Tentara Mesir Tembaki Tentara Israel di Penyeberangan Rafah, Perang di Depan Mata

Pasukan Mesir menembaki pasukan Israel di penyeberangan Rafah. 

TRIBUNNEWS.COM – Hebrew Channel 14 pada Senin sore (27/5/2024) memberitakan, mengutip sumber militer Israel, bahwa pasukan Mesir melepaskan tembakan ke tentara Israel di penyeberangan Rafah.

Tidak ada yang dilaporkan tewas dalam penembakan itu.

Sementara itu, Hebrew Channel 13 mengutip pejabat Israel yang mengatakan bahwa ada insiden khusus antara pasukan Israel dan Mesir di pos pemeriksaan Rafah tanpa rincian lebih lanjut. 

Insiden ini terjadi setelah berminggu-minggu ketegangan antara kedua negara sejak Israel memutuskan untuk menyerang Rafah dan merebut perbatasan kedua negara di sisi Palestina.

Penguasaan Israel atas Koridor Philadelphia juga menjadi titik merah bagi Mesir yang dianggap mengancam keamanan nasional. Perbatasan Rafah, Gaza, Palestina dan Mesir. Israel telah menyita penyeberangan perbatasan, yang rencananya akan menyewa perusahaan keamanan swasta dari Amerika Serikat. Kairo membantah mengusir warga Gaza ke Sinai

Pemerintah Mesir dengan keras menolak permintaan Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu untuk memindahkan warga Gaza ke Sinai dengan dalih mengurangi jumlah penduduk sipil akibat perang antara Israel dan Hamas.

“Mesir dengan keras menolak rencana Israel untuk merelokasi warga Gaza ke Sinai,” kantor berita Mesir Al-Qahera mengutip pernyataan Anadolu.

Pernyataan tersebut dikeluarkan pemerintah Mesir setelah sebuah dokumen di media Israel mengonfirmasi bahwa tentara Israel sedang bersiap untuk merelokasi 2,3 juta warga sipil Palestina ke kota Tent dan kemudian ke kota permanen Di Sinai utara.

Tak hanya itu, Israel juga telah membangun pertahanan yang “tidak mencukupi” beberapa kilometer dari perbatasan Mesir dan tidak membiarkan masyarakat Gaza dan Rafa kembali ke perbatasan Israel.

Sadar akan rencana tersebut, Presiden Mesir Abdel Fattah Al-Sisi menegaskan tidak akan melepaskan ambisinya untuk mengekstradisi warga Palestina ke Sinai.

Langkah ini diambil Mesir karena merupakan negara Sphinx untuk mencegah peristiwa Nakba atau pembersihan etnis.

Seperti yang dilakukan Israel pada tahun 1947-1949, ketika sekitar 750.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka dalam kesulitan, kelaparan, dan kekacauan setelah dideportasi oleh tentara Zionis.

Al-Sisi menekankan bahwa “Mesir tidak akan membiarkan ambisi Israel terwujud di wilayah Palestina. Harap tetap pada” Pengeluaran negara.

Itu sebabnya Netanyahu dan militernya tidak berani memindahkan warga Rafah ke Sinai yang berbatasan dengan Mesir.

Pada awal Mei, pihak berwenang Kairo mengirim pasukan militer dan kendaraan lapis baja ke timur laut Sinai, yang berbatasan dengan Rafah. Dominasi melintasi Rafah

Perselisihan antara Mesir dan Israel meningkat setelah negara Zionis menduduki penyeberangan Rafah di Jalur Gaza.

Padahal, Mesir merupakan salah satu mediator dalam perundingan antara Hamas dan Israel.

Afrika Utara sedang berusaha mengamankan gencatan senjata antara Hamas dan Israel dan pertukaran sandera.

Namun, Mesir telah berulang kali memperingatkan Israel atas pelanggaran perjanjian perdamaian tahun 1979.

Sayangnya, Israel mengabaikan peringatan Mesir tersebut. Pasukan Zionis pekan lalu memasuki Rafah dan menguasai penyeberangan tersebut.

Banyak yang menduga Mesir akan memutuskan hubungan dengan Israel akibat serangan Israel di Rafah.

Namun, masuknya Israel ke Rafah telah menyoroti ketegangan antara Mesir dan Israel.

Selain itu, pada Minggu (12/5/2024), Mesir menyatakan akan bergabung dengan Afrika Selatan untuk menggugat Israel di Mahkamah Internasional (ICJ) dalam kasus genosida di Gaza. Asap mengepul di udara setelah Israel menjatuhkan bom Rafah di Jalur Gaza selatan pada 11 Februari 2024. (AFP/Al Mayadeen) menegaskan bahwa tindakan Israel adalah ilegal.

Tentara Israel mengambil alih perbatasan Rafah pada 7 Mei dan menutupnya.

Pos pemeriksaan tersebut merupakan pintu gerbang utama distribusi kemanusiaan di Jalur Gaza.

Menteri Luar Negeri Israel Sameh Shoukry mengatakan Israel harus bertanggung jawab atas tindakannya.

“Bertanggung jawab menutup penyeberangan Rafah di sisi Palestina,” kata Shoukry, Minggu, mengutip The New Arab.

Ia juga melanggar perjanjian normalisasi hubungan dengan Israel yang merupakan pilihan Mesir.

Dia mengatakan [perjanjian normal dengan Israel] adalah pilihan strategis bagi Mesir. Selama 40 tahun, ia memiliki mekanismenya sendiri …

Sementara itu, mantan Perdana Menteri Mesir Nabil Fahmy menilai saat ini tidak ada ruang bagi kerja sama Mesir-Israel karena Israel mengatur penyeberangan Rafa.

Sedangkan untuk Ashraq Al-Awsat, Fahmy mengatakan negaranya tidak punya pilihan selain mengambil kendali penyeberangan Rafah oleh warga Palestina.

Dia juga mengatakan bahwa mengendalikan penyeberangan perbatasan Israel adalah tindakan ilegal.

Ia juga menilai Israel tidak ingin mengakhiri perang di Gaza.

Fahmy bertanya-tanya apakah gencatan senjata bisa terwujud jika Israel terus melakukan pendekatan seperti ini. Ikuti kepemimpinan Afrika Selatan

Mesir mengatakan akan bergabung dengan Afrika Selatan dalam menuntut Israel untuk mengadili kasus internasional genosida di Gaza.

Dalam gugatannya, Israel dituduh melanggar kewajibannya berdasarkan Konvensi Genosida dalam perangnya di wilayah Gaza.

Kementerian Luar Negeri Mesir mengatakan pada hari Minggu bahwa negaranya ingin bergabung dengan Afrika Selatan ketika Israel meningkatkan agresinya terhadap warga sipil Palestina.

Keluhan ini disebabkan oleh meningkatnya kekerasan Israel dan skala serangan Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza serta praktik kekejaman sistematis terhadap rakyat Palestina, termasuk penargetan langsung terhadap warga sipil dan hancurnya infrastruktur di Gaza. Kementerian mengatakan dalam sebuah pernyataan yang dikutip oleh Al Jazeera.

Afrika Selatan menggugat Israel pada Januari tahun lalu. Negara tersebut menuduh Israel melakukan genosida terhadap Palestina. Para pengunjuk rasa ikut serta dalam demonstrasi solidaritas terhadap rakyat Palestina saat Mahkamah Internasional (ICJ) mengumumkan putusannya setelah mempertimbangkan kasus terhadap Israel yang diajukan oleh Afrika Selatan pada 26 Januari 2024. . (KOEN VAN WEEL/ANP/AFP)

Korban tewas akibat serangan Israel kini telah meningkat menjadi lebih dari 35.000 orang. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan anak-anak.

ICJ mengatakan dalam keputusannya bahwa ada risiko genosida di Gaza.

ICJ kemudian meminta Israel untuk mengambil tindakan sementara, termasuk membatasi genosida.

Tak hanya Mesir, Turki dan Kolombia juga akan bergabung dengan Afrika Selatan untuk menggugat Israel. 35.709 orang tewas di Gaza

Serangan serentak Israel di perbatasan selatan dan utara Gaza bulan ini juga menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi dari rumah mereka.

Hal ini juga menyebabkan 2,3 juta orang di Gaza berada di ambang kelaparan. Sementara itu, 380.000 orang menghadapi ancaman gizi buruk.

Setidaknya 35.709 orang tewas di Jalur Gaza selama lebih dari tujuh bulan perang antara Israel dan ekstremis Palestina.

Kementerian mengatakan jumlah korban tewas termasuk 62 orang yang meninggal dalam 24 jam terakhir.

Untuk lebih melindungi para korban serangan Israel, pemimpin Mesir Abdul Fattah al-Sisi baru-baru ini memutuskan untuk bergabung dengan Afrika Selatan dalam mengajukan gugatan terhadap genosida Israel yang dilakukan Ann di Mahkamah Internasional (ICJ).

Pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Mesir berbunyi: “Deklarasi intervensi dalam kasus ini terjadi dalam lingkup dan tingkat agresi Israel terhadap warga sipil di Jalur Gaza,” demikian pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Mesir Said.

Keterlibatan Kairo dalam gugatan terhadap Afrika Selatan merupakan langkah baru dalam hubungan Mesir-Israel.

Karena melanggar Perjanjian Camp David tahun 1979, kedua negara berjanji untuk tidak ikut campur dalam politik dan keamanan perbatasan masing-masing.

(oln/kbrn/tc/*)

  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *