Tak Hanya Dibully, dr Aulia Diduga Juga Dipalak Senior Rp40 Juta per Bulan hingga Akhirnya Depresi

TRIBUNNEWS.COM – Kementerian Kesehatan (KMENKS) mengumumkan mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi (PPDS) Dr.Dr. di Universitas Diponegoro (Undeep) Semarang. Hasil pemeriksaan terbaru atas meninggalnya Auliya Risma Lestari telah terungkap.

Hasil penelusuran Kementerian Kesehatan mengungkapkan, para lansia tersebut berpenghasilan antara Rp20 juta hingga Rp40 juta per bulan.

Depresi yang dialami Dr Auliya diyakini bermula dari penarikan biaya akademik hingga meninggal dunia di kamar rumah sakitnya pada 12 Agustus 2024.

Juru bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Siharil mengatakan senior PPDS Anestesi Undeep diduga meminta masyarakat membayar Dr Auliya dari biaya pendidikan resmi.

“Permintaan uangnya berkisar Rp20 juta hingga Rp40 juta per bulan,” lapor Syahril, Minggu (1/9/2024).

Banyak saksi yang mengatakan korban terpaksa membayar pungutan liar tersebut karena sedang menjalani semester 1 PPDS anestesi, atau lebih tepatnya pada Juli hingga November 2022, kata Sihril.

Sedangkan Dr. Auliya ditunjuk sebagai bendahara kelas yang bertugas memungut biaya dari teman-teman sekelasnya.

Uang iuran tersebut kemudian digunakan untuk berbagai keperluan non-akademik. Mulai dari mendanai penulis lepas untuk menulis esai akademik senior, membayar office boy (OB), membiayai kebutuhan pribadi senior.

Diduga biaya hingga Rp 40 juta per bulan ini menjadi awal mula depresi yang dialami Da Aulia.

Sebab, dr Auliya menempuh PPDS dengan bantuan beasiswa yang diberikan Kementerian Kesehatan RI.

Biaya ini dinilai berat bagi Dr. Auliya dan keluarganya.

“Biaya ini merupakan beban besar bagi almarhum dan keluarganya.”

“Faktor ini diyakini menjadi pemicu awal almarhum mengalami tekanan dalam studinya karena tidak menyangka biayanya akan sebesar itu,” kata Sihril.

Saat ini, bukti dan keterangan terkait pengembalian ilegal tersebut telah diserahkan kepada polisi untuk ditindaklanjuti.

Siharil memastikan Kementerian Kesehatan akan terus mengusut dugaan penyerangan tersebut bersama polisi.

Ia juga memaparkan alasan Kementerian Kesehatan menghentikan sementara PPDS Undeep Anesthesia di RSUP Dr. Kariyadi, Semarang.

Syahari mengatakan, ada dugaan adanya hambatan yang dilakukan sejumlah oknum dalam proses penyidikan Kementerian Kesehatan.

Sebagai informasi, dr Auliya mengakhiri hidupnya karena tidak tahan dilecehkan atau dilecehkan oleh seniornya di PPDS Anestesi Undeep Semarang. Viral konten rekaman suara dr Auliya

Pertama, saat PPDS Anestesi Dokter Undip. Rekaman suara Auliya beredar luas di media sosial.

Dr Auliya awalnya mengirimkan rekaman tersebut kepada ayahnya Mohammad Fakhruri melalui pesan WhatsApp.

Dalam rekaman suara tersebut, terdengar dr Auliya menangis sambil mengaku tak bisa lagi mengikuti PPDS.

Berikut rekaman suara yang diduga dikirimkan dokter Auliya kepada ayahnya:

“Tidak ayah, setiap aku bangun ayah, seluruh tubuhku sakit, punggungku sakit. Anda harus bangun perlahan.

Jika saya tidak memperlambat, saya tidak akan bisa bangun. Saya hanya ingin minum dan itu sulit. Anda tidak bisa minum di bangsal.

Lalu akhirnya saya meminta bantuan CS (Customer Service) dan memberi mereka Rp 50k.

Aku meminta untuk pergi membelikannya minuman.

Soalnya aku gak bisa ke kantin atau minimarket sama sekali gan.

Ayah, sungguh, ayah, programnya rusak di sini, ayah. Saya tanya ke teman UNS, ini tidak 24 jam bapak, saya tidak tahu apakah bisa bapak.”

Penafian:

Berita di atas tidak dimaksudkan untuk mendorong siapapun melakukan tindakan tersebut.

Bunuh diri bisa terjadi ketika seseorang mengalami depresi dan tidak ada orang yang bisa menolong.

Jika Anda mempunyai masalah yang sama, jangan menyerah dan putuskan untuk mengakhiri hidup.

Anda tidak sendiri, layanan konseling bisa menjadi pilihan Anda untuk mengatasi rasa cemas Anda.

Ada beberapa saluran yang tersedia bagi pembaca untuk menghindari tindakan ini.

Pembaca dapat menghubungi hotline kesehatan mental Kementerian Kesehatan (021-500-454) atau LSM Jangan Bunuh Diri (021 9696 9293) atau email jangan bunuh diri @yahoo.com.

(Tribunnews.com/Jayanti Tri Utami/Aisyah Nursyamsi/Faisal Mohay)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *