Menanggapi komentar Jimly Asshiddiqie, Wakil PAN Viva Yoga Maulad mengaku tak setuju.
Ia menilai budaya politik saat ini telah mengembangkan budaya dengan adat dan nilai-nilai lokal.
“Saya kira perspektif tafsir tidak penting untuk memahami perilaku politik masyarakat. Budaya politik kita penuh dengan adat istiadat Timur, bukan Barat. Budaya Timur adalah budaya Indonesia, tepo seliro, gotong royong, menghargai. Nilai kekeluargaan, semacam itu. budaya nasional akan masuk ke kancah politik dan menjadi budaya politik,” kata Viva kepada wartawan, Selasa (20/8).
“Kalau dikatakan budaya politik suatu negara tidak benar, itu karena budaya politik itu mengacu pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan,” imbuhnya.
Viva menilai pernyataan Jimly hanya sekedar opini. Ia menegaskan, budaya Indonesia adalah budaya gotong royong dan budi pekerti yang baik.
“Misalnya ada kearifan lokal sebagai nilai budaya yang membedakan budaya politik Indonesia dengan budaya politik Barat. Namun penafsiran terhadap realitas politik yang terjadi berbeda. katanya.
Selain itu, Viva menilai budaya politik Indonesia juga harus terus berkembang. Ia percaya bahwa peradaban tidak dapat dipisahkan dari bangsa-bangsa kuno.
“Menurut saya, budaya politik Indonesia dilandasi oleh nilai-nilai luhur masyarakat, Kearifan lokal yang bersumber dari gotong royong dan tata krama yang baik menjadi lebih dominan; “Terkadang hal itu rusak dan harus dibangun kembali untuk mengembangkan budaya itu,” katanya.
“Tapi kemudian budaya kerajaan disesuaikan dengan nasehat sultan atau raja. Undang-undang dan konstitusi membatasi peran dan wewenang para pemimpin politik di negara demokratis; Tafsir dan metodenya berbeda-beda,” imbuhnya. Jimly: Republik dalam sistem negara
Sebelumnya, Jimly Asshiddiqie menegaskan bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik. Namun budaya politik yang kita lihat saat ini cenderung menganut sistem monarki atau negara.
Hal itu disampaikan Jimly dalam seminar nasional bertajuk ‘Persepsi Kelembagaan terhadap Komisi Yudisial’ dalam rangka HUT Komisi Yudisial ke-19.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini berpesan agar memperhatikan apa saja yang perlu dievaluasi terlebih dahulu. aturan konstitusi; Ia menyerukan perhatian terhadap lembaga konstitusi dan budaya ketatanegaraan.
Beliau bercerita tentang sejarah kemerdekaan baru. Mengenai soal penentuan bentuk pemerintahan Indonesia, Rapat Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengambil suara untuk memutuskannya.
“Dalam konstitusi tidak ada yang menggunakan voting. Tapi kalau kita ingin memutuskan negara kita republik atau tidak, kita harus memilih,” ujarnya di gedung Komite Kehakiman, Selasa (20/8).
“Mengapa saya harus memilih? Ya.” Sembilan orang menyatakan tidak menginginkannya, sehingga pada saat pencoblosan, ada 55 orang yang memilih republik. Mereka yang mengklaim suatu negara mengklaim negara ini pada saat pemungutan suara. Ada 6 orang.
Menurut Jimly, lain ceritanya jika bentuk pemerintahan Indonesia tidak dilakukan dalam forum kecil, melainkan forum luas seperti referendum.
Masalahnya, Jimly menilai, sebagian besar masyarakat Indonesia belum memahami bentuk pemerintahan republik. Namun, Istilah kerajaan lebih familiar di telinga kita.
Karena desa kami, Sabang, Merauken, kami tidak tahu Republik apa. Bahasa apa ya, kalau dibilang Kesultanan, kami tahu semuanya, kata Jimly.
Meski pemerintah Indonesia memutuskan berubah menjadi republik, Jimly mengungkapkan budaya politik tersebut masih terbawa hingga saat ini.
Oleh karena itu, budaya politik kita, Persepsi sebagian besar masyarakat kita adalah sebuah negara. Bentuk resmi kami adalah republik. Pemimpinlah yang berpengetahuan, Pilihan pendidik. Tapi budaya politik kita adalah monarki, Kerajaan itu berbentuk republik. Perilaku kami bersifat nasional,” imbuh Jimly.
“Inggris secara hukum adalah monarki, perilakunya adalah republik. Australia juga sama, Belanda juga sama, sebuah negara, perilakunya adalah republik. Tapi kita sebaliknya. Jadi penting untuk menilai.” dia menyimpulkan. (rs/rs)