Temuan KPK di Papua: Penyakit Birokrasi Mengakar, Nepotisme Kian Kental

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tata kelola yang tidak sehat dan nepotisme yang mengakar menjadi kendala serius dalam peningkatan upah daerah dan dapat berujung pada korupsi. 

Sayangnya, kejadian tersebut masih merupakan hasil kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Provinsi Timur. 

Hal itu dibenarkan Ketua Satgas Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V KPK, Dian Patria, usai menggelar rapat kerja sama MCP dan pemerintah daerah (Pemda) di Papua Barat Daya dengan pendampingan lapangan di Kota Sorong, Rabu ( 3/7/2024), serta dalam rapat pembelaan gabungan korupsi di Kantor Kejaksaan Republik Indonesia (Kejari) di Wilayah Sorong, China (4/7/2024). 

“Ada penyakit negara atau penyakit negara di Papua. Kalau Aparatur Sipil Negara (ASN) dibentuk karena kedekatan, silaturahmi. Ini kuat sekali di wilayah Timur, bukan karena jual beli jabatan. Kedekatan ini berpotensi menciptakan sumber daya manusia yang tidak terampil,” jelas Dian. 

Bahkan, saat terjun ke lapangan, tim Satgas Gabungan Pencegahan dan Penindakan Korupsi KPK menemukan kasus suap dan suap yang dilakukan pegawai Bappenda Kota Sorong dari wajib pajak senilai Rp130 ​​juta setiap bulannya. 

Praktik ini diyakini sudah dilakukan sejak lama sehingga menyebabkan kabupaten mengeluarkan banyak uang.

“Tentu menarik, tapi yang bersangkutan tetap di Bappenda karena ada yang perlu didekati. Jadi kalau kita lihat, posisi APBD Kota Sorong adalah pendapatan masyarakat berasal dari pajak, itu saja. sebesar 5,13 persen. Namun pendapatan pekerja sebesar 41″.23%. Sedangkan kota-kota besar di wilayah timur menghabiskan kurang dari 30% biaya tenaga kerja, sehingga kami juga merekomendasikan kenaikan tarif pajak kabupaten Sorong naik dua digit. 

Tak hanya itu, nepotisme ini juga memberikan efek domino di kawasan Timur. 

Dian membenarkan, banyak properti seperti mobil dan rumah yang kemudian dikuasai aparat karena dianggap telah memberikan lapangan pekerjaan bagi daerah secara turun-temurun. 

Pengendalian aset tersebut dilakukan dengan berbagai cara, seperti tidak mengembalikan aset saat pensiun; menyewa; memberi “hilang”, “dibeli dan dijual”, “rusak”, digunakan di luar kota; dibawa pada masa peralihan/pemindahan ke pemerintah setempat; sampai pemiliknya berganti nama. 

Temuan tersebut, kata Dian, patut menjadi pukulan telak bagi sistem birokrasi di Papua. 

Pasalnya, persaudaraan dan minimnya keahlian di kalangan ASN dapat membuka peluang terjadinya perilaku nekat yang berakibat hilangnya pendapatan nasional dan berdampak pada pembangunan daerah.

Data KPK menunjukkan Survei Penilaian Integritas (SPI) Kota Sorong Tahun 2023 masuk kategori risiko dengan skor 58,20 poin (rata-rata nasional 70 poin. 

Bahkan, Monitoring Center for Prevention (MCP) menemukan satu tahun berada di zona kuning dengan 39,76 poin pada skala 0-100. 

Keadaan ini diperparah dengan hadirnya sistem yang tertinggal dan jaringan internet yang belum lengkap. 

Saat membantu pemerintah daerah dalam Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Kota Sorong, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sistem aplikasi yang digunakan untuk membayar pajak dan uang (Sicantik Cloud) tidak dapat diakses akibat pencurian PDN data. . 

Jadi semua penerimaan pajak dilarang. 

Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya telah memberikan bantuan kepada pemerintah daerah dan wajib pajak yang tidak patuh untuk mendorong pembayaran pajak yang cepat. 

“Akibatnya kalau permohonan sudah tidak ada, nomor pembayaran tidak muncul, wajib pajak tidak bisa membayar. Tidak ada obatnya, lalu bagaimana cara menghitung kerugiannya, apalagi kalau pembayarannya dilakukan secara tunai, kalau sistemnya gagal,” jelas Dian.

Sehingga upaya menghilangkan patologi birokrasi di Papua harus dilakukan secara serius. 

Peningkatan kualitas ASN melalui sistem meritokrasi dan penerapan sistem yang transparan dan akuntabel juga penting. 

Terkait hal tersebut, Komite Pemberantasan Korupsi melalui Direktorat Tipikor Wilayah V terus melakukan pendampingan melalui pencegahan korupsi sehingga membuat para pelaku korupsi terhindar dari hal tersebut.

Dalam suatu kesempatan, Irjen Kota Sorong Ruddy L. Lalu juga mengapresiasi kerja tim KPK yang telah membuahkan hasil baik di lingkungannya. 

Salah satu dampaknya adalah meningkatnya pembayaran tunggakan pajak dan retribusi yang ditangguhkan sejak tahun 2018.

Dalam tiga hari terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi dan pemerintah negara bagian bertemu dengan 11 wajib pajak (WP) yang berhutang N5 miliar. Rp. 

“Kami mengapresiasi banyak yang beritikad baik untuk membayar setelah memberikan bantuan. Kita tidak bisa membiarkan tarif pajak terus berlanjut sementara mereka menutupi kerugian pajak dan pajak. Pemkot butuh uang untuk pembangunan,” jelas Ruddy. 

Pihaknya juga berkomitmen untuk memperbaiki sistem perpajakan dan perpajakan bagi para pelaku usaha di Kota Sorong, serta mencari peluang agar wajib pajak dapat membayar pajak dan perpajakan meskipun sistemnya sering membingungkan. 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri merekomendasikan agar pembayaran pajak sebaiknya masuk ke rekening pemerintah daerah, untuk mencegah kebocoran. 

“Tentunya kami akan menghapus pembayaran pajak dan uang sebagai uang sesuai anjuran Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujarnya. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *