Sosok Ismail Haniyeh, Pemimpin Hamas yang Tewas Diserang Rudal Israel di Iran

TRIBUNNEWS.COM – Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh meninggal di Iran pada Rabu pagi (31 Juli 2024).

Kematian Ismail Haniyeh dikonfirmasi oleh Hamas dan menyalahkan Israel.

Dalam sebuah pernyataan, Hamas mengatakan mereka berduka atas meninggalnya Ismail Haniyeh.

Kata Ismail Haniyeh tewas dalam serangan Israel di Iran.

Haniyeh meninggal saat salah satu pengawalnya dimakamkan di rumahnya di Teheran.

“Dengan kesedihan yang mendalam bagi para pahlawan Palestina dan bangsa Islam serta para pejuang front perlawanan dan bangsa Iran yang terhormat, pagi ini (Rabu) di rumah Dr. Ismail Haniyeh, kepala kantor politik “Perlawanan Islam Hamas diserang di Teheran dan setelah kejadian ini dia dan salah satu pengawalnya terbunuh,” demikian pernyataan Angkatan Bersenjata Revolusioner Iran (IRGC) yang dikutip oleh The Guardian. Pos Yerusalem.

Penyebabnya sedang diselidiki dan akan segera diumumkan, lanjut pernyataan itu.

Jadi berapa nomor telepon Ismail Haniyeh?

Ismail Haniyeh lahir pada tahun 1962 dekat Ashkelon, yang sekarang menjadi bagian dari Israel.

Haniyeh menghabiskan masa kecilnya di kamp pengungsi Al-Shati di Jalur Gaza.

Seperti kebanyakan anak-anak pengungsi, Haniyeh dididik di sekolah yang dikelola oleh Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA).

Menurut Britannica, Haniyeh mendaftar di Universitas Islam Gaza pada tahun 1981, di mana dia belajar sastra Arab.

Ia juga terlibat dalam politik mahasiswa dan memimpin sekelompok mahasiswa Islam yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin.

Ketika kelompok Islam Hamas didirikan pada tahun 1988, Haniyeh adalah salah satu anggota pendiri termuda.

Dia menjalin hubungan dekat dengan pemimpin spiritual kelompok tersebut, Sheikh Ahmed Yassin.

Haniyeh ditangkap oleh otoritas Israel pada tahun 1988 dan dipenjara selama enam bulan karena partisipasinya dalam Intifada pertama (pemberontakan melawan pendudukan Israel).

Dia kemudian ditangkap lagi pada tahun 1989 dan tetap di penjara sampai Israel mendeportasinya ke Lebanon selatan pada tahun 1992 bersama sekitar 400 Muslim lainnya.

Haniyeh kembali ke Gaza pada tahun 1993 setelah Perjanjian Oslo.

Sekembalinya dari pengasingan, ia diangkat menjadi dekan Universitas Islam Gaza.

Peran kepemimpinan Haniyeh di Hamas dimulai pada tahun 1997 ketika ia menjadi sekretaris pribadi Yassin.

Dia tetap menjadi orang kepercayaan pemimpin spiritual sampai kehidupan Yassin.

Keduanya menjadi sasaran upaya pembunuhan yang gagal dilakukan Israel pada tahun 2003 hingga Yassin terbunuh beberapa bulan kemudian.

Pada tahun 2006, Hamas mengambil bagian dalam pemilihan Majelis Nasional Palestina, dengan Haniyeh sebagai pemimpin dalam daftar tersebut.

Kelompok ini memenangkan mayoritas kursi di parlemen dan Haniyeh menjadi perdana menteri Otoritas Palestina (PA).

Komunitas internasional menanggapi kepemimpinan Hamas dengan menghentikan bantuan kepada Otoritas Palestina, yang memberikan tekanan finansial yang besar pada badan pemerintahan tersebut.

Pada bulan Juni 2007, setelah ketegangan selama berbulan-bulan, termasuk bentrokan bersenjata antara partai oposisi, Presiden Mahmoud Abbas dari partai Fatah memecat Haniyeh dan membubarkan pemerintahannya.

Akibat dari perselisihan ini adalah terbentuknya pemerintahan otonom Hamas di Gaza di bawah kepemimpinan Haniyeh.

Israel kemudian memberlakukan berbagai sanksi dan pembatasan di Gaza, yang diikuti oleh Mesir.

Setelah Israel menembakkan beberapa roket dari Gaza ke Israel pada bulan Januari 2008, Israel meningkatkan penindasannya.

Namun, Hamas masih menguasai Jalur Gaza dan kekuasaannya menghadapi kesulitan mulai dari keberhasilan hingga kesulitan politik. Jadi ini merupakan kerugian besar bagi Hamas

Ibrahim Madhoun, analis yang berafiliasi dengan Hamas, mengatakan kematian Ismail Haniyeh merupakan pukulan besar bagi Hamas.

Namun, Madhoun mengatakan dia tidak akan mengubah posisi Hamas dalam perang melawan Israel.

Menurut New York Times, Hamas menghadapi masalah ini sebelum kematian Ahmed Yassin dan Abdel Aziz Rantisi.

Ia mengatakan, pembunuhan terhadap para pemimpin politik Hamas menunjukkan tidak ada garis merah dalam perang antara Israel dan Hamas.

(Tribunnews.com/Whiesa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *