Laporan jurnalis Tribunnews.com Eko Sutryanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2023, jumlah pengguna Internet di Indonesia akan mencapai 215,62 juta jiwa atau setara dengan 78,19% total penduduk Indonesia.
Pada saat yang sama, pertumbuhan pengguna yang masif ini membuka ruang yang sangat luas bagi penyalahgunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan Internet.
Pengukuran Literasi Digital Indonesia tahun 2023 di 38 provinsi menunjukkan kemampuan masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan TIK mengalami peningkatan selama setahun terakhir.
Indeks Literasi Digital Indonesia pada awal tahun 2023 sebesar 3,54 pada skala 1-5. Artinya tingkat literasi digital masyarakat Indonesia secara keseluruhan adalah “rata-rata”. Indeks ini sedikit meningkat dibandingkan tahun 2020 sebesar 3,46.
Muh Naim Suro mengatakan peningkatan literasi digital penting bagi masyarakat di era kecepatan informasi ini.
“Tanpa literasi digital yang memadai, kita berisiko terjebak dalam arus informasi palsu.
Sebagai warganet yang kritis, masyarakat dapat bersinergi membangun komunitas yang paham informasi dan saling mendidik dalam mencegah penipuan, ujarnya.
Dosen Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Puri Bestari Mardani mengatakan dibandingkan saluran lain, berita bohong lebih banyak tersebar melalui media sosial sehingga perlu diwaspadai masyarakat.
Berdasarkan data Asosiasi Telekomunikasi Indonesia, 92,4% penipuan menyebar melalui jejaring sosial, diikuti oleh 62,8% penipuan melalui aplikasi pesan, 34,9% melalui situs web, 8,7% melalui televisi, dan 9,3% melalui saluran lain. Media seperti cetak, email dan radio.
“Untuk itu, masyarakat diharapkan mampu menyeleksi dan memverifikasi informasi yang tersebar luas di media sosial.
Sebelum membagikannya, periksa fakta informasinya. “Kalau tidak punya waktu untuk cek fakta, tidak perlu membagi informasi itu,” kata Puri.
Puri berpendapat media sosial banyak digunakan sebagai tempat penyebaran penipuan karena media sosial banyak digunakan oleh masyarakat di era digital.
“Hal ini dikarenakan jejaring sosial bersifat terbuka dan menghubungkan banyak orang. Jejaring sosial juga cepat, interaktif, dan real-time, serta setiap pengguna dapat berpartisipasi dalam membuat dan berbagi konten.
“Pengguna bisa saja memiliki banyak akun, baik akun pribadi, akun bisnis, atau akun palsu untuk menyembunyikan identitas aslinya,” ujarnya.
Jika kita mengacu pada data sosial, pada tahun 2024 akan terdapat 5,35 miliar pengguna internet dan 4,95 miliar pengguna jejaring sosial di seluruh dunia.
Pada Januari 2024, data kami sosial menunjukkan terdapat 185,3 juta pengguna internet dan 139 juta pengguna jejaring sosial di Indonesia.
“Masyarakat Indonesia menghabiskan 19,7% waktunya di media sosial setiap hari. Angka ini menempati urutan ketujuh di dunia,” kata Puri.
Sekretaris Relawan Teknologi Komunikasi Informasi (TIK) Sulawesi Barat, Salahuddin mengatakan, pengguna internet lebih rentan terhadap penipuan karena budaya bersama, sentimen suku, agama, dan ras (SARA) yang sama semakin kuat, terjebak dalam budaya yang salah. Sikap sosial dan ketidakmampuan membedakan ruang privat dan publik, serta manfaat komersialisasi konten.
“Pengungkapan penipuan ini adalah titik awal polarisasi, ketidakpercayaan terhadap kebenaran dan erosi kredibilitas ilmu pengetahuan, yang terjadi seiring dengan dinamika politik,” kata Saladin.
Menurut Saladin, penyebaran penipuan bisa dihentikan dengan kesadaran masyarakat dan bukan pada tingkat individu.
Untuk itu perlu dilakukan upaya pemberantasan penyebaran kecurangan dari hulu hingga hilir.
Misalnya di bagian hulu, harus ada upaya edukasi literasi digital kepada masyarakat dengan mitra terkait, diikuti oleh lembaga dan komunitas seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika yang berperan sebagai Fraud Tracking, Mafindo dan Cek.
“Untuk hilirnya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang aktif menyebarkan penipuan. Dari sisi penegakan hukum dapat dilakukan dengan memblokir rekening Kementerian Komunikasi dan Informatika dan melalui prosedur hukum yang dilakukan pihak kepolisian,” kata Salahuddin.
Saladin juga memberikan tips untuk memerangi penipuan yang menyebar di media sosial dan internet oleh 3M.
Pertama, periksa akun penyebar informasi tersebut dengan mengidentifikasinya di media sosial dan pastikan kontennya provokatif.
Kedua, mengelola informasi dan mampu memisahkan opini dan fakta dengan mengecek alamat website atau sumber berita. Ketiga, kita bisa memutus rantai tidak adanya pembagian informasi.
Sementara itu, Muhammad Arifin menilai kemajuan teknologi informasi digital tidak hanya membawa manfaat, namun juga menimbulkan kerugian atau dampak negatif bagi masyarakat.
Kerugian tersebut antara lain banyaknya penipuan yang beredar di ruang digital, disusul cyberbullying, pelecehan seksual, dan ujaran kebencian.
Untuk itu, Arifin menekankan pentingnya memahami masyarakat dan mempraktikkan etika digital. Bagian dari etika digital adalah etika dalam berbagi informasi, seperti memahami dan mengidentifikasi lawan yang berkomunikasi dengan kita, menggunakan bahasa yang pantas, menghindari SARA dan kata-kata kotor, menggunakan identitas asli dan menghargai karya orang lain.
“Etika digital adalah etos kita sebagai individu yang beradab dan bermartabat di era teknologi. “Berhasil di dunia digital mencerminkan siapa kita di dunia nyata,” kata Ariffin.