Skotlandia Tegaskan Tolak Undangan dari Israel hingga Gencatan Senjata di Gaza Terwujud

TRIBUNNEWS.com – Pemerintah Skotlandia mengonfirmasi telah menangguhkan segala pertemuan atau undangan apa pun dengan kedutaan Israel sampai tercapai kesepakatan mengenai penarikan senjata dari Gaza dan distribusi bantuan.

Menteri Luar Negeri Skotlandia, Angus Robertson, mengumumkan hal tersebut menyusul kritik keras dari partainya di Skotlandia (SNP).

Robertson mendapat kritik setelah bertemu dengan wakil duta besar Israel untuk Inggris, Daniela Grudsky, sekitar dua minggu lalu.

Banyak yang melihat pertemuan Robertson dengan Grudsky sebagai tanda rekonsiliasi antara pemerintah Israel dan Skotlandia.

Menyusul kritik tersebut, Robertson menegaskan bahwa dia tidak bermaksud memperbaiki hubungan antara pemerintah Israel dan Skotlandia melalui pertemuannya dengan Grudsky.

Ia melihat pertemuannya dengan Grudsky sebagai peluang untuk memaksakan gencatan senjata di Jalur Gaza.

“Tidak seorang pun bermaksud agar pertemuan ini dilihat sebagai formalisasi tindakan pemerintah Israel di Gaza.”

“(Dalam pandangan saya) ini (pertemuan dengan Grudsky) adalah kesempatan untuk menyampaikan pandangan pemerintah Skotlandia secara jelas dan jelas tentang perlunya gencatan senjata segera di Gaza,” kata Robertson dalam keterangannya, Senin (19/8/2024). ). Dikutip dari Anadolu Agency.

“Dan saya melakukan itu (saya mendorong gencatan senjata),” katanya.

Oleh karena itu, Robertson meminta maaf karena telah menerima undangan pertemuan Grudsky.

Robertson mengakui dia melakukan kesalahan. Ia mengatakan, ia harus memastikan bahwa agenda pertemuan tersebut diakhiri dengan perlunya gencatan senjata segera di Gaza.

“Mohon maaf hal itu tidak terjadi (menyetujui agenda rapat),” kata Robertson.

Selain itu, Robertson menegaskan akan menunda undangan pertemuan diplomat Israel sampai kesepakatan gencatan senjata tercapai di Gaza.

Dia juga menegaskan bahwa dia terus bertugas di pemerintahan Skotlandia, yang saat ini tidak mendukung hubungan normal dengan Israel.

“Lebih jauh lagi, jelas bahwa, setelah berbicara langsung dengan pemerintah Israel dan memberi tahu mereka tentang posisi kami mengenai penghentian segera, tidak pantas untuk menerima undangan (dari Israel) bahwa tidak akan ada lagi pertemuan.”

“Pemerintah Skotlandia tidak mendukung normalisasi hubungan dengan pemerintah Israel saat ini,” kata Robertson.

Dia kemudian menegaskan kembali posisi pemerintah Skotlandia dalam mendukung gencatan senjata segera di Gaza dan pengakuan negara Palestina merdeka sebagai dua negara.

Robertson juga menjelaskan posisi pemerintah Skotlandia yang berharap Israel bertanggung jawab atas pembantaian di Gaza seperti yang diungkapkan dunia internasional.

“Pemerintah Skotlandia tidak akan ragu untuk menyatakan dukungannya terhadap penghentian segera permusuhan di Gaza, pembebasan semua sandera, dan penghentian ekspor senjata Inggris ke Israel, serta pengakuan negara merdeka Palestina sebagai dua negara.”

“Ini akan terus menjadi posisi kami sampai ada kemajuan nyata dalam gencatan senjata (gencatan senjata), akses kemanusiaan tanpa hambatan, dan kerja sama penuh Israel dengan mandat internasionalnya dalam penyelidikan genosida dan kejahatan perang,” kata Robertson.

Pengumuman Robertson mendapat respon positif dari mantan Menteri Pertama Skotlandia, Humza Yousaf.

Menurut Yousaf, Robertson “mendengarkan dengan cermat dan mempertimbangkan kemarahan dan frustrasi publik” tentang pertemuannya dengan Grudsky.

“Yang terpenting, dia sudah menegaskan bahwa tidak akan ada hubungan normal dengan pemerintah Israel,” tegas Yousaf kepada X.

Diketahui, serangan Israel ke Gaza sejak 7 Oktober 2024 menewaskan 40.139 warga Palestina pada Selasa (20/8/2024), dilansir Aljazeera.

Sekitar 16.500 orang yang tewas adalah anak-anak, dan lebih dari 94.000 orang terluka.

Lebih dari 10 bulan setelah invasi Israel, sebagian besar Gaza masih hancur tanpa makanan, air, dan obat-obatan.

Israel telah dituduh melakukan genosida oleh Mahkamah Internasional, yang memerintahkan penghentian operasi militer di kota selatan Rafah, tempat lebih dari satu juta warga Palestina melarikan diri dari konflik sebelum serangan tanggal 6 Mei.

(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *