Laporan dari Tribunnews.com, Vilhelmina Fitriani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mendengar nama Glodok pasti langsung teringat pada VCD atau mal elektronik bajakan pada pertengahan tahun 90an hingga 2000an.
Namun dampak pandemi dan beralihnya tren konsumen dari media fisik seperti VCD dan DVD ke layanan penyiaran dan digital membuat bisnis penjualan VCD dan DVD melambat.
Hal yang sama berlaku untuk barang elektronik.
Pasca wabah Covid-19, ketika percakapan antara pembeli dan pedagang masih terbatas, tren penjualan online muncul dan pasar barang elektronik juga melambat.
Arifin merupakan pemilik satu-satunya toko VCD dan DVD yang masih bertahan.
Ia menemukan penjualan VCD dan DVD di tokonya turun 70 persen dalam lima tahun terakhir.
Saya berjualan di sini sejak tahun 2003. Dulu pelanggannya selalu ramai, apalagi kalau ada film baru yang rilis. Sekarang banyak orang yang lebih memilih menonton film atau mendengarkan musik secara online, kata Arif saat ditemui Tribunnews, Senin. 26/8/2024).
Arif mengatakan saat ini sebagian besar konsumen lebih memilih mengakses musik, film, dan konten hiburan lainnya melalui platform digital seperti Spotify, Netflix, dan YouTube.
Transisi ini memaksa banyak pemilik usaha untuk beradaptasi atau bahkan menutup usahanya.
Arif mengatakan, beberapa penjual VCD dan DVD di kawasan Glodok mencoba beradaptasi dengan menjual produk lain atau beralih ke bisnis yang lebih kekinian.
Banyak toko mulai menawarkan aksesoris elektronik, gadget, software, sound system dan alat musik.
Lantai bawah disulap menjadi tempat penjualan makanan dan minuman.
“Kami hanya mengandalkan pelanggan setia atau kolektor yang masih mencari rilisan fisiknya,” kata Arif.
Arif mengaku hanya bisa mendapatkan Rp 200 ribu dalam sehari dari hasil penjualan 5 VCD dan DVD.
Diakuinya, berbeda dengan booming dulu, dalam sehari ia bisa meraup triliunan rupee.
“1-5 kaset terjual setiap hari, bahkan kaset bekas pun banyak yang dibeli oleh kolektor,” kata Arif.