TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tokoh lintas agama Indonesia yang tergabung dalam Forum Indonesia Peduli Damai (FPID) menggelar pertemuan di Gereja Katedral Jakarta Pusat pada Sabtu (4/5/2024).
Dalam pertemuan tersebut, para pemimpin lintas agama akan meninjau hasil pemilu 2024 pemerintahan baru.
Tokoh agama Indonesia yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah Wakil Ketua MUI KH Marsudi Suhud, Romo Kardinal Suharyo Herdjotmodjo, PGI Gumar Gultom dan Ketua Umum Dewan Kerohanian Majelis Tinggi Khonghucu Indonesia (Matakin) XS Budi Santoso Tanuwibawa. 2018-2022,
Turut hadir Presiden PhDI Visnu Bawa Tenaya, Presiden Permabudhi Piandi, Tokoh Kerohanian Nusantara Romo Sri Iko Galgendu dan Forum Peduli Damai Indonesia (FPID) Ajisoko.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Marsudi Siuhud mengatakan, pertemuan para tokoh agama Indonesia ini akan meringankan suasana dan mempererat hubungan timbal balik.
Dalam pertemuan tersebut, Kiai Marsudi mengatakan para pemuka agama mempunyai visi yang sama untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kiai Marsudi mengatakan, kalau ada kekurangan kita perbaiki, kalau ada yang tidak sependapat sebaiknya kita pertahankan.
Pengurus Pondok Pesantren Darul Uchwah mengimbau pihak-pihak yang berbeda pandangan untuk menyetujuinya.
Kiai Marsudi menjelaskan, hal itu karena perbedaan pendapat merupakan bagian dari kritik. Sedangkan kritik merupakan alat untuk melakukan perbaikan.
Meski demikian, Kiai Marsudi menyebut kritik tersebut tidak bermaksud menghina. Menurut Kiai Marsudi, khususnya dalam dunia politik, ketika terjadi ketimpangan harus ada yang mengkritisi agar ada keseimbangan.
Ia menegaskan siapa pun boleh mengkritik pemerintah, termasuk kami.
Pada pertemuan tersebut, para pemuka agama di Indonesia sepakat bahwa acara seperti itu akan menjadi budaya, kata Kiai Marsudi.
Sebab, kata Kiai Marsudi, saat pertemuan seperti itu digelar suasananya mencair.
Hal ini diharapkan dapat terjadi pada para pimpinan partai dan pemimpin politik di Indonesia agar dapat bersatu sehingga hubungan di antara mereka dapat lancar.
“Karena budaya sebenarnya tidak disadari, segala sesuatu mengalir dalam situasi apa pun, meski tidak menggunakan kata-kata apa pun.
Ketua Umum Majelis Kerohanian Majelis Tinggi Khonghucu Indonesia (Matakin) 2018-2022,
“Pasti ada yang suka atau tidak. Ada yang kecewa atau tidak. Tapi apapun namanya negara harus bergerak, kita semua sepakat untuk memberikan ruang dan kesempatan memberikan ketertiban untuk melanjutkan kepemimpinan Indonesia yang baik,” kata Budi.
Budi berpendapat, tidak perlu melibatkan semua pihak untuk masuk ke dalam pemerintahan.
Budi menjelaskan, agar pemerintahan dapat berjalan ke depan, diperlukan partai oposisi yang dapat menjadi penyeimbang atau pengawas dalam menjalankan pemerintahan baru.
“Kita tetap membutuhkan masyarakat dan pikiran partai agar kebijakan tersebut mendapat masukan positif agar tidak berlebihan. Karena apapun yang berlebihan itu sangat berbahaya,” tegasnya.
Budi mengatakan dirinya dan tokoh lintas agama di Indonesia siap mengawal pemerintahan baru. Kita semua, termasuk para pemuka agama, harus berani berdiri di belakang pihak-pihak yang bisa menyuarakan pendapat lain, selama suara-suara itu demi kebaikan Indonesia, ujarnya.
Ash mengungkapkan dalam pertemuan tersebut bahwa para pemimpin lintas agama saat ini juga telah sepakat untuk menjalankan forum tersebut secara berkelanjutan.
“Hingga saat ini budaya HalbiHalal terbukti tidak mampu melindungi Indonesia dari persoalan-persoalan yang dipikirkan masyarakat Indonesia, namun nyatanya tidak, melainkan karena platform yang bernama Halal bi Halal,” jelasnya.
Dikatakannya, banyak persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia, mulai dari persoalan hukum, etika dan lain sebagainya. Dalam menyikapi berbagai persoalan, tak perlu hanya merespons lewat tuduhan.
“Mungkin karena ada persepsi kita tidak beretika, ketika diminta memberikan contoh orang yang berkompeten atau beretika, ternyata tidak ada, termasuk saya sendiri,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Budi, umat lintas agama di Indonesia bersedia mengambil peran dalam mengembangkan umat beragamanya menjadi komunitas yang beretika.
Menurut Budi, salah satu aspek yang perlu diperbaiki adalah sifat manusia yang tamak, artinya dunia tidak mampu memenuhi kebutuhannya.
Karena pada dasarnya dunia mampu memuaskan kebutuhan manusia tanpa keserakahan. “Nah, ini yang perlu kita lakukan, agar kita bisa mengedukasi masyarakat tentang kata-kata serakah, salam Budha yang bisa kita hilangkan, agar kita bisa kembali ke kodrat kita, masyarakat Indonesia (mereka) bersinergi,” ujarnya.
Para pemimpin lintas agama sangat yakin bahwa semua pihak bisa bersatu dalam memikirkan Indonesia. Termasuk para pemimpin Indonesia, bisa duduk bersama menyampaikan gagasannya untuk bangsa dan negara.
Menurutnya, perbedaan terjatuh, kalah, dan menang dalam kompetisi adalah hal yang wajar. Namun ketika suatu masalah terjadi di Indonesia, semua pihak bisa mengesampingkan perbedaannya demi kebaikan bersama.
Adanya kebutuhan untuk menghormati harkat dan martabat sesama manusia
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Romo Kardinal Suharyo Hardjotmodjo mengatakan, martabat memerlukan sikap saling menghormati antar sesama manusia dan warga negara Indonesia.
Menurut Suhariya, hal inilah yang menjadi akar berbagai permasalahan Indonesia, “Yang satu tertindas yang lain, tidak ada rasa hormat. Yang satu melenturkan dan yang tidak bisa makan.”
Suhario menjelaskan salah satu permasalahan terbesar Indonesia adalah korupsi. Keadaan korupsi di Indonesia dinilai sangat serius dan menjadi beban negara.
Dia menyoroti terungkapnya kasus korupsi pertambangan timah di Bangka Belitung baru-baru ini yang disebut merugikan negara sebesar Rp 271.
Suhario menekankan sikap saling menghormati antar warga negara Indonesia, khususnya di mata hukum, agar tidak menimbulkan ketimpangan.
“Fondasinya harus dimiliki bersama, setiap orang harus menghormati harkat dan martabat manusia, karena itulah landasan dari segalanya. Kalau tidak menghargai harkat dan martabat manusia, maka hukum akan diterapkan dengan buruk,” tegasnya.
Ketika hukum hanya berlaku bagi yang lemah, maka yang lemah bisa saja diperlakukan seenaknya tanpa menghargai harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Selain berujung pada korupsi, tidak adanya rasa saling menghormati harkat dan martabat manusia antara sesama manusia dan warga negara Indonesia dapat berujung pada kasus tindak pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Menurutnya, kasus seperti ini sama menakutkannya dengan kasus korupsi. Selanjutnya dalam konteks ini mereka melakukan perbudakan terhadap sesama manusia dan warga negara Indonesia.
“Ketika kita memperbudak kolaborator kita, itu sangat menakutkan. Kalau tidak ditangani dengan serius, semua upaya baik akan sia-sia. Karena bangsa sendiri tidak akan dihormati,” ujarnya.