TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota DPR RI dari Partai Nasdem Willy Aditya mengatakan industri hasil tembakau (IHT) sudah menjadi identitas nasional. Selain itu, masih kurangnya titik pertumbuhan industri baru di tengahnya.
Faktanya, kata Wiley, banyak negara kini menciptakan identitas nasional mereka sendiri melalui perlindungan dan keamanan.
“Jangan seperti monyet yang memegang sedotan, apapun yang ada di tanganmu karena kamu berusaha mempertahankan apa yang telah hilang, kalau kita bicara tentang tembakau, itu adalah sesuatu yang sangat tinggi sehingga berada di bawah air, itu adalah sebuah paket lengkap, Ada petani, ada pedagang, ada perusahaan, dan ada lingkungan hidup,” kata Wiley dalam sidang legislatif bertajuk “Review Sistem Keputusan Menteri Kesehatan dan Dampaknya Terhadap Industri Tembakau” yang digelar di Gedung DPR. Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (18/9). /2024).
Diskusi tersebut membahas perdebatan RUU Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Keamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektrik, serta implementasi Undang-Undang Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Penerapan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang diatur menjadi domain publik Kelebihan dan Kekurangan. Diketahui, RPMK telah mengusulkan peraturan mengenai kemasan rokok bebas label.
Wiley yakin ini adalah era kolaborasi dan kerja sama. Saat Anda memberikan saran, saran tersebut akan bersifat terbuka, kolaboratif, dan akan menciptakan solusi yang saling menguntungkan.
“Tidak hanya satu kemenangan lagi, tidak hanya dua kemenangan lagi, pemain pertama, kedua, dan ketiga dalam strategi juga akan menang. Dalam hal ini, kita perlu bersama-sama mengembangkan solusi tiga kemenangan.” agensi. UU DPR RI ini.
Sementara itu, Anggota Komite Kesembilan DPR RI Nurhadi dari NasDem mengingatkan Menteri Kesehatan untuk mempertimbangkan dampak sosial dari RPMK. Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa situasi perekonomian nasional saat ini sedang kurang baik.
“Jangan sampai hal ini terjadi, jika RPMK ini tidak dibenahi atau ditinjau ulang, berpotensi mengurangi jumlah pekerja sekitar 6 juta dan menambah jumlah pekerja, selain menimbulkan kekacauan dalam negeri,” imbuhnya.
Yahya Zaini, Anggota DPR RI kesembilan dari partai profesional, menegaskan permasalahan IHT bukan terletak pada perusahaan besar, melainkan pada petani tembakau, buruh pabrik, pedagang, dan pengecer yang penghasilannya bergantung pada IHT.
Oleh karena itu, yang kita perhatikan dan pikirkan adalah masyarakat kecil dan menengah yang jumlah pekerjanya 5-6 juta orang, tegasnya.
Yahya menilai, sebelum diangkat menjadi menteri kesehatan, berbagai opsi harus diambil untuk meredam sikap pemerintah terhadap IHT. Ditegaskannya, penting untuk membangun opini masyarakat agar opini masyarakat terhadap IHT seimbang dari aspek ekonomi, budidaya, dan konsumsi.
“Saya bertanya kepada RPMK apakah kontennya akan mematikan industri tembakau dan memperburuk kehidupan jutaan pekerja dan petani tembakau,” kata Yahya.
Anggota DPR RI kesembilan dari PDIP Abidin Fikri mengaku kaget dengan langkah Kementerian Kesehatan terhadap RPMK. Alasannya, kata dia, dalam pembahasan UU Kesehatan, Komite Kesembilan Republik Rakyat Tiongkok mengeluarkan beberapa instruksi, di antaranya agar pemerintah memberitahukan kepada Komite Kesembilan Republik Rakyat Tiongkok saat merumuskan undang-undang produksi.
“Kalau bicara soal (pajak kesehatan tembakau), menarik melihat Partai Rakyat akan menginformasikan sebanyak-banyaknya kepada teman-teman kita di Komite Sembilan karena semangat undang-undang yang kita perdebatkan adalah bagian yang luar biasa. ,” kata Abidin.
“Jangan sampai pengaturan PP ini menimbulkan krisis baru. Karena kita bukan untuk perokok dan bukan perokok, tapi untuk sistem perekonomian Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Serikat Pekerja Makanan dan Minuman Rokok SPSI Sudarto AS menilai aturan IHT merupakan tekanan khusus yang bisa membuat angkanya berbeda-beda dari atas ke bawah.
“Undang-undang administrasi ini sangat serius bagi semua yang terlibat dari atas hingga bawah, tidak hanya buruh, tapi juga petani. Ini semua akan berdampak. Karena mulai tahun 2015 keanggotaan kita berkurang sehingga menyisakan 6,7 Lebih dari 10.000 orang,” ujarnya. . .
Sementara itu, Ketua Asosiasi Media Asing Indonesia (AMLI) Fabianus Bernadi mengaku tidak pernah terlibat dalam penyusunan “RPMK” atau “PP No.” UU Nomor 28 Tahun 2024 dan UU Nomor 17 Tahun 2023. Bahkan, diakuinya, bahkan sejak tahun 2012, undang-undang periklanan luar ruang terkait produk tembakau telah memberikan dampak bagi para pelaku dan industri periklanan luar ruang.
“Dari segi kualitas, iklan luar ruang mempunyai dampak yang besar. Karena produk tembakau telah lama berkontribusi pada iklan luar ruang, atau lebih tepatnya, sudah sepuluh tahun sejak diberlakukannya PP 109/2012 pada tahun 2012, sehingga berdampak besar…kami. Angkanya sekitar 50% (turun) dan banyak yang tutup,” keluhnya.
Kini, PP 28/2024 juga melarang zonasi dan iklan luar ruang dalam jarak 500 meter dari satuan pendidikan dan taman bermain anak.
Mereka mengaku tidak dilibatkan dalam proses tersebut, meski termasuk korban langsung.
“Namun dalam RPP kami sama sekali tidak disebut sebagai pemangku kepentingan,” ujarnya.