

“Hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan penggumpalan darah, yang dalam beberapa kasus dapat berakibat fatal,” tegas Dickey.

Dickey menambahkan, berkembangnya TTS pasca vaksinasi berkaitan dengan respon imun tubuh terhadap vaksin.

Reaksi ini disebut sindrom trombositopenia trombotik imun (VITT) yang diinduksi vaksin.

Hal ini terjadi ketika tubuh seseorang yang mendapat vaksin AstraZeneca menghasilkan antibiotik yang menyerang trombosit. Hal ini menyebabkan pembekuan darah tidak normal, jelasnya

Ada risiko penggumpalan darah yang parah, namun Dickey menegaskan bahwa hal ini jarang terjadi.

Dickey mengatakan manfaat AstraZeneca dalam mencegah COVID-19, baik dulu maupun sekarang, lebih besar daripada risikonya.

Inilah sebabnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika merekomendasikan penggunaan vaksin AstraZeneca.

Dickey juga menjelaskan, masyarakat yang mendapat dosis pertama AstraZeneca memiliki risiko rendah terkena TTS, sekitar 8,1 kasus per juta orang yang divaksinasi.

Setelah dosis kedua, risikonya menurun menjadi 2,3 kasus per juta penerima vaksin AstraZeneca.

Orang yang telah menerima vaksin jenis ini juga tidak perlu khawatir, karena risiko efek samping yang jarang terjadi akan berkurang seiring berjalannya waktu.

“Bahkan setelah enam bulan, apalagi satu tahun, risikonya jauh berkurang,” saran Dickey.

Namun, dalam kasus yang jarang terjadi, mereka yang menerima vaksin AstraZeneca masih memerlukan edukasi tentang gejala VITT setelah vaksinasi, kata Dickey.

Gejala yang harus diwaspadai antara lain sakit perut parah, sakit kepala yang tidak biasa, penglihatan kabur, atau kaki bengkak.

Di luar itu, Dickey mengatakan perusahaan farmasi yang bersangkutan harus terus memantau dan menguji vaksin AstraZeneca.

“Pengawasan yang berkelanjutan akan bermanfaat tidak hanya dalam hal keamanan vaksin tetapi juga dalam mengurangi risiko TTS dalam jangka panjang,” mereka menyimpulkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *