TRIBUNNEWS.COM – Perusahaan asal Jepang, ICOM, memastikan radio dua arah atau radio yang meledak di Lebanon 10 tahun lalu sudah tidak diproduksi lagi.
Pernyataan ICOM ini disampaikan usai terjadi ledakan di Lebanon akibat ledakan massal telepon radio bertanda “ICOM” pada Kamis (19/9/2024).
ICOM mengatakan stasiun radio IC-V82 yang terkait dengan pemboman Lebanon telah dinonaktifkan satu dekade lalu.
Perusahaan juga mengklaim produksi baterai pada perangkat ini resmi dihentikan 10 tahun lalu.
Mereka belum bisa memastikan apakah radio itu palsu atau dikirim oleh perusahaan.
Namun, ICOM menjelaskan bahwa perusahaan tersebut memasok produk audio genggam ke Timur Tengah pada tahun 2004 hingga Oktober 2014.
“IC-V82 adalah radio portabel yang dihentikan produksinya sekitar 10 tahun lalu dan tidak lagi dikirimkan dari perusahaan kami sejak saat itu,” kata ICOM, menurut Japan Times.
“Produksi baterai yang diperlukan untuk mengontrol unit utama juga telah dihentikan, dan segel hologram untuk mendeteksi guncangan produk belum dipasang, sehingga tidak dapat dipastikan apakah produk tersebut dikirimkan oleh perusahaan kami,” jelas ICOM. Sebuah bom mengguncang Lebanon
Dalam dua hari terakhir, Lebanon dilanda pemboman besar-besaran yang menargetkan Hizbullah dan warga sipil Lebanon menggunakan IED.
Saat ini, masih belum jelas bagaimana komunikator yang digunakan di Lebanon dirancang untuk meledak.
Pasukan keamanan internal Lebanon mengatakan perangkat komunikasi nirkabel dikerahkan di seluruh Lebanon, khususnya di pinggiran selatan Beirut, yang merupakan basis Hizbullah.
Telepon yang meledak adalah model terbaru yang dibawa Hizbullah dalam beberapa bulan terakhir, kata tiga sumber keamanan.
Menurut laporan Menteri Kesehatan Lebanon, Firas Abyad, serangan siber tersebut telah menewaskan sedikitnya lebih dari 30 orang.
Pada saat yang sama, lebih dari 3.200 orang terluka.
Sehari setelah ketakutan akan bom hidup, serangkaian ledakan kembali terjadi di seluruh Lebanon, yang berasal dari alat komunikasi lain, yaitu walkie-talkie.
Al Jazeera, Kantor Berita Nasional Lebanon, melaporkan perangkat komunikasi radio meledak di markas Hizbullah di Beirut timur dan selatan serta wilayah Bekaa timur.
Peristiwa ini menewaskan 20 orang dan melukai 450 lainnya.
Salah satu saksi mata Al Jazeera di Tirus di Lebanon selatan, Ali Hashem, yang melihat ledakan tersebut, mengatakan ledakan terjadi secara bersamaan.
“Ada sebuah mobil yang meledak tepat di belakang kami. Pada saat yang sama ada ledakan di tempat lain [dekatnya]. Sekarang saya di tengah jalan. Banyak ambulans, kekacauan di mana-mana,” kata Hashem. .
Namun kali ini yang paling banyak meledak adalah walkie-talkie atau walkie-talkie, tambahnya. Israel akan menjadi dalangnya
Organisasi sayap kanan Hizbullah di Lebanon menuduh Israel menjadi dalang serangkaian pemboman di Lebanon dan Suriah.
Tuduhan tersebut dilontarkan Hizbullah setelah ribuan telepon genggam di Lebanon diretas dan tiba-tiba meledak secara bersamaan.
“Kami menganggap musuh Israel bertanggung jawab penuh atas serangan kriminal yang menewaskan (membunuh) beberapa orang, menimpa warga sipil dan melukai banyak orang dengan berbagai luka,” kata milisi Lebanon.
Selain itu, Hizbullah berjanji akan membalas serangan Israel tersebut.
“Musuh kriminal dan pengkhianat ini pasti akan menerima hukuman yang adil atas serangan berdosa ini, baik yang diharapkan maupun tidak terduga,” kata Hizbullah dalam siaran resminya.
Perdana Menteri Lebanon Najib Mikati juga mengutuk serangan tersebut dan menyebut tindakan Israel sebagai pelanggaran serius.
“Serangan itu merupakan agresi kriminal oleh Israel, yang merupakan pelanggaran serius terhadap kedaulatan Lebanon dan merupakan kejahatan menurut semua standar,” jelas Mikati, menurut kantor berita NNA yang dikelola pemerintah.
Sementara itu, Menteri Penerangan Ziad Makary mengatakan pada konferensi pers di Beirut bahwa pemerintah Lebanon telah menghubungi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara terkait untuk meminta pertanggungjawaban Israel atas kejahatan yang sedang berlangsung ini.
(Berita Tribun / Namira Yunia)