Soal Kasus Cula Badak, Kuasa Hukum Nilai JPU Sajikan Bukti yang Masih Sumir

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Pandaglang Banten membahas kasus dana badak, Perkara Nomor 93/Pid.Sus-LH/2024/PN.Pdl. Atas nama terdakwa Liam Ho Kwan Wiley diharapkan dapat benar-benar mengkaji secara cermat dan obyektif konteks bukti-bukti yang diperoleh penyidik, agar nantinya tidak ada kejaksaan Kejaksaan Negeri (JPU) Banten. reservasi”.

“Dalam menyusun surat dakwaan, Jaksa tidak boleh main mata, jangan sampai berbagai kejanggalan dalam temuannya dapat diperbaiki sepenuhnya pada tahap sebelum surat dakwaan diajukan, sehingga semua hasil penyidikan Polda Banten masih kuat dugaan masih ambigu. ” Kuasa hukum Liam mengaku belum jelas, namun keduanya diterima dan dimasukkan dalam dakwaan, Petros Celestinos, Jumat (9 September 2024) di Jakarta.

Padahal, kata Petros, dakwaan JPU jelas-jelas dimaknai sebagai dugaan pemalsuan alat bukti pada tahap penyidikan, ketika penyidik ​​sama sekali tidak menghiraukan fakta tempat kejadian perkara (TKP), seperti “cula badak” yang disebut-sebut ada di tubuh terdakwa. area penitipan, untuk dijual, dll.

Namun Petros mengatakan sejauh ini belum ada bukti dan “bukti” bahwa kulit, bangkai, atau benda lain dari hewan atau benda yang dilindungi tersebut pernah digunakan sebagai hasil tindak pidana, juga tidak digunakan untuk memperdagangkan, menyimpan atau memiliki hewan atau benda yang dilindungi sebagai alat untuk melakukan kejahatan. Dibuat dari bagian-bagian tubuh hewan atau diangkut dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. Kritik sebelum penuntutan

Petros mengatakan bahwa jaksa harus memaksimalkan kewenangannya pada tahap pradakwaan dan memeriksa berkas penyidikan untuk melihat apakah berkas tersebut memenuhi persyaratan formal dan substantif untuk mengajukan dakwaan ke pengadilan.

“Padahal, fungsi prapenuntutan secara strategis sangat penting dalam mencegah terjadinya perbuatan seperti pemidanaan. Di sini terlihat fungsi prapenuntutan yang lesu,” keluhnya.

Petros menegaskan, jaksa mendasarkan dakwaan dengan alat bukti yang sangat terbatas dan minim hanya untuk memenuhi syarat formal pembuktian, termasuk asalkan saksi lebih dari satu.

Menurut dia, jaksa mengabaikan saksi faktual di TKP yang diduga terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat.

Ia menduga, saksi-saksi dalam kasus Bandran direncanakan secara matang untuk memenuhi syarat jumlah agar kasusnya bisa disidangkan di Pengadilan Negeri Bandran berdasarkan Pasal 84(2) KUHAP.

“Para terdakwa termasuk Hujun Wiley dan kami sebagai penasihat hukum berharap keadilan ditegakkan, dan di tangan majelis hakim para terdakwa menuntut keadilan ditegakkan,” jelas Petros yang juga merupakan koordinator persidangan. Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI). Bukti penuntutan didiskualifikasi berdasarkan pendapat ahli?

Petros mengatakan, jika dicermati, alat bukti yang dirinci dalam dakwaan hanya percakapan antara terdakwa dengan saksi Yogi Purvadi melalui aplikasi WhatsApp (WA), sehingga hanya itu alat bukti yang diandalkan penyidik ​​dan dihadirkan ke jaksa.

“Dalam perkara yang alat buktinya sangat terbatas, maka Jaksa wajib menolak berkas perkara dan mengembalikannya kepada penyidik ​​untuk diselesaikan, jika tidak maka Jaksa harus menyatakan perkara tidak layak untuk diadili dan menghentikan penuntutan,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Petros, ia merujuk pada pendapat ahli yang disampaikan Profesor Dr Ann Espianto dalam persidangan di Pengadilan Negeri Pandaglang pada 31 Juli 2024 yang di dalamnya ia menjelaskan semboyan hukum “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali dan tentang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tahun 2024 tentang Teori WeChat tentang kesalahan WA Perubahan Kedua UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 11 Tahun 2008 dan menyimpulkan terdakwa Liam Ho Kwan Wiley tidak memenuhi syarat Bioteknologi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1990 Pasal 21(2)(d) Undang-Undang Nomor 5 tentang Perlindungan Sumber Daya Alam dan Ekosistem.

Petros menjelaskan, karena tidak ada bukti bahwa para terdakwa memperdagangkan atau menyimpan cula badak.

Kedua, tidak ditemukan barang bukti fisik seperti cula badak di rumah terdakwa.

Ketiga, alat bukti yang memberatkan terdakwa hanya keterangan salah satu saksi fakta yaitu Yogi Purvadi (Unus Testis Nullus Testis).

Keempat, dari lima alat bukti yang diatur dalam Pasal 84 KUHAP tidak ada yang dapat membuktikan bahwa terdakwa membeli, menjual, atau menyimpan cula badak.

Oleh karena itu, nasib terdakwa Lian Hujun sangat bergantung pada kebijaksanaan majelis hakim. Saya berharap hakim benar-benar dapat memperhatikan fakta-fakta persidangan dan membuktikan bahwa kasus ini menghalangi tujuan badak dari kejahatan. .”

Oleh karena itu, lanjut Petros, penyidik ​​Polda Banten akan melapor ke Divisi Profesi dan Keamanan Kepolisian (Diopropam), Direktur Administrasi Pengawasan Penyidikan (Karubsidik), dan Komisi Penuntut Umum (Compulanas) Polri, serta Kejaksaan Pandaglang. Perbuatannya yang tidak profesional, meremehkan penegakan hukum, dan melanggar hak asasi manusia terdakwa (HAM) akan dilaporkan kepada Wakil Jaksa Agung yang bertanggung jawab atas pengawasan (Jamwas) dan kepada Majelis Kejaksaan.

Selanjutnya terdakwa Liam Ho John meminta majelis hakim mengambil keputusan yang seadil-adilnya sesuai dengan hukum dan keadilan, ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *