Laporan reporter Tribunnews.com Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tingginya angka pernikahan dini di Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat, dikhawatirkan akan berkontribusi terhadap terhambatnya pertumbuhan.
Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi yang tidak hanya ditujukan kepada orang tua saja, namun juga kepada remaja khususnya remaja putri.
Kami berharap dia akan menjaga kesehatannya dan mempersiapkan pernikahan secara menyeluruh.
Misalnya saja upaya yang dilakukan untuk memastikan ibu hamil dan remaja tidak mengalami kekurangan zat besi dan zat gizi lainnya, sehingga anak-anaknya tidak mengalami hambatan pertumbuhan di kemudian hari.
Kepala Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana Singkawang, Dr. Aleksandar Sp. menjelaskan bahwa dengan pernikahan dini ada bahaya melahirkan anak stunting.
Dimana secara biologis perempuan dibawah usia 16 tahun belum matang organ reproduksinya, dan secara psikologis ibu muda belum siap secara mental.
Pernikahan dini memang mengkhawatirkan, berbahaya bagi ibu dan anak yang dilahirkan, kata Dr Alexander dalam kegiatan Sosialisasi dan Program KIE Bangga Kencana di Aula SMKN 2 Singkawang, Selasa (23 April 2024).
Kami berharap kegiatan ini menjadi wadah sosialisasi dan edukasi di bidang pencegahan stunting.
“Saya mengucapkan terima kasih kepada BKKBN Pusat dan anggota Komisi IX DPR RI yang telah menyelenggarakan acara ini dengan tujuan untuk menjangkau keluarga berkualitas,” ujar Dr. Aleksandra pada pembukaan kegiatan.
Anggota komisi IX DPR RI H Alifudin menilai materi yang disampaikan mudah dipahami masyarakat.
Betapa pentingnya menjaga 1000 hari pertama kehidupan.
“Dari situ diharapkan masyarakat dapat teredukasi bagaimana menjaga dan mengubah perilaku menuju perawatan dan pemenuhan kebutuhan nutrisi bayi secara optimal pada 1.000 hari pertama kehidupannya,” ujarnya.
Berdasarkan data Terpadu Sigiriya tahun 2023, dari 115.524 anak kecil yang diukur tinggi badan/panjang badannya di Kalimantan Barat, diketahui 17.900 atau 15,49 persen anak kecil mengalami stunting atau gizi buruk.
Prevalensi stunting berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI menunjukkan 24,5 persen atau turun 3,3 persen dibandingkan tahun 2022.
Hasil ini masih perlu dimaksimalkan, sesuai ekspektasi pemerintah pusat harus mencapai 14 persen pada akhir tahun 2024.