Soal PK Mardani Maming, Boyamin Saiman: Hakim Harus Mandiri dan Independen dalam Memutus Perkara

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman meminta independensi Majelis Hakim Ad Hoc yang menangani korupsi dalam menangani perkara tersebut.

Menurutnya, hakim harus independen dan harus mendengarkan sistem peradilan, bahwa korupsi harus diberantas, dan hukuman yang berat harus dijatuhkan kepada pelanggarnya sebagai efek jera.

“Saya tidak meminta adanya intervensi apa pun,” ujarnya, Kamis (19/9/2024).

Ia berharap korupsi di industri pertambangan ditindak serius dan pelakunya mendapat hukuman yang maksimal.

“Kasus korupsi pertambangan ini harus ditindaklanjuti dengan serius dan (pelakunya) harus dihukum berat jika bersalah,” ujarnya.

Pernyataan ini disampaikan menanggapi dugaan intervensi Pengadilan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Mardani Maming.

Mardani Maming mengajukan PK yang terdaftar dengan nomor perkara 1003 PK/Pid.Sus/2024.

Ringkasan persidangan menyebutkan majelis hakim yang memimpin Judicial Review, Mardani H Maming (PK), merupakan ketua majelis DR. H. Sunarto, SH. MH, Anggota Majelis Umum I H. Ansori, SH, MH dan Anggota Majelis Umum II Dr. PRIM Haryadi, S, M.H.  

Sementara itu, dalam sidang Peninjauan Kembali (PK) Mardani H Maming, Wakil Panitera Dodik Setyo Wijayanto, S.H.

FYI: Hakim Ad hoc Tipikor Ansori pernah menolak permohonan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Samin Tan, pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal (PT BLEM), dalam kasus suap mantan Wakil Ketua Komisi 7 DPR . , Eni Maulani Saragih. Keputusan Mahkamah Agung saat itu justru mengukuhkan bebasnya Samin Tan.

Ansori bersama Suhadi dan Soeharto kemudian menolak banding yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Tbk (BLEM) Samin Tan dibebaskan dari hukuman.

Nama Hakim Ad hoc Ansori turut berperan dalam gugurnya kasasi jaksa atas bebasnya mantan Bupati Natuna 2010-2011 Raj Amirullah dalam kasus korupsi subsidi perumahan pejabat DPRD Natuna 2011-2015. 

Kasus Mardani Maminga

Kasus ini bermula ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dua barang bukti dugaan suap dan gratifikasi dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Wilayah Tanah Bumbu Kalimantan Selatan.

Kasus ini melibatkan Bupati Tanah Bumbu periode 2010-2018, Mardani H. Maminga, dan dugaan aliran uang sebesar Rp 104,3 miliar.

Plt Juru Bicara KPK saat itu, Ali Fikri menjelaskan, kasus tersebut bermula dari laporan masyarakat ke KPK pada Februari 2022.

KPK kemudian memanggil Mardani Maming sebanyak dua kali, namun panggilannya tidak ditanggapi.

Karena tidak memenuhi panggilan KPK, Mardani kemudian dinyatakan buron dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

Dua hari bersembunyi, Mardani menyerahkan diri ke KPK dan ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi pada Kamis (28/7/2022).

Ia juga dilarang keluar negeri karena Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi.

Kamis (10 November 2022) merupakan sidang pertama Mardani di Pengadilan Tipikor Banjarmasin (Tipikor) Kalimantan Selatan.

Sidang berlanjut dan pada Jumat (10 Februari 2023) Mardani divonis 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banjarmasin.

Selain itu, Mardani harus membayar ganti rugi sebesar Rp 110 miliar, dan jika tidak memenuhinya, harta bendanya akan disita dan dilelang.

Tak puas dengan putusan hakim, Mardani mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin, namun hukumannya bertambah menjadi 12 tahun.

Mardani pun mengajukan banding dan Mahkamah Agung menolak permohonan Mardani.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *