Target Pertumbuhan Ekonomi Pemerintahan Prabowo-Gibran Terlalu Ambisius

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Presiden dan wakil presiden terpilih Indonesia Prabowo Subianto dan Jibran Rakabuming Raka memasang target pertumbuhan ekonomi yang sangat optimis seperti diberitakan pada Juli 2024, yaitu 8 persen.

Sejumlah program dan tujuan lain juga dinilai cukup ambisius.

“Thailand resmi masuk kelas menengah,” kata Dirgayuza Setiawan, editor Strategi Transformasi Bangskarya karya Prabowo Subianto. Oleh Tirto dan Pranadipta Consulting di Jakarta, Selasa (13/8/2024).

Dirgayuza menjelaskan, Indonesia memiliki waktu yang sangat singkat untuk tumbuh dengan persentase dan target tertentu.

“Mengapa Pak Prabowo memasang angka 8 persen? Karena kalau kita tidak segera tumbuh 8 persen, kita selamanya akan menjadi negara berpendapatan menengah,” ujarnya.

Menurutnya, tujuan tersebut merupakan langkah untuk menurunkan tingkat kemiskinan ekstrem hingga 0 persen, dan tingkat kemiskinan nasional di bawah 6 persen.

“Dari rencana kerja pemerintah, kita punya 320 program Asta Cita yang ingin dikerjakan Pak Prabowo, 17 program prioritas dan 8 program unggulan yang cepat hasilnya. Masing-masing program ini kami pikir berdasarkan tantangan yang ada saat ini. peta, tata letak program dan contohnya,” imbuhnya.

Para ahli mempunyai pandangan yang berbeda mengenai target pertumbuhan ekonomi yang optimistis dari para kandidat terpilih, namun ada juga yang berpendapat bahwa Indonesia memiliki potensi pertumbuhan ekonomi jika strategi yang tepat.

Teknokrat Indonesia dan mantan Wakil Menteri BUMN Edwin Hidayat Abdullah mengatakan perdebatan tentang mampu atau tidaknya Indonesia hanya akan meninggalkan Indonesia.

“Jika kita berdebat tentang kenyataan, apakah itu mungkin atau tidak, maka kita tidak akan mencapainya. Namun jika kita menerimanya, maka kita akan bergerak maju ke arah itu.”

Chief Economist Indonesian Financial Group (IFG) dan UI Global Studies and Strategic Researcher Ibrahim Kholilul Rohman menjelaskan, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan bisa dicapai Indonesia. Namun pertama-tama, beberapa aspek harus diikuti.

“Saya setuju kita tidak lagi memikirkan realistis atau tidak, tapi kita harus memikirkan bagaimana mewujudkannya. Bagaimana cara memindahkan A, K, L, S secara bersamaan? “Pembagian peran antara pemerintah, sektor swasta dan semua teknologi lainnya tidak selalu mudah,” ujarnya. Hasil diskusi dan rekomendasi langsung

Dalam sesi focus group Discussion, mereka dibagi menjadi lima kelompok. Kelompok pertama membahas strategi pengelolaan utang publik.

Salah satu kesimpulan kelompok ini adalah perlunya peningkatan rasio utang hingga ke level 50 persen terhadap PDB. Selain itu, Undang-Undang Keuangan Publik memperbolehkan jumlah utang mencapai 60 persen PDB.

Namun peningkatan ini harus disertai dengan beberapa kondisi dan peringatan.

“Penggunaan utang diarahkan pada proyek-proyek yang memberikan nilai tambah yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi sektor tersebut untuk mengambil tindakan. “Kalau sektornya bergerak, kalau lapangan kerja tercipta, kalau masyarakat punya daya beli, maka perekonomian bisa berbalik,” kata jurnalis senior Suli Muvarni.

Diskusi panel ini dihadiri oleh Gurnadi Ridwan, Fakhrul (Trimegah Securities), M. Rizal Taufikurahman (INDEF), Martha Jesica S. M. (IESR) dan Adi Ahdiyat (Databook) dari FITRA.

Pada kelompok kedua, Iqbal Hafizon dari CISDI, Bona Tua (INFID), saya sendiri, Krisna Yudhana Wisnu Gupta (CIPS), Adi Khisbul Wathon (PATTIRO) membahas mengenai penurunan kemiskinan ekstrim hingga 0 persen dan kemiskinan relatif di bawah 6 persen, dan Hasran (CIPS ). Tirto dan Pranadipta Consulting mengadakan Focus Group Discussion (FGD) di Jakarta pada Selasa (13/8/2024) bertajuk “Menggali Realitas Dibalik Target Ekonomi Prabovo-Gibra”.

Tema ini menyoroti banyak hal yang berkaitan erat dengan kemiskinan, mulai dari pengelolaan data yang lebih baik, akses terhadap kesehatan, hingga banyaknya pekerja informal yang tidak tercakup dalam berbagai jaring pengaman sosial seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.

Selain mengentaskan kemiskinan, pemerintah juga harus memastikan kelas menengah yang menjanjikan tidak menyusut.

Selain itu, kemiskinan ekstrem yang harus diatasi untuk mencapai target pertumbuhan memerlukan analisis lebih lanjut mengenai langkah-langkah yang diambil. Pengembang Program Makan Bergizi Gratis (MBG), misalnya, menyoroti hasil proyek percontohan selanjutnya.

“Dalam hal masalah fiskal, Anda harus memikirkan biaya operasional yang memberikan tekanan pada materi sosial umum yang didistribusikan oleh masyarakat, yang digunakan oleh mereka yang mendistribusikannya.” meningkatkan leverage dan tarif pajak, yang jelas akan berdampak,” kata Krisna Gupta.

Isu Strategi Meningkatkan Pendapatan Negara Hingga 23 Persen Ah Maftuchan dari The Prakarsa dan panelis Rhino Akbarinaldi (Monash University Indonesia), Riza Annisa (INDEF), Mulyandy, Farhan Medio Y (The Prakarsa), Samira Hanim (The Prakarsa) dan Agus ( Penasihat Pranadipta).

Terkait pajak dan penerimaan negara, menaikkan tarif pajak menjadi 23 persen dinilai tidak realistis.

“Kalau kita lihat dokumen perencanaan berupa RPJP yang diberikan Bappenas, baru pada tahun 2045 baru mencapai 20 persen, padahal sudah mempertimbangkan perekonomian dan sebagainya,” kata Farhan, Asisten Kebijakan Ekonomi dan Fiskal. Program dan Penelitian di The Prakarsa.

Topik keempat yang dibahas adalah Keberlanjutan Program Hilirisasi yang mengundang M. Tohan dari PERHAPI menjadi moderator, panelisnya adalah Sholahuddin Al Ayubi (CERAH), Lay Monika Ratna Dewi (CELIOS), Sandi Perdamean Purba (IYKRA), Anindita Hapsari ( IESR) dan Arif Adiputro (IPC).

Kelompok diskusi ini merekomendasikan agar program hilirisasi dapat dilanjutkan, namun harus menghasilkan produk akhir yang dalam hal ini adalah industrialisasi mineral. Nilai tambah yang diperoleh dengan cara ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih kuat.

“Kalau kita ingin pertumbuhan ekonomi kita di atas 8 persen, hilirisasi saja tidak cukup. “Yang perlu dilakukan adalah kita harus terus mengalir menuju produk akhir,” kata Toha.

Topik diskusi lainnya adalah Program Keberlanjutan Energi Hijau. Yudha Permana Jayadikarta dari METI menjadi moderator diskusi yang mengundang peserta Fiorentina Refani (CELIOS), Dani Gumilang (GIZ Indonesia) dan Andhika Prastawa (METI).

Kelompok ini mengatakan bahwa pengembangan energi terbarukan dan teknologi rendah karbon harus menjadi prioritas, dengan fokus pada elektrifikasi, efisiensi energi dan evaluasi teknologi CCS/CCUS. Kebijakan tersebut harus didasarkan pada pendekatan ilmiah yang realistis dengan koordinasi lintas sektoral yang kuat dan penguatan kelembagaan energi.

Menurut Boma Samihardjo, CEO Pranadipta Consulting, FGD ini menghasilkan banyak hal baik, mulai dari pengetahuan baru, jaringan hingga rekomendasi yang akan dikirimkan kepada tim khusus ketua dan wakil presiden. “Harapannya bersama-sama kita bisa menggali lebih dalam. “Penerimaan negara, rekomendasi dan rekomendasi optimalisasi utang negara dan penyelenggaraan negara,” kata Boma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *