TRIBUNNEWS.COM – Pengacara Kamaruddin Simanjuntak menanggapi isu perjanjian pemisahan harta Sandra Dewi dan Harvey Moeis.
Baru-baru ini diberitakan, Sandra Dewi dan Harvey Moeis dikabarkan telah menandatangani perjanjian pranikah berupa pemisahan properti sebelum keduanya menikah pada November 2016.
Hal itu diungkapkan kuasa hukum Harvey Moeis, Harris Arthur Hendar, saat penyidik Kejaksaan mendalami harta kekayaan kliennya.
Diketahui, suami Dewi Sandra diduga terlibat kasus korupsi yang disebut-sebut merugikan pemerintah sebesar 271 triliun dolar.
Kamaruddin Simanjuntak, saat mendengar kesepakatan pemisahan harta Sandra Dewi dan Harvey Moeis, pun memberikan jawabannya.
Menurut salah satu pengacara terbaik di Indonesia ini, kejaksaan harus menyelidiki keabsahan perjanjian perceraian.
“Untuk mengetahui apakah akad tersebut telah selesai atau belum, pada saat pernikahan atau setelah mereka menikah pada tahun 2016. Lalu sah atau tidaknya akad tersebut, kita perlu mengetahui apa yang dilakukan oleh Notaris,” kata Kamaruddin Simanjuntak yang disebutkan YouTube. Berita Seleb Oncam, Minggu (28/4/2024).
“Ada tiga jenis perjanjian atau tindakan. Perlu dikaji ulang juga apakah masuk dalam undang-undang ini atau amplifikasinya,” lanjutnya.
Dalam kasus ini, Kamaruddin menjelaskan, jika perjanjian pranikah itu nyata, maka perbuatan pihak laki-laki tidak melibatkan pihak perempuan.
Namun jika perjanjian pranikah masih ada dan benar terjadi pada tahun 2016, berarti perbuatan laki-laki adalah urusan laki-laki dan bukan urusan perempuan, jelas Kammarudin.
Pengacara ini juga menegaskan, jika Sandra Dewi diberi hadiah yang diketahui hasil korupsi, maka harus diambil.
“Tapi pemberian kepada perempuan itu, entah itu mobil, pesawat, dan sebagainya. Kalau didapat melalui suap, harus selalu diambil. Karena itu bagian dari korupsi,” kata Kamaruddin.
Termasuk kado pernikahan atau rumah, apapun namanya, asalkan suap yang bisa diambil untuk pemerintah, lanjutnya.
Menanggapi persoalan aset Harvey Moeis yang disita secara perlahan, Kamaruddin pun meminta penyidik membuktikan nilai suap yang mencapai 271 triliun dolar tersebut.
Benar kalau terdengar kerugian negara 271 triliun, kalau uang yang diterima Jaksa Agung belum satu triliun berarti masih belum 1 persen, demikian penjelasannya.
“Kita bicara 10% dulu, minimal diambil 10% dari Rp 271 triliun. Kalau Kejaksaan Agung tidak mengambil 70%, percuma saja, pemerintah rugi 271 triliun.
Jadi kalau diambil 10%, kita akui pemerintah rugi 271 triliun, kata Kamaruddin. Kamaruddin Simanjuntak meminta jaksa lebih berhati-hati dan transparan
Untuk menutup celah manipulasi data tersangka korupsi, Kamaruddin pun berharap penyidik lebih berhati-hati.
Hal ini dilakukan agar pelaku korupsi tidak bisa mengamankan harta bendanya.
“Iya namanya korupsi, harus dihindari. Tapi jaksa harus lebih pintar, polisi harus lebih pintar, Komisi Pemberantasan Korupsi harus lebih pintar. Jangan berbuat pidana, biar lebih bijak,” kata Kamaruddin Simanjuntak. . .
Termasuk perjanjian pemisahan properti yang diumumkan oleh pengacara Harvey Moeis. Kamaruddin Simanjuntak (Screenshot YouTube Selebriti Oncam News)
Oleh karena itu, dia harus memverifikasi apakah perjanjian pemisahan harta benda ini sudah selesai atau belum pada tahun 2016. Sudah didaftarkan Kementerian HAM dalam daftar perkara dengan nomor surat, nomor surat, katanya.
Tak hanya itu, pengacara berusia 49 tahun itu meminta penuntutan lebih transparan.
Khususnya terkait penyitaan yang dilakukan penyidik.
“Jaksa harus transparan, jadi jaksa harus mengungkapkan segala tindakan atau kegiatannya.
“Jaksa juga harus mengumumkan setiap ada penculikan dan juga harus memberitahu masyarakat berapa yang disita dan apa yang tidak disita, tapi ini jaksa yang keren,” tutupnya.
(Tribunnews.com/M Alvian F)