Laporan jurnalis Tribunnews.com Denis Destryavan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Anggota Komisi VII DPR RI Mulianta meminta pemerintah membatalkan rencana pemberian IUPK (Izin Pertambangan Khusus) kepada organisasi keagamaan.
Mulianta mengatakan, langkah tersebut tidak tepat di tengah kisruhnya dunia pertambangan dan merupakan kewenangan organisasi keagamaan.
“Kesalahan tersebut bisa menjerumuskan organisasi keagamaan akar rumput sebagai penjaga moral masyarakat ke dalam ‘dunia hitam’ pertambangan,” kata Mulianta di Jakarta, Kamis (13/06/2024).
Muljanta berpendapat, pemerintah harus mengatur kegiatan pertambangan sesuai dengan amanat konstitusi agar sumber daya alam yang dikuasai negara benar-benar dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan masyarakat.
Daripada membagi IUPK eks PKP2B kepada peserta baru, yakni organisasi keagamaan yang belum terbukti spesialisasi dan kompetensinya di bidang pertambangan.
“Ada kekhawatiran hal ini justru memperburuk situasi pertambangan di Tanah Air yang sudah kisruh,” kata Mulianto.
Mulianta mengungkapkan, belakangan ini silih berganti terungkap kasus pertambangan yang merugikan negara hingga triliunan rupee. Misalnya, kasus korupsi timah di Babel yang kerugian masyarakatnya fantastis hingga Rp 300 triliun, masih belum bisa diusut tuntas.
Namun kasus korupsi emas PT Antam bertambah menjadi 109 ton emas, tambah Mulianta.
Sementara itu, tambahnya, pihak berwenang gagal menuntaskan kasus penambangan emas ilegal di Kalimantan yang melibatkan alat berat dan melibatkan 80 WNA Tiongkok yang sebagian di antaranya memiliki visa turis, kasus serupa tiba-tiba muncul di Palu, Sulawesi Tengah.
Belum lagi permasalahan reklamasi pasca penambangan, kerusakan lingkungan, termasuk masalah pembuangan limbah pertambangan yang sembarangan ke sungai atau laut sehingga merugikan ekosistem biota perairan, kata Mulianta.
Meski jumlah pengawas pertambangan, kata Mulianta, sangat terbatas, namun gugus tugas terpadu pemberantasan pertambangan ilegal hanya sebatas pembahasan karena hingga saat ini belum ditandatangani oleh presiden.
“Sebenarnya dukungan pemerintah, termasuk perang bintang di dunia pertambangan, sudah bukan rahasia lagi bagi publik. Oleh karena itu, tak heran jika tersangka sengketa pertambangan ini adalah dua mantan direktur Minerba. Jabatan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara telah kosong selama beberapa bulan.
Menurut Mulianto, alih-alih memberikan IUPK kepada organisasi keagamaan yang dikhawatirkan akan membawa kekacauan pada dunia pertambangan nasional, ia justru mendesak pemerintah serius menata lembaga pertambangan nasional.
Bandingkan dengan produk migas yang memiliki badan pengatur dan pengawas di hulu dan hilir, yaitu SKK Migas dan BPH Migas, jelasnya.
Sebelumnya, Pemerintah mengeluarkan izin pertambangan kepada organisasi keagamaan melalui Keputusan Pemerintah (GD) no. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan GD No. 96 Tahun 2021 tentang pertambangan dan ekstraksi batubara.
Di sisi lain, terdapat kekhawatiran mengenai kemampuan organisasi lokal dalam mengelola bisnis pertambangan secara efektif, yang dikhawatirkan akan menimbulkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan yang lebih besar.
Sejumlah pihak menilai pemberian hak pengelolaan pertambangan hanyalah upaya pemerintah untuk membagi-bagikan “kue” bisnis kepada ormas.