TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Belakangan ini masyarakat mulai mempertanyakan sederet program BP LNG Tangguh.
Anggota DPD RI Filep Wamafma mengatakan, perhatian khusus diberikan pada program yang didanai CSR dan sebagian cost recovery Dana Bagi Hasil (DBH), misalnya beberapa PT Subitu di Bintuni.
“Beberapa tahun yang lalu, selama kurang lebih satu tahun, saya bekerja keras untuk membela hak-hak dasar masyarakat adat Bintuni, yang menurut saya tidak akan mereka dapatkan dengan beroperasinya Tangguh LNG. Transparansi penggunaan dana CSR untuk pemulihan biaya Tangguh LNG menurut saya tidak bisa dijelaskan secara profesional, apalagi kalau bicara Subitu, kata Filep kepada media, Selasa, 18 Juni 2024.
Menurut dia, terkait Subitu, ia menemukan fakta di lapangan berbanding terbalik dengan klaim BP Tangguh.
Senator Papua Barat ini bahkan mengaku memiliki informasi lengkap mengenai keberadaan Subitu.
Ia juga menyampaikan, ada tiga permasalahan mendasar terkait permasalahan Subitu.
“Saya mempunyai informasi yang saya yakini benar-benar lengkap dan valid mengenai Subitu. Yang jelas ada 3 permasalahan besar yang bisa saya simpulkan, yang pertama tentunya terkait dengan transparansi. Jadi berapa Subitu Karya Busana (SKB) ) memproduksi pakaian?” Dia berkata.
Lalu ada pertanyaan tentang tanggung jawab. Siapa yang bertanggung jawab atas Subita?
Selanjutnya pertanyaan ketiga menyangkut kesinambungan atau keberlanjutan.
Misalnya, dia menanyakan apakah kapal Subitu Trans Maritime (STM) masih beroperasi normal atau Subitu Marta, seberapa awetnya.
Filep bahkan mengatakan Subit PT-PT sejak awal berdirinya dibantu oleh PUPUK, lembaga bantuan untuk UMKM, bukan perusahaan besar.
“Sekarang BP mendatangkan konsultan untuk menggantikan PUPUK. Sudah 9 tahun PT-PT Subitu berdiri dan masih didukung konsultan? “Jadi seberapa independenkah PT-PT ini?” Dia berkata.
Terkait ketiga permasalahan di atas, Senator Filep meminta segera dilakukan audit eksternal independen, mengingat bisnis Subita digunakan oleh DBH Migas.
Ia juga mendorong aparat penegak hukum, khususnya kejaksaan dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), untuk segera turun ke lapangan menyelidiki dan memverifikasi keberadaan seluruh dana yang dikelola Subita, termasuk dari segi transparansi, akuntabilitas, dan kontinuitas.
Lebih lanjut, Ketua Komisi 1 DPD RI memaparkan alasan revisi Subitu.
Pertama, berdasarkan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan diatur bahwa Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
“Kalau ada indikasi korupsi atau tindak pidana ekonomi, jelas kejaksaan bisa turun tangan. Dasarnya juga terdapat pada Pasal 282 ayat (2) KUHAP. diterbitkan dalam bentuk DBH,” jelasnya.
Kemudian, Filep menyampaikan poin kedua, ada kekosongan yang signifikan di Bintuni, jika dikaitkan dengan pekerjaan BP Tangguh.
Permasalahan ketimpangan tersebut antara lain permasalahan air bersih yang membuat masyarakat terserang penyakit, permasalahan stunting, permasalahan buruknya fasilitas kesehatan dan pendidikan, meningkatnya angka kemiskinan, minimnya lapangan kerja tenaga kerja asli Papua dan hanya berkisar pada tenaga kerja yang tidak terampil dan tidak jelas. pengelolaan dana wakaf, dan berbagai hal lainnya di lapangan.
Rentetan permasalahan ini menyadarkan semua orang dan pemerintah bahwa selama bertahun-tahun BP berkiprah, harapan kesejahteraan hanyalah mimpi? Harus dicurigai, mungkinkah ada korupsi sistematis dan pencucian uang?
“Khusus pemeriksaan BPK, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2009 Tentang APBN Tahun 2009 mengamanatkan BPK untuk melakukan verifikasi kewajaran unsur biaya dalam cost recovery sejak tahun 1997, dan apabila ditemukan kejanggalan maka BPK wajib melaporkan perkiraan besarnya kerugian. yang diderita negara, termasuk kerugian di daerah dalam kerangka bagi hasil yang dapat ditelusuri,” tegas Filep.
Senator yang akan terpilih kembali pada pemilu legislatif 2024 ini pun meminta campur tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut dia, persoalan pengelolaan anggaran ini harus dikaji sampai ke akar-akarnya, demi transparansi dan keadilan.
“Jika ada korupsi di sana, maka Komisi Pemberantasan Korupsi harus turun tangan. Dana yang sangat besar yang seharusnya dikelola untuk kemajuan masyarakat Bintuni ternyata tidak berdampak nyata jika hukum ingin ditegakkan,” tutup Filep.