TRIBUNNEWS.COM – Mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yassin Limpo (SYL) mengaku belum mengetahui permintaan uang Rp 12 miliar sehingga kementerian yang dipimpinnya sebelumnya mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BOD).
Pernyataan itu disampaikan SYL dalam persidangan di Pengadilan Tinggi Tipikor Jakarta, Senin (13/5/2024).
“Saya belum pernah mendengar adanya pembayaran terkait BUMN.”
“Saya belum pernah dengar soal itu, kalau ada kesimpulan dari pemaparan Direksi, saya minta semuanya dipertimbangkan Pak Dirjen,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, kesimpulan WTP BPK untuk Kementerian Pertanian (Kementan) terganjal program gudang pangan nasional atau food plaza.
Atas dasar itu, auditor Direksi meminta uang pelicin sebesar Rp12 miliar.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Peralatan Pertanian (Sesditjen PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Hermanto.
Hal itu diungkapkannya saat menjadi saksi kasus suap dan suap Kementerian Pertanian, Rabu (5 Agustus 2024).
“Apakah saksi mengetahui bahwa Kementerian Pertanian setiap tahun melakukan uji BOD?” tanya jaksa pada hari Rabu.
Ermanto sebelumnya mengaku mengetahui adanya audit BOD Departemen Pertanian.
Jaksa juga terus mengumpulkan informasi seputar proses BOD GP.
Kepada jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ermanto membenarkan nama beberapa inspektur BOD yang melakukan pemeriksaan di Kementerian Pertanian.
“Sebelum kejadian WTP, apakah saksi mengenal Haerul Saleh? Pemenang? Siapa ini?” tanya jaksa.
“Kau tahu, Tuan. Victor adalah inspektur yang memeriksa kita,” jawab Hermanto.
“Bagaimana dengan Khaerul Saleh?” kata jaksa.
“Kepala Akuntan Negara (CAC) 4,” jawab Hermanto.
Hermanto mengatakan kepada jaksa, ada beberapa temuan yang diperoleh BPK terkait rencana bisnis pangan tersebut.
Hermanto mengatakan BPK hanya fokus pada hasil program real estate pangan. Namun, dia belum mengetahui detail hasil BOD tersebut.
“Tapi akhirnya jadi GP ya, itu hasilnya, tapi bisa jadi GP. Bisakah saksi menjelaskannya? Kata JPU.
“Contohnya, misalnya penemuan food complex itu penemuan artinya tidak ada dokumentasi yang lengkap. Ya, tata kelola yang lengkap. Kata di BOD itu BDD (biaya dibayar di muka), dibayar di muka. Kita perlu menyelesaikannya, dan ini bukan lagi TGR (klaim ganti rugi),” kata Ermanto.
Artinya, kita mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan dan menyelesaikan pekerjaan. Bagaimana proses sertifikasi BOD menjadi dokter umum?” imbuh jaksa.
“Saya sebenarnya belum tahu prosedur pastinya,” lanjutnya.
Jaksa kemudian menyinggung dugaan permintaan uang dari inspektur BOD yang berbeda.
Hermanto tak membantah tudingan tersebut.
Menurut dia, ada inspektur BOD yang meminta uang fasilitasi sebesar Rp12 miliar agar Kementan bisa mendapat opini WTP.
Permintaan ini sudah diajukan untuk mendapat persetujuan manajemen, kalau tidak salah diminta ke Kementerian Pertanian sebesar 12 miliar rupiah, jelas Ermanto.
“Apakah ahli BOD meminta Rp 12 miliar?” – jaksa bertanya lagi.
“Iya Pak Victor (meminta) 12 miliar rupiah,” ujarnya.
(Tribunnews.com/Deni/Jayanti)