Tapera: Tabungan Perumahan yang Bikin Galau Kaum Pekerja

Aturan Tapera ini berlaku sejak tahun 2016.

Namun, saat itu yang dibutuhkan masih terbatas pada PNS.

Pada akhir Mei 2024, Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2024 tentang perubahan PP No. 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Subsidi Perumahan Rakyat (Tapera).

Dalam aturan baru ini, pemerintah melakukan perubahan terkait mitra tabungan.

Dalam PP No. 21 Tahun 2024, yang wajib menjadi mitra di Tapera adalah pegawai yang bekerja di pemerintahan, swasta, atau swasta, yang berusia di bawah 20 tahun atau sudah menikah.

Selain itu, Tapera juga perlu diberlakukan bagi pekerja atau pegawai badan usaha swasta, orang asing yang telah bekerja di Indonesia selama enam bulan, dan pekerja yang tidak tergabung dalam serikat pekerja, namun menerima upah pokok atau tidak. . gaji

Anastasia M adalah pensiunan guru sekolah dasar negeri.

Sebagai PNS, semasa karirnya, ia pernah menjadi anggota Taperum-PNS (Tabungan Perumahan PNS atau Tapera pada masa Presiden Soeharto).

Dia tidak lagi ingat berapa banyak yang dia ambil dari gajinya setiap bulan, tapi dia melunasi deposit tersebut ketika dia pensiun beberapa tahun yang lalu.

“Kalau sudah pensiun, urus semua uang pensiun dan dokumen lainnya, sebagai PNS selama 34 tahun, Taperum yang diberikan sebesar Rp 30 juta. Tapi ya, tidak ada rumah yang nilainya sebesar itu,” ujarnya kepada DW. . Negara Indonesia

Di kalangan birokrat sendiri, Tapera masih banyak menimbulkan polemik.

Tiara Sutari, seorang pekerja di Jakarta pun mengeluhkan hal tersebut.

Dengan adanya undang-undang yang memaksa Tapera bergabung, berarti dia dan suaminya ‘terbelah dua’ karena sama-sama bekerja di sektor swasta.

“Aturannya semua, bagi yang sudah punya rumah dan punya KPR juga harus ikut kan? juga perlu memotong 2,5% jika gajinya tidak terlalu tinggi.

Ia juga mengatakan bahwa undang-undang ini tidak cocok untuk semua orang.

“Kalau memang ingin membuat aturan seperti itu, tidak perlu dipaksakan, tapi lakukanlah bagi mereka yang menginginkannya, karena merekalah yang paling terkena dampaknya dan tidak bisa seenaknya menjadi orang-orang yang netral menengah. . “

Selain itu, Tiara juga skeptis dengan program ini karena terkendala izin pemerintah. Ia mencontohkan kejadian yang terjadi, seperti Asabri dan Jiwasraya. Mimpi menikmati gaji pertama anda

Jika Tiara menolak karena memiliki banyak pengeluaran, lain halnya dengan Myranda.

Myra, yang tidak mendapatkan pekerjaan penuh waktu sebulan yang lalu, sangat terkejut.

Ia mengaku sudah merencanakan segala aktivitas keuangan dan gajinya, namun “dengan aturan ini, semua rencana itu hilang, meski masih ada 7 tahun lagi, tapi tetap saja, saya belum ada rencana untuk membeli rumah karena waktunya masih lama. . . waktu berencana untuk belajar di luar negeri, mencari ilmu di luar negeri.”

Komisioner Tapera MP Heru Pudyo Nugroho mengatakan Tapera merupakan perbaikan dari undang-undang sebelumnya.

Tabungan ini dapat digunakan untuk membiayai perumahan dan/atau mengembalikan simpanan modal dengan pendapatan setelah keanggotaan berakhir.

Tapi, bagaimana dengan orang yang sudah punya KPR atau punya rumah sendiri, apakah masih tetap membayar KPR?

“Ada rencana besar yang melibatkan kerjasama masyarakat dan pemerintah, tujuannya bukan untuk menambah tapi untuk menabung. Bagi yang sudah punya rumah, sebagian uangnya digunakan dari kompos untuk mendukung KPR bagi yang punya rumah. rumah.” Anda tidak akan punya rumah sampai kepentingan nasional dijaga lebih tinggi dari tingkat bisnis saat ini, ujarnya dalam konferensi pers di kantor Presiden, Jumat (31/05).

“Jadi mengapa Anda terlibat dalam penyelamatan? Jadi prinsip kerja sama dalam UU Tapera, pemerintah, masyarakat yang punya rumah, membantu para tunawisma, semua bersatu. UU Tapera sangat berharga, begitu pula kekuatan kerjasama antara “Pemerintah dan masyarakat dalam menyediakan sarana perumahan untuk memenuhi kesenjangan perumahan yang lebih mudah diakses.” Bagaimana jika Anda memiliki rumah?

Menanggapi program tersebut, Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik, menyatakan ketidaksetujuannya.

“Tidak semua orang bisa menurunkan 3% itu, 2,5% itu dari pemerintah itu bagian dari pemerintah, seperti BPJS. Ya itu hal yang sulit, tidak bisa dilakukan, kalau punya rumah hanya bisa dilakukan. Saya tidak ingin melukai orang lain,” katanya kepada DW Indonesia.

“Kalau penghasilan ratusan juta pasti setuju. Kalau upah minimum dibatasi, kita tidak bisa membantu orang lain membangun rumah. Itu tugas pemerintah, bukan tugas warga.”

Menurut Agus, Trubus Rahadiansyah, pengamat kebijakan publik menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan tersebut. Apalagi bagi masyarakat yang sudah memiliki KPR.

“Banyak kesimpangsiuran kebijakan yang akhirnya membebani masyarakat. Menurut saya, ini harusnya terserah pada pemerintah, jadi kalau sudah punya KPR sebaiknya tidak melakukan hal-hal tersebut.

“Jadi jangan sampai 3%, misalnya 1,5 atau 1% dari pemerintah, jadi saya lihat negaranya mundur, saya lihat banyak elite yang terlilit utang, Kak. Mereka tidak bisa atau tidak mau membayar.” Tapera dinilai berisiko menimbulkan kerugian bagi perusahaan dan dunia usaha.

Esther Sri Astuti, Ekonom dan Direktur Eksekutif Institute for Economic Development and Finance (Indef), mengatakan Tapera seharusnya tidak bersifat wajib, tapi opsional.

“Tidak harus perlu, karena keinginan orang itu berbeda-beda, ada yang tidak mau beli rumah dulu, ada yang mau kuliah, jalan-jalan, atau sudah punya uang. rumah. rumah dari tempat tidur,” ujarnya kepada DW Indonesia.

Ia menilai, meski pada awalnya memiliki niat baik, penerapan Tapera tidak tepat dan berdampak signifikan terhadap perekonomian mikro karena besarnya dana yang dikeluarkan. Artinya pemerintah punya uang lebih. Nah, pengelolaan Tapera harus baik, dana investasinya tidak boleh terbengkalai.

Menurut dia, kurangnya pengelolaan kegiatan investasi dan anggaran menyebabkan Tapera mengalami kerugian yang nantinya bisa diandalkan oleh mitra.

“Jangan sampai kalau Tapera penuh, tidak bisa beli rumah. Menurut saya, lebih baik mereka diberikan subsidi air saja. Kalau mereka mau beli rumah, kasih saja, kalau tidak, jangan. jangan menindak mereka.”

Selain itu, Esther juga menilai ‘memaksa’ Tapera akan merugikan lingkungan dan bisnis perusahaan. Dia mengatakan bahwa dengan perbedaan departemen dan tanggung jawab yang diemban perusahaan, biaya menjalankan bisnis akan tinggi. Ia khawatir hal itu akan menambah biaya produksi dan pemasaran.

“Terakhir karena harganya tinggi ada risiko PHK, jangan sampai begitu. ” (Ya)

Melisa Ester Lolindu di Jakarta berkontribusi pada laporan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *