Keduanya memiliki asal usul yang sama, sama-sama merupakan panglima militer sebelum terjun ke dunia politik.
Mungkinkah suatu kebetulan seorang panglima militer dengan kualitas istimewanya diberi kesempatan lagi untuk memimpin bangsa ini?
Kita pernah berpeluang memiliki presiden yang bermental sama, yaitu BJ Habib dan Gus Durr, namun sepertinya masa pemerintahannya masih terbilang singkat, dan ini mungkin menjadi tanda bahwa bangsa ini lebih memilih pemimpin yang berlatar belakang militer.
Terlepas dari keinginan masyarakat yang didukung dunia, dengan berbagai cara, Prabowo akhirnya bisa menjadi presiden. Kita tetap berharap, ketika berkuasa, gaya militer seperti itu tidak akan diterapkan pada Prabowo
Soeharto, kami berterima kasih pada semangat demokrasi dan kekuasaan rakyat.
Singkatnya, bisa dikatakan jika suatu saat tipe pemimpin intelektual “ditolak” oleh bangsa ini, mungkin peradaban kita belum mencapai kepemimpinan seorang intelektual.
Kita belum sampai pada tahap seperti Singapura yang juga punya perdana menteri baru, dan kita tidak pernah menyangka Singapura atau Jepang akan dipimpin oleh orang militer.
Rezim Suharto memang sudah lama jatuh, namun demokrasi bisa dikatakan masih ada. Masa kekuasaan Soeharto (1966-1998) sering dikenang karena korupsinya yang berskala besar.
Rezim Soeharto tumbang karena akronim yang kemudian menjadi nama umum: KKN (Korupsi, Persekongkolan, Persekongkolan).
Lebih dari dua puluh tahun kemudian, reformasi tahun 1998 dan semangat melawan KKN ibarat obat nyamuk bakar, hanya melingkar tanpa arah. Upaya melawan KKN muncul dari waktu ke waktu, bahkan secara lisan, seperti pada kampanye pemilu belakangan ini. Soeharto dijadikan alasan
Soal korupsi dan diskriminasi, Soeharto kerap dijadikan alasan. Soeharto menemukan apa yang tertulis dalam pepatah lama “dia terjatuh dari tangga”.
Soeharto sering disalahkan sebagai pelaku KKN oleh pemerintahan-pemerintahan berturut-turut, namun KKN juga dijalankan oleh pemerintahan-pemerintahan berturut-turut. Sayangnya, ketika pemerintahan berikutnya menjalankan KKN, mereka bersembunyi di belakang Soeharto. Ironisnya, Soeharto difitnah tapi malah dijadikan tameng.
Instansi yang selama ini sangat bergantung pada pemberantasan korupsi, yakni KPK, benar-benar “terpuruk” di tepi jurang.
Profesor itu seperti tanda terima, seperti token kebijakan. Dahulu, raja atau penguasa sering mendengarkan seruan orang bijak. Jika kwitansi turun dari gunung, itu pertanda kekacauan yang tidak biasa.
Suara sang profesor merupakan seruan untuk bertindak di kampus, namun pada akhirnya tidak dihiraukan.
Mengabaikan nasihat para profesor atau orang bijak merupakan hambatan besar bagi pemikiran beradab. Sejak lama para Resi percaya bahwa ini adalah dasar utama moralitas, seperti yang ditulis Rongovarsito “Serat Kalatida” (Puisi Abad Kegelapan) yang ditulis penyair terakhir dalam keputusasaan ketika Rongovarsito menulis tentang kesuksesan dan keinginan duniawi lainnya. .
Bagi KKN, semua yang terjadi merupakan siasat atau tipu muslihat pemerintah. Faktanya, seluruh pemerintahan pasca reformasi melaksanakan KKN, hanya saja “nominalnya” tidak sebesar pada masa Orde Baru, setidaknya untuk sementara. Semua pemerintah malu mengakui telah menciptakan KKN sebesar Orde Baru. Alasan ini kemudian menjadi skandal publik.
Persoalannya bukan urusan sederhana, tapi motivasi untuk memperkaya diri dan kelompok di luar nalar. Hal ini terlihat ketika dana Jamsostek digunakan untuk memenangkan pemilu presiden. Ketika kasta bawah berjuang untuk bertahan hidup mengingat tingginya harga beras, kasta atas memanfaatkan kesempatan untuk memperkaya diri melalui korupsi.
Mengkritik sosok Soeharto adalah tindakan yang salah. Kalau Soeharto berkuasa, seperti KKN. Soal nepotisme misalnya, Soeharto tentu akan semakin besar karena ia mempunyai banyak anak, mengingat ketika Soeharto membangun rumahnya pada tahun 1940-an, program keluarga berencana dan pengendalian kelahiran belum diketahui.
Dibandingkan dengan penguasa saat ini, jumlah anak mereka mungkin hanya dua atau tiga, tetapi mereka semua berada di orbit. Sekali lagi, soal motivasi yang “diam-diam” mendorong KKN maju.
Namun, ketika ada reaksi publik, sang diktator langsung menuding citra Soeharto.
Menurut KKN, tatanan baru itu ibarat buku terbuka. Sebuah buku terbuka yang dapat menjadi panduan bagi mereka yang berkuasa seperti yang kita lihat saat ini. Pada titik ini, bagi mereka yang pernah melawan Orde Baru, begitu mereka berkuasa, sikap mereka otomatis akan mengikuti Orde Baru karena hanya buku pedoman (Orde Baru) yang mereka ketahui. Prabowo sebagai penyembuh luka?
Peristiwa nahas terjadi pada pertengahan tahun 1980-an saat Soeharto sedang berada di puncak kekuasaannya. Untuk menandai dimulainya Hari Olahraga Nasional (9 September 1983), Stadion Srivedar (Solo) didekorasi dengan indah oleh panitia setempat sebagai bentuk penghormatan (Presiden) Soeharto.
Namun yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaan, air mata kesedihan bukannya kebahagiaan.
Sebelum kedatangan Soeharto, Paspampres (Badan Keamanan Presiden) datang ke stadion sebagai bagian dari tindakan pengamanan. Akibat tindakan pengamanan standar, keindahan stadion dirusak oleh anggota Paspampress, termasuk tirai dan karpet rumput stadion.
Sontak, aksi Paspampress membuat para ibu-ibu panitia yang malam sebelumnya membantu mendekorasi stadion sangat tertekan dan menangis tersedu-sedu.
Kekuasaan terlihat dan rawan arogansi, salah satunya insiden Stadion Srivedar. Benar-benar tidak masuk akal, Soeharto sedang berada di puncak kekuasaannya pada tahun 1980-an dan Soeharto kembali ke basis budayanya (solo), ancaman seperti apa yang akan dilontarkan Paspampres jika sampai tega merusak stadion. . dekorasi?
Arogansi kekuasaan kembali terulang hari ini ketika seorang anggota DPR RI meminta pelat nomor khusus untuk kendaraan dinasnya.
Sejarah seolah terulang kembali, unjuk rasa kekuasaan pada masa Soeharto pun terulang kembali secara besar-besaran seperti yang ditunjukkan anggota DPR RI ini. Pertunjukan kekuasaan juga meluas ke kota-kota kecil, ketika penguasa atau walikota juga memerlukan pengawalan khusus (voorijder) ketika menjalankan tugas resmi.
Saat ini, kota yang dijalankannya sangat sepi, jauh dari jalan raya yang sibuk, sehingga mobil bisa melewatinya.
Saat ini, masyarakat masih melihat kejahatan mantan Menteri Pertanian itu tidak hanya bersifat moral, tapi juga akhlak. Kasus mantan Menteri Pertanian (korupsi) ini nantinya akan menjadi bahan tertawaan generasi mendatang, menjadi bahan tertawaan bangsa lain.
Karena tidak mungkin menteri rakus membeli Musang King Durian untuk konsumsi manusia, ia meminta salah satu kantornya gratis.
Mungkin itu semua hanya sifat manusia saja yang selalu mencari semua elite politik untuk mencari ruang terbuka guna meningkatkan kesejahteraan dan kekuasaannya. Kesederhanaan hidup sudah ketinggalan zaman, sedikit sekali ingatan masyarakat terhadap tokoh-tokoh sederhana seperti Hatta, Nazir, Hoegeng, Sahrir, A.H. Nasution, dll.
Kekacauan politik di negara kita bisa saja menjadi gerhana matahari (total), jika seberkas cahaya mulai bersinar setelah kegelapan. Harapannya, para pemimpin negara kembali memahami bahwa pemimpin adalah mereka yang berkorban untuk rakyat. Seluruh dunia mengetahuinya, sehingga diutuslah seseorang yang dekat dengan Soeharto untuk memimpin bangsa ini selama lima tahun ke depan.
Prabowo adalah Harapan, seperti Anak Kusa, namun dalam skala yang lebih kecil. Prabowo mempunyai tugas besar untuk mencuci luka peradaban bangsa ini. Masyarakat tak perlu khawatir, Prabowo membuang pisau komando yang selalu dibawanya selama menjadi tentara (Kopassus). Pisau komandonya diganti dengan alat tulis dan buku catatan untuk mencatat kebutuhan orang-orang yang ditemuinya di lapangan, mengingatkan pada Bung Karno saat bertemu Pak Marhen tadi.
Ada Santoso yang sudah lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Dia saat ini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap artikel yang terbit di #DWNesia adalah tanggung jawab penulis.
*Silakan tulis pendapat Anda pada komentar di atas pada kolom komentar media sosial, terima kasih.