TRIBUNNEWS.COM – Dalam pandangan dunia saat ini, nikel merupakan salah satu sumber daya alam yang paling banyak dibicarakan. Apalagi Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan hasil tambang nikel tertinggi.
Logam jenis ini dikenal sebagai bahan utama pembuatan baterai, berbagai perangkat elektronik, bahkan mobil listrik. Oleh karena itu, jika melihat perkembangan dunia ke arah industri kelistrikan, permintaan nikel diperkirakan akan semakin meningkat.
Pada tahun 2023, Kementerian ESDM menyebutkan produksi bijih nikel di Indonesia mencapai 193,5 juta ton, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 106,3 juta ton. Bahkan, produksi bijih nikel Indonesia diproyeksikan meningkat 5-10 persen pada tahun 2024 dibandingkan tahun 2023 seiring dengan mulai digunakannya beberapa smelter baru.
Sebagai negara penghasil nikel terbesar, hal ini memang menjadi rejeki nomplok yang besar bagi perekonomian Indonesia. Hal ini disebabkan melimpahnya nikel dan kemampuan akses terhadap bijih nikel dan media transportasi sehingga Indonesia dapat meningkatkan biaya produksi.
Sayangnya, di balik meningkatnya permintaan pertambangan nikel di Indonesia juga terdapat banyak isu negatif terkait dengan pertumbuhan industri ini. Mulai dari permasalahan terkait pelanggaran peraturan lingkungan hidup yang dapat membahayakan biota laut, hingga permasalahan terkait staf yang dikuasai oleh tenaga kerja asing.
Menanggapi permasalahan tersebut, salah satu smelter bijih nikel yang dikenal dengan nama PT Trimegah Bangun Persada TBK (TBP) atau Harita Nickel telah mengukuhkan komitmen dan ketekunannya dalam menjalankan bisnis yang mengedepankan isu lingkungan hidup.
Perusahaan ini diketahui membangun smelter dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) dan High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang beroperasi di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara pada tahun 2016.
Pabrik besi di Pulau Obi meningkatkan perekonomian lokal
Keberadaan smelter di Pulau Obi juga mencerminkan fakta bahwa Indonesia telah memiliki sekitar 116 smelter nikel. Namun, banyak dari pelarut yang lebih kuat ini mungkin tidak cocok dengan Harita Nickel.
Bahkan, Harita telah sukses mengekspor produk-produk berikut mulai dari Nickel Ferronickel, MHP, Nickel Sulphate hingga Cobalt Sulphate ke berbagai negara.
Secara ekonomi, kehadiran nikel Harita juga meningkatkan pendapatan negara melalui aktivitas penjualan. Di sisi lain, kehadiran tambang dan smelter ini juga membantu menarik tenaga kerja lokal sehingga mengurangi pengangguran dan mengurangi kemiskinan khususnya di Pulau Obi.
Pertama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pembersihan menyeluruh dapat mendongkrak perekonomian Indonesia, khususnya di wilayah Maluku Utara.
Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2023 yang menurut data BPS, Maluku Utara memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi yaitu sekitar 20,49 persen yang dikelola oleh produksi, pertambangan, dan penggalian.
Menurut Adil Adha yang menjabat Kepala BPS Maluku Utara periode 2021-2024, kehadiran perusahaan pertambangan sangat mempengaruhi negara dan perekonomian khususnya di Halmahera Selatan.
Situasi perekonomian di Halmahera Selatan sudah banyak berubah. Dari yang tadinya berstatus sektor pertanian kini berubah menjadi sektor pertambangan dan industri. Saat ini sektor pertambangan menguasai sekitar 68 persen perekonomian di Halmahera Selatan, kata Adil.
Sedangkan untuk industri manufaktur di Halmahera Selatan, lanjut Adil, dari hanya 9,4 persen pada tahun 2011, telah mencapai pertumbuhan yang signifikan menjadi 52,48 persen pada tahun 2024.
Begitu pula di Halmahera Selatan yang pada tahun 2011 hanya 10 persen, kini meningkat menjadi 16,50 persen. “Ini merupakan peningkatan produksi industri terbesar sejak pemotongan nikel,” kata Adil.
Membuka lapangan kerja bagi warga
Meningkatnya produksi pertambangan sejak penurunan harga nikel juga sejalan dengan keinginan Harita Nickel untuk membuka pintu bagi penggunaan tenaga kerja dalam negeri.
Fakta di lapangan menunjukkan persentase tenaga kerja asing di tambang yang dikuasai Harita Nickel hanya 10-15 persen dari total angkatan kerja. Fakta ini membantah tudingan tenaga kerja pertambangan nikel dikuasai oleh tenaga kerja asing.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan Halmahera Selatan, Nose Totononu mengatakan, lahirnya tambang di Halmahera Selatan cukup unik dan penting dalam penyerapan tenaga kerja dan pengurangan pengangguran.
Menurut dia, sebanyak 16.327 tenaga kerja lokal dan 2.893 tenaga kerja asing mendapat manfaat dari Harita Group.
“Ini merupakan komitmen Harita dalam menanggulangi pengangguran, tidak hanya di Halmahera Selatan dan Maluku Utara saja. Tinggal bagaimana rekrutmen tenaga kerja menjadi prioritas,” jelasnya.
Tak hanya itu, kehadiran tambang dan keberlangsungan bisnis bawah tanah yang dikelola Harita Nickel juga memberikan dampak positif pada berbagai aspek kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut, termasuk menciptakan kebiasaan baru yang baik, mengelola lingkungan. Pelestarian lingkungan alam melalui berbagai program Corporate Social Responsibility (CSR).
Hal ini sejalan dengan program CSR Harita Nickel yang terbagi dalam lima pilar, yaitu pendidikan, kesehatan, pembangunan ekonomi, sosial budaya, dan infrastruktur.
Untuk melihat bagaimana nikel berdampak langsung terhadap perekonomian dan pembangunan daerah, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di Pulau OB, redaksi TribuneNews berkesempatan mengunjungi Pabrik Peleburan Nikel Harita.
Yuk simak fakta selengkapnya dengan menyaksikan acara “Ekspedisi Hilirisasi Anak Bangsa” dalam episode keenam bertajuk Nikel: Kunci Pertumbuhan Ekonomi Era Modern di channel YouTube TribuneNews! (***meja***)