TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi I DPR RI TB Hasanuddin mempertanyakan urgensi rencana perubahan nama Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Umum (DPA).
Ia menilai DPA dibandingkan Presiden akan menimbulkan masalah baru.
“Iya kita pilih sistem presidensial. Ya, presidennya banyak stafnya, ada menterinya ya, sebagai pembantu presiden, saya kira cukup,” kata Hasanuddin dalam podcast Kantor Jaringan Tribun, Palmerah, Jakarta, Selasa (16/7/2024).
Menurutnya, Presiden Terpilih Prabowo Subianto juga bisa tampil tanpa DPA.
Kehadiran DPA menjadikan pemerintah tidak efisien dan efektif.
“Semakin banyak orang yang berbicara dan terlibat dengan anak perempuan, maka masalahnya akan semakin besar karena akan ada terlalu banyak pilihan di masa depan,” tambahnya.
TB Hasanuddin mengenang pernyataan Bung Hatta yang mengatakan bahwa undang-undang, peraturan, dan sebagainya biasanya adalah penyelenggara negara ini.
Oleh karena itu, harus ada pandangan yang baik dan adil terhadap kepentingan rakyat, itu saja untuk melakukan hal tersebut, ujarnya.
Berikut wawancara Direktur Berita Tribun Network Febby Mahendra Putra dan TB Hasanuddin:
Bolehkah Anda menceritakan kepada kami versi RUU Perubahan UU No. 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres lalu namanya diubah menjadi Dewan Pertimbangan Umum (DPA)?
Jadi seperti yang Anda lihat, hal pertama dalam sebuah rapat adalah ketidaksetujuan. Namun masing-masing kelompok sepakat bahwa perubahan Wantimpres disetujui DPR, kemudian dibahas di Badan Legislatif.
Ya ini yang pertama dan hari itu saya diberi kesempatan menjadi anggota Baleg. Aku bertanya pada temanku, bagaimana ceritanya?
Ini hasil Baleg, lalu kita dapat arahannya, akhirnya dari pemerintah. Jadi ya, untuk mempercepat prosesnya, biarlah itu menjadi agenda DPR. Jadi makanannya dari pemerintah ya?
Itu bagus, itu normal. Sumber dayanya sebagian berasal dari pemerintah, untuk memperlancar proses pembuatan proyek DPR. Saya juga memiliki pengalaman luas dalam menyelesaikan masalah hukum.
Satu-satunya masalah adalah saya sekarang menjadi anggota Baleg dan saya belum melihat modelnya.
Oh, tidakkah kamu melihat polanya? Baru saja mendengar?
Sejak itu saya banyak bertemu komunitas sosial yang murni penolakan. Baiklah, lain kali kita membicarakan apa yang terjadi sekarang, mari kita istirahat.
Liburan akan dimulai pada tanggal 15 Agustus 2024. Mulai tanggal 15 Agustus dan terakhir pada tanggal 16 Agustus kita akan mendengarkan pidato Presiden RAPBN 2025 dan tentunya kita akan sibuk kembali membahas menu ini.
Jadi butuh waktu, saya harap oke, bisa terlaksana, tapi mungkin nanti dengan anggota DPR yang baru. Jika Tuhan mengijinkan, maka akan diubah.
Tapi untuk mendorong kali ini, kan?
Ya, karena itu bersifat sementara. Anggap saja legislasi terkait reformasi UU TNI, reformasi UU kepolisian, reformasi DPA, dan masalah keimigrasian, masalah kementerian, dll harus diselesaikan dalam waktu kurang dari 2 bulan.
Tapi tidak bisa apa-apa, TB, di hari-hari terakhir pemerintahan, dalam situasi seperti ini, Presiden ingin mendorong atau malah didorong?
Nah, kalau itu yang saya pikirkan, jangan kita teruskan kebiasaan buruk itu, yang memalukan kita.
Tn. TB, politikus senior, meski tidak melihat rancangan tersebut, namun yang terjadi menunjukkan adanya keinginan menjadikan Wantimpres sebagai lembaga pemerintah utama setingkat Ketua DPR dan lembaga pemerintah lainnya. Bagaimana kabarnya?
Saya bilang ke dia, katanya tidak lihat modelnya, tapi itu termasuk proyek induknya, tapi yang penting, itu gedung tinggi, lalu seperti Presiden.
Secara organisasi tidak akan ada masalah, karena masih banyak organisasi lain dan kedudukannya tidak sama dengan Presiden, karena sejajar dengan Presiden, Presiden sama dengan DPR, maka organisasi baru ini dinamakan DPA. , akan setara dengan Presiden dan serupa dengan DPR.
Kalau begitu, tidak akan diatur dengan undang-undang, tidak seharusnya, harusnya diatur dengan undang-undang.
Apa itu?
Iya eksekutif, dan DPA dulu sama Presiden.
Sebelum amandemen UUD 1945 ya?
Sekarang kata DPA sudah hilang. Karena kendali telah diambil, oleh karena itu, tidak mungkin untuk membunuhnya. Saya tidak mengubah UU, tapi pokoknya begini, UU tidak bisa memperbaiki UU.
Peraturan perundang-undangan tidak dapat diubah dengan Keputusan Presiden atau Perintah Eksekutif. Ya, itulah hierarkinya.
Jadi, menurut Pak. TB, kalau memang mau, bisa MPR kan? Lewat amandemen UUD 1945 dan ketentuannya susah ya?
Dan tidak hanya itu, ada juga yang seperti kami, saya Sekretaris Kelompok PD Perjuangan di MPR yang saat ini sedang melakukan penelitian dengan banyak fakultas dan universitas untuk membahas penyebab perubahan selanjutnya.
Jadi jangan terburu-buru, bangun pagi dan Wantimpres akan mengkonversi DPA. Tidak perlu survei, konsultasi publik, dll. Karena ini adalah program, program yang adil, program untuk institusi yang lebih tinggi.
TB, politisi senior, seperti apa situasi ini? apa yang kamu lakukan tuan? Apa latar belakang ini?
Itu pertanyaan yang bagus, tapi itu salah. Pemerintah akan bertanya, Pak. Ha ha ha. Saya pikir mungkin ada beberapa tujuan. Dan saya pikir kita harus melihat apa tujuannya.
Kalau bagus, bagus, ikuti saja. Tapi prosedurnya harus diikuti. Itu gol yang bagus, itu bagus. Jika itu adalah tujuan yang baik, kita harus setuju untuk melaksanakannya. Tapi prosesnya benar. Jika Anda ingin mengubahnya, Anda harus melalui amandemen dan konstitusi.
Jangan menjadikannya legal. Misalnya, ada tuntutan agar MPR diangkat kembali menjadi lembaga pemerintah. Ya, ada banyak ide.
Ya, itu bagus juga, tetapi Anda harus mengikuti aturan yang benar. Amandemen itu.. Enggak mungkin ya, dibuat undang-undang saja. Itu tidak bisa dilakukan. Ada aturan yang harus diikuti.
Nanti Pak. TB ulasan ini merupakan kebijaksanaan The President’s Club. Sebuah klub atau organisasi yang beranggotakan mantan presiden, akan membantu Presiden Republik Prabowo. Dan konon kalau DPA ini lolos maka anggotanya akan menjadi mantan presiden. TP, apakah Anda melihat ada hubungannya dengan gagasan itu?
Begini, kami memilih sistem kami sebagai presiden. Iya presidennya banyak stafnya, ada menterinya ya, sebagai pembantu presiden saya rasa cukup.
Lebih dari cukup, bukan?
Lebih dari cukup. Dan saya yakin Pak Prabowo kuat. Meskipun demikian. Semakin Anda memikirkan dan bergaul dengan wanita, kepala Anda akan semakin sakit.
Tidak terlalu membantu mengatasi sakit kepala, bukan?
Hal ini tidak efektif dan efisien. Anda akan merasa lebih buruk nantinya. Makin membingungkan karena begitu banyak pilihan di masa depan.
TBC, yang terjadi di dalam negeri, kondisi calon presiden bisa diubah. Bagaimana jika itu ditegakkan oleh hukum?
Saya pikir kita perlu lebih banyak pengetahuan. Saya selalu ingat apa yang dikatakan Bung Hatta, undang-undang, peraturan dan sebagainya, yang paling menentukan adalah para pengelola negara ini.
Jadi perlu ilmu yang baik dan benar untuk kemaslahatan umat, itu saja. Karena kebutuhan individu, kelompok, kelas, dan sebagainya tidak didasarkan pada kebutuhan individu, maka kita akan terus seperti itu.
Jika ada kemungkinan maka hal ini akan berubah. Seiring berjalannya waktu, hal ini akan berubah, dan seterusnya. Aku mohon padamu, hentikan.
Mari kita kembali ke bentuk kita. Banyak contoh yang telah diberikan oleh orang-orang di masa lalu.
Kalau kampanye PDI tidak sepakat, yang lain bersatu dalam kegagalan, apa jadinya?
Saya mau tanya, kapan India akan menerapkan sila keempat ya Pancasila, negosiasi untuk berpikir, kapan? aku bertanya lagi. Sama sekali tidak. Pada akhirnya, pilih saja.
Tentu saja, jika pemungutan suara menang, silakan saja. Oh, dan jika Anda melewatkan pollingnya, bergabunglah. Ya, seperti itu. Artinya sifat keputusan pemungutan suara bersifat tetap. Baiklah, saya masih ingat, para tetua, bahwa bernegosiasi selama satu jam, kemudian sehari tidaklah cukup.
Hingga perundingan mencapai kesepakatan. Jangan pernah mengabaikan minoritas, mengira Anda mayoritas, namun tetap memilih. Oh, begitu.
Kekejaman terhadap massa?
Ya, itu saja. Seharusnya tidak demikian. Jadi diskusi harus dilanjutkan. Jika satu hari tidak cukup, maka dua hari. Dua atau tiga hari tidaklah cukup.
Seminggu, jika negosiasi membutuhkan waktu sebulan. Memastikan seluruh hasil negosiasi dapat diterima oleh semua pihak. Baiklah, saya harus mulai mengajarkan itu.
Nah, kalau soal Baleg, pasti TB Hasanuddin batalkan rencana itu, kan? Apakah terlihat seperti ini? Kalau saya boleh memutuskan, siapa nama kelompok yang menentang rencana pemaksaan reformasi hukum?
Ya, saya belum memberi tahu kelompok itu.
Oh, belum?
Belum. Karena saya tidak punya apa-apa, saya hanya punya surat. Tapi menurut saya, dan ya, di fatsun ada aturannya. Saya akan memberi tahu Anda, aturan sebenarnya jika Anda ingin menggunakannya. Tapi kalau misalnya saya menginginkan sesuatu, saya tidak mungkin ikut serta.
Jadi kalau tim setuju, TBC tidak akan masuk ya?
Dalam hatiku, mungkin iya. Tapi kita harus punya tujuan. Jika saya memberi tahu seseorang, ya, apa pun itu, lakukan sesuai aturan.
Termasuk kelompok berikutnya ya, untuk melaksanakan pendapat Te TB yang tidak bisa dilakukan hanya dengan undang-undang. Karena tentu itulah kehidupan berbangsa bukan?
Ya, itu saja.
Nah, TB, kalau Anda melihatnya dalam waktu singkat kita. Sebaiknya DPR melakukannya lain kali, lebih tepat waktu dan lebih modern. Haruskah Wantimpres sendiri diubah?
Nah, kalau ditanya seperti itu, dulunya tidak ada tindakan yang tiba-tiba. Masih banyak lagi perubahan dalam implementasi undang-undang tersebut. Ada baiknya kita menganalisis alasan mengapa kita tidak membeli beras dari petani tetapi mengimpor beras dari Vietnam.
Jadi, menurut Pak. TBC, tidak ada prosedur darurat. Bukankah itu penting?
Kalau tidak diubah, bumi tidak akan hancur, siapa lagi? Jika DPA tidak mengubah hal ini, kita akan hidup di Republik ini. Tidak, bukan untuk kepentingan satu atau dua orang.
Namun hal ini tidak berarti bahwa Pak. TB di unit Oppo ya?
Saya tidak tahu bagaimana menolaknya. Sistem kita, sistem presidensial, ya. Ya, mungkin ada perbedaan pendapat, tapi saya selalu berpendapat ya, ini hukumnya.
Bukan berarti kritik tetaplah kritik, bukan?
Tidak, siapa yang tidak pantas mendapatkannya, saya mengutuk. Itu kewajiban hukum saya sebagai anggota DPR. (Jaringan Tribun/Reynas Abdila)