Stigma dan Peran Ganda: Lika-liku Ibu Tunggal Meraih Bahagia

Mempersiapkan pertemuan dengan klien, menyiapkan perbekalan dan mengantar si bungsu ke sekolah adalah rutinitas pagi Icha, sapaan akrab Anisa. Pada tahun 2021, ia memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya lebih awal. Icha pun harus berperan ganda, sebagai ibu dan ayah bagi kedua anaknya.

Sebelum memutuskan bercerai, Icha sadar bahwa tanggung jawab yang akan diembannya tidak akan mudah. Salah satunya adalah peran baru sebagai pilar keluarga. Hal ini mengharuskan Icha kembali memasuki dunia kerja setelah 8 tahun menjalani rumah tangga.

“Dulu saya bekerja, tapi kemudian setelah menikah saya harus berhenti bekerja untuk mengurus anak dan rumah tangga,” kenang Icha.

“Akhirnya sekarang saya mencoba melamar pekerjaan lain, tapi sulit sekali karena semua perusahaan memperhitungkan kondisi saya yang sudah punya anak,” imbuhnya. Perempuan seringkali dianggap tidak kompeten hanya karena memiliki anak

Selain mempertaruhkan ketersediaan lapangan kerja, para ibu yang ingin kembali berkarir juga masih harus “melawan” bias dalam proses seleksi. Selain itu, faktor usia juga membuat Icha kesulitan kembali ke dunia kerja, apalagi banyak perusahaan yang lebih memilih mempekerjakan lulusan baru.

Icha bercerita kepada DW tentang perjalanannya mencari pekerjaan. Ia dianggap tidak cukup mampu, hanya karena menjadi seorang ibu. “Saat itu, alasannya adalah karena takut anak tersebut akan mengganggu selama bekerja.”

Ayo, daftar buletin mingguan Wednesday Bite secara gratis. Perbarui pengetahuan Anda di tengah minggu agar topik pembicaraan semakin seru!

Icha pun menilai, pengalamannya biasanya tidak ditanggapi serius oleh para ibu rumah tangga. Kesenjangan kosong di resume Anda juga merupakan batu sandungan saat menghubungi perekrut.

“Sebenarnya aku masih bisa mengatur waktu dengan baik, antara anak-anak dan pekerjaan. Tapi nggak mungkin aku coba, seperti masa percobaan minimal 3 bulan,…Awalnya langsung terputus,” kata Icha.

Sebuah penelitian di Universitas Stanford menemukan bahwa perekrut 2,1 kali lebih mungkin menelepon pelamar yang bukan ibu dibandingkan mereka yang sudah ibu, bahkan dengan kualifikasi yang sama.

Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah mengatakan para ibu yang ingin kembali bekerja seringkali mendapat stigma karena banyaknya kesalahpahaman bahwa pekerja perempuan hanya dapat memiliki satu jenis karakter: seksi atau kompeten.

“Perempuan yang berlatar belakang rumah tangga seringkali dianggap pemarah sehingga praktis dinilai tidak kompeten dan tidak mampu bekerja. Prasangka seperti ini kerap menghantui ibu-ibu yang ingin kembali bekerja,” jelas Alimatul yang sudah mandiri secara finansial.

Kemandirian finansial adalah salah satu dari banyak masalah mendasar yang menjangkiti para ibu tunggal. Data Komnas Perempuan Anti Kekerasan menyebutkan, dari total jumlah perceraian, sebanyak 98% ayah tidak lagi menghidupi anaknya.

Karena kondisi tersebut, Icha terus memikirkan bagaimana cara menghidupi anaknya hingga akhirnya memutuskan menjadi freelance event organizer.

“Sekarang saya merasa punya kuasa lebih terhadap anak-anak saya, bersyukur sekali akhirnya saya mempunyai pekerjaan yang melihat diri saya dan potensi yang saya miliki. Terlebih lagi, dengan adanya freelancer seperti itu, saya bisa lebih membagi waktu saya antara bekerja dan anak-anak,” kata Icha. Stigma ibu tunggal di luar nikah

Stigma lain menimpa Martina Ikha Rustiana Sari, perempuan yang memutuskan membesarkan anak sendiri tanpa menikah. “Saat itulah saya tahu saya melakukan kesalahan, saya hamil muda sebelum menikah,” kata Ikha.

Ibu tunggal karena pilihan adalah perempuan yang memilih menjadi ibu tunggal tanpa menikah. Mereka memutuskan bahwa mereka siap dan mampu menghidupi janinnya, melahirkan dan membesarkan anak tersebut tanpa bantuan orang yang menanam benih tersebut.

Dia membuat pilihan besar ini 20 tahun lalu, ketika dia memutuskan untuk membatalkan pernikahannya dengan mantan pacarnya.

“Saya batalkan (pernikahan) beberapa hari sebelum pemberkatan. Karena saya lihat sikap mantan saya berubah saat itu, dia jadi keras dan emosi. Saya langsung berpikir, bagaimana kalau anak saya harus membangkang?”

Jalan ini dipilihnya setelah mempertimbangkan beberapa hal dan berpikir dalam hati: “Dia (mantan Ikha) marah karena aku hamil. Menurutku, dia kecewa. Bagaimana aku bisa menikah dengan seseorang karena kecewa. Menurutku, situasi ini lebih buruk. Aku tidak Aku tidak ingin menyakiti anak itu karena kesalahan yang kuperbuat.”

Sejak memutuskan untuk tidak menikah, Ikha mengaku belum pernah berhubungan lagi dengan mantannya, begitu pula sebaliknya. “Saya pikir saya akan membiarkannya jika dia masih ingin menjadi seorang ayah. Tapi jujur ​​saja, setelah kami berpisah, itu hilang begitu saja,” ujarnya.

“Aku sering dicap ini-itu, perempuan nakal, macam-macam. Tapi akhirnya aku sadar untuk apa memikirkan omongan orang yang bahkan tidak membiayai nyawa kita,” kata Ikha. Ibu yang bahagia penting bagi generasi penerus

Wanita single mother masih menjadi hal yang tabu bahkan memalukan. Namun bagi Ikha, segala nilai yang diberikan lingkungan tidak pernah menggoyahkan tekadnya untuk selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya.

“Meski banyak orang yang mengecam ini dan itu, tapi satu hal yang selalu kuingat. Kelahiran anakku di dunia ini bukanlah sebuah kesalahan, justru itu adalah nikmat terbesar yang Tuhan berikan kepadaku.”

Ikha memutuskan mengambil jalan terjal dalam hidup demi menyelamatkan anaknya dari keadaan keluarga yang kurang ideal. Satu hal yang ia pelajari adalah bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari pasangan atau “standar kebahagiaan ideal” yang ditetapkan banyak orang.

Agar Ikha bisa merawat dan membesarkan anak-anak bahagia, ia harus menimba kekuatan dari seorang ibu yang bahagia. Terlepas dari stigma dan masa lalunya, bagi Ikha, menjadi seorang ibu adalah perjalanan panjang memberikan kasih sayang tanpa syarat.

Redaktur: Arti Ekawati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *