Singgung Perintah Evakuasi, UNRWA Sebut Klaim Zona Aman Israel Salah dan Menyesatkan

TRIBUNNEWS.COM – Komisaris Jenderal Philippe Lazzarini dari Badan Pengungsi Palestina Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (UNRWA) menyatakan keprihatinannya terhadap nasib pengungsi Palestina.

Marah dengan situasi tersebut, Philippe Lazzarini pada Minggu 5 Desember 2024 mengatakan bahwa tidak ada zona aman di Gaza seperti yang diklaim Israel.

“Pihak berwenang Israel terus menyebut perintah evakuasi paksa sebagai ‘perintah evakuasi’,” kata Philippe Lazzarini di X Magazine.

Menurutnya, hal ini membuat warga Palestina di Rafah harus membubarkan diri agar bisa bertahan hidup.

Sejak dimulainya perang Israel-Hamas pada 7 Oktober 2023, sebagian besar warga Gaza telah beberapa kali mengungsi.

“Putus asa, (mereka) mencari keamanan yang tidak pernah mereka temukan,” kata Philip Lazzarini.

Bahkan, masyarakat berpindah berkali-kali, rata-rata sebulan sekali.

“Klaim zona aman adalah salah dan menyesatkan. Tidak ada zona aman di Gaza. Titik,” imbuhnya.

Dia juga menekankan bahwa warga Palestina yang melarikan diri dari Gaza tidak punya pilihan selain mencari perlindungan di tempat penampungan UNRWA.

Namun, kawasan tersebut seringkali menjadi sasaran dan dihancurkan oleh operasi militer Israel.

Lazzarani mengaku belum pernah melihat situasi seperti itu selama lebih dari tiga dekade.

“Selama lebih dari 30 tahun belajar dan berinteraksi dengan komunitas pengungsi, saya belum pernah melihat kebrutalan yang begitu mengejutkan,” katanya.

Diperkirakan 150.000 orang meninggalkan Rafah pada saat Israel memerintahkan evakuasi dan melanjutkan operasi, meskipun ada kekhawatiran dari sekutu dan pihak lain.

Pada tanggal 7 Oktober, Israel membunuh lebih dari 35.000 warga Palestina di Jalur Gaza sebagai tanggapan atas serangan lintas batas oleh Hamas, yang menewaskan sekitar 1.200 orang.

Sekitar 85 persen dari 2,3 juta penduduk wilayah kantong tersebut menjadi pengungsi internal dan menghadapi kekurangan makanan, air, dan obat-obatan. Agresi Israel bisa menjadi “bencana”.

Dalam konteks yang sama, Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Volker Turk mengatakan perintah terbaru tersebut berdampak pada sekitar 1 juta orang di Rafah.

“Jadi ke mana mereka harus pergi sekarang? Tidak ada tempat yang aman di Gaza!” dia berteriak.

“Tidak ada pilihan yang baik bagi orang-orang yang lelah dan lapar yang telah mengungsi berkali-kali,” katanya.

Turki menekankan bahwa serangan darat bisa menjadi “bencana besar” karena kemungkinan terjadinya kekejaman lebih lanjut.

Perlu dicatat, pendudukan Israel memperkuat perintah evakuasi wajib di bagian timur Rafah pada Sabtu (11/11/2024), memaksa 300.000 pengungsi Palestina meninggalkan daerah tersebut.

Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang dikutip The Atlanta Journal-Constitution menyebut Rafah merupakan benteng terakhir Hamas.

Menurut kantor berita Wafa, beberapa orang terluka parah ketika pesawat Israel mengebom sebuah rumah di distrik Rafah di Brasil timur.

Distrik As-Salam, At-Tannur dan Ash-Shawka di Rafah Timur juga terkena dampaknya.

Israel belum memiliki rencana rinci untuk pemerintahan pascaperang di Jalur Gaza.

“Apa yang mereka inginkan dari kita?” tanya pengungsi Palestina, Ummu Ali.

“Mereka membunuh kami dan anak-anak kami. Apa yang bisa kami lakukan?” dia berkata.

Tel Aviv hanya mengatakan bahwa mereka akan tetap membuka pos pemeriksaan keamanan di wilayah tersebut, yang merupakan rumah bagi sekitar 2,3 juta warga Palestina.

Negara tetangganya, Mesir, baru-baru ini mengutuk rencana penyerangan Rafah.

Mesir pun berniat menindaklanjutinya dengan menggugat Israel ke Mahkamah Internasional atas kasus genosida di Gaza, Afrika Selatan (Afsel).

(Tribunnews.com, Andari Vulan Nugrahani)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *