TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Upaya pemerintah Indonesia untuk menurunkan jumlah perokok terbilang berat.
Saat ini jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 65 juta orang.
Banyaknya anjuran yang terpampang di berbagai tempat umum nampaknya tidak mampu menurunkan jumlah perokok di negeri ini.
Larangan merokok tampaknya tidak memberikan dampak apa pun.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memikirkan cara lain agar tidak menimbulkan ancaman terhadap kesehatan masyarakat.
Seperti Selandia Baru yang memilih mendukung kehadiran produk tembakau alternatif untuk mengurangi risiko merokok di negaranya.
Pernyataan ini bukannya tidak berdasar. Perkembangan ilmu pengetahuan, inovasi dan teknologi di negeri Kiwi pada industri tembakau telah memberikan dampak positif yaitu menurunnya kasus merokok.
Rahmana Imran Kartasamita, tim peneliti dari Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (SF-ITB), mengatakan pihaknya juga mempelajari produk tembakau alternatif, khususnya tembakau yang dipanaskan.
Penelitian ini sebenarnya telah dipresentasikan pada KTT Ilmiah ke-5 yang diadakan pada 21-22 September 2022 di Athena, Yunani.
“Produk tembakau yang dipanaskan relatif tidak berbahaya dibandingkan rokok. Oleh karena itu, produk ini perlu diteliti lebih lanjut secara eksperimental oleh pihak-pihak yang terlibat, kata Imran, seperti dikutip Kamis (13/10/2022).
Direktur Center for Research Excellence: Indigenous Sovereignty and Smoking di Selandia Baru, Mareva Glover, yang juga menghadiri KTT Ilmiah ke-5, mengatakan bahwa pengurangan jumlah perokok di negaranya juga menjadi fokus selama beberapa dekade terakhir. .
Ia juga mengatakan bahwa Selandia Baru adalah negara pertama di dunia yang menerapkan Undang-Undang Lingkungan Bebas Asap dan Produk Terkendali yang disahkan pada tahun 1990. Tujuan dari peraturan ini adalah untuk mengurangi bahaya merokok.
Selama 30 tahun berikutnya sejak berlakunya Undang-undang tersebut, pemerintah Selandia Baru melakukan beberapa amandemen untuk mengeluarkan ketentuan seperti pembatasan pemasaran, ketentuan pengemasan dan kenaikan tarif bea masuk. Namun strategi ini belum cukup efektif untuk menurunkan jumlah perokok.
Pada tahun 1992, tingkat merokok di Selandia Baru adalah 27 persen. 20 tahun kemudian, prevalensi merokok sekitar 18,4%.
“Pendekatan pengurangan dampak buruk pada saat itu hanya berfokus pada pengendalian penggunaan rokok,” kata Mareva.
Namun, Mareva menambahkan, sejak diperkenalkannya produk tembakau alternatif pada tahun 2015, tingkat merokok di Selandia Baru telah menurun secara signifikan. Pada tahun 2020, persentase kasus merokok mencapai 10,9% dan menurun menjadi 9,4% pada tahun berikutnya.
Penurunan tersebut juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah Selandia Baru yang melakukan amandemen Undang-Undang Lingkungan Bebas Asap dan Produk Terkendali pada 11 November 2020. Amandemen tersebut mencakup poin tentang produk tembakau alternatif.
Berkat amandemen ini, pemerintah Selandia Baru meyakinkan masyarakat bahwa rokok elektrik atau vaping dan produk tembakau alternatif lainnya seperti produk tembakau yang dipanaskan dapat menjadi pilihan bagi perokok dewasa yang kesulitan untuk menghentikan kebiasaan tersebut.
Ketentuan baru tersebut juga mencakup larangan penjualan produk tembakau alternatif kepada anak-anak di bawah usia 18 tahun.
“Perdana Menteri dan Menteri Kesehatan telah membuat pernyataan publik untuk mendorong perokok dewasa beralih ke produk tembakau alternatif,” kata Mareva.
Pada kesempatan yang sama, David Swenor, asisten profesor di Fakultas Hukum dan ketua dewan penasihat Pusat Hukum, Kebijakan dan Etika Kesehatan di Universitas Ottawa, mengatakan bahwa Selandia Baru telah membuktikan bahwa produk tembakau alternatif dapat dikurangi. . Jumlah perokok.
“Kita bisa melihat angka perokok menurun. “Ini adalah kisah sukses yang luar biasa,” katanya. (Conton/Eudo Vinarto)
Sumber: Uang Tunai