Laporan reporter Tribunnews.com Eshri Fadilla
TRIBUNNEWS.
Hal itu diungkapkan mantan Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Herri Trisaputra Zuna yang ditangkap di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Selasa (25/6/2024).
Gerry selaku saksi keempat terdakwa mengatakan kepada Ketua Panitia Pengadaan Jasamar J. JJC Udhi Mahyudin; Ahli Jembatan di PT LAPI Ganeshatama Consulting, Tony Budanto Sihite; dan Sofia Balfas Bucaca sebagai mantan direktur Teknik Utama.
Saat diperiksa pengadilan, Gerry yang duduk di kursi saksi mengaku terlebih dahulu tol MBZ dibangun menggunakan rangka beton.
Namun belakangan desainnya diubah menjadi rangka logam.
“Tadi Anda bilang desain pertama beton. Saat dilelang, desainnya masih beton atau tidak?” tanya Ketua Hakim Fakhzal Hendry.
“Hei, logam bekas di raja lelang,” jawab Gerry.
Menurut Herry, perubahan tersebut menyusul rapat terbatas Kabinet Menteri Pekerjaan Umum (Rathas) yang dihadiri Menteri Pekerjaan Umum dan Pekerjaan Umum (PUPR) Basuki Adiadi Muljono.
Gerry sendiri tidak ikut serta dalam Ratas.
Namun, ia mengaku mendapatkannya dari pembacaan risalah rapat.
Menurutnya, Ratas mengarah pada regulasi produksi dalam negeri.
Sementara itu, perusahaan baja milik negara PT Krakatau Steel sedang terpuruk.
Jadi hukumnya saat itu adalah anak Rata, ketika ada rapat terbatas di Kabinet, mereka meminta agar mereka dikeluarkan dari rumah, termasuk penggunaan besi, kata Gerry.
“Kita ingat saat itu PT Krakatau Steel juga sedang menghadapi kendala, sehingga kita dianjurkan untuk menggunakan baja dalam negeri,” tambah Herry.
Selain itu, Gerry juga mengetahui adanya surat edaran Direktorat Jenderal Bina Marga (Dirjen) pada tahun 2015 yang mendorong penggunaan baja untuk jembatan panjang.
Menurut Herry, tol MBZ sendiri masuk dalam daftar jembatan panjang di perkotaan.
“Jadi yang terlibat dalam proyek ini adalah pemilihan jenis jembatan gelagar baja dengan menggunakan struktur rangka kotak baja untuk struktur jembatan bentang panjang yang perlu dibangun jembatan atau jalan layang, dll.” Gerry, membaca lingkaran yang dimaksud.
Ketua Mahkamah Agung juga mencoba membujuk PT Krakatau Steel, badan usaha milik negara yang memproduksi beton menjadi baja, untuk meningkatkan produksinya.
“Jadi ini saran dari Dirjen Bina Marga, Pak. Silakan lihat bagaimana sumber daya dalam negeri digunakan dan PT Krakatau Steel perlu sedikit bantuan ya? Krakatau Steel itu perusahaan pemerintah ya?” Fakhzal Hendri.
Oke BUMN, jawab Gerry.
“Jadi Krakatau mau tingkatkan produksi Bajanya ya?” – tanya hakim Fakhzal.
“Benar, Raja,” kata Gerry. Sidang lanjutan kasus korupsi pembangunan jalan layang Jakarta-Chikampek (Yapek) II atau dikenal dengan Jalan Tol Muhammad Bin Zayed Ruva atau MBZ menghadirkan mantan Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Herri. Trisaputra Zuna, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (25/6/2024). (Tribunnews.com/Ashri Fadilla)
Sekadar informasi, para terdakwa dalam kasus ini didakwa berupaya memenangkan tender pekerjaan konstruksi pembangunan Tol Waskita Axet Jakarta, Jalan Tol Jakarta – Jakarta – Cikampek II Relokasi STA.9+500 – STA.47+000.
Kemudian terdakwa Joko Dwijono yang saat itu menjabat CEO PT Yasa Marga mengirimkan pemenang penjualan proyek Steel Box Girder ke perusahaan lain yakni Bukaka Teknik Utama.
Untuk memasukkan struktur Jembatan Girder Komposit Bukaka ke dalam dokumen khusus, Joko Dwijono kemudian menyebut dokumen tersebut sebagai Dokumen Pengadaan Pembangunan Jalan Tol Jakarta – Cikampek II Elevated STA.9+500 hingga STA.47+000, kata jaksa kepada terdakwa.
Akibat perbuatan para terdakwa, jaksa menemukan kerugian negara mencapai 510.085.261.485,41 rubel (lebih dari 510 miliar).
Selain itu, perbuatan para terdakwa diyakini akan memberikan manfaat bagi Vaskita Axet dan CSR Bukaka-Krakatau Steel.
Keuntungan Vaskita KSO sebesar Rp367.335.518.789,41 dan Bukaka Krakatau Steel sebesar Rp142.749.742.696,00, kata jaksa.
Sekarang kepada mereka Pasal 2 (1) Subsider Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999, perubahan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999. Pasal 55 ayat 1 KUHP.