Laporan dari reporter Tribunnews Ibrisa Fasti Ifami.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Setara Institute menyoroti beberapa pasal dalam RUU Perubahan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Periklanan. (RUU Publisitas) yang menunjukkan adanya upaya sistematis untuk menekan demokrasi.
Sayyidatul Insiyah, peneliti hukum dan konstitusi Setara Institute, mengatakan hal itu terlihat dari upaya pengendalian konten berita. Hal ini mengancam kebebasan berekspresi dan hak atas informasi.
“RUU Penyiaran memiliki beberapa pasal yang bermasalah dan merusak agenda demokrasi dan demokrasi. kebebasan media, kebebasan informasi serta agenda hak asasi manusia secara umum yang diperjuangkan sejak awal era reformasi,” kata Saiyida dalam keterangannya, Jumat (17/5/2024).
Saiyida juga menilai RUU Penyiaran dan Televisi akan melihat sempitnya ruang sipil.
Menurut laporan tahunan Indeks Hak Asasi Manusia, partai ini secara konsisten menunjukkan bahwa skor indeks kebebasan berekspresi adalah yang terendah setiap tahunnya.
Pada Indeks Hak Asasi Manusia SETARA Institute, ia mengatakan indikator kebebasan berekspresi belum mendekati angka rata-rata 1-7, dengan rincian skor: 1,7 pada tahun 2020; dan 1,3 pada tahun 2023
Artinya, alih-alih menjamin kebebasan berekspresi, RUU Penyiaran justru berpotensi memperburuk situasi kebebasan berekspresi. Apalagi melalui pembatasan kebebasan media, kata Saiyida yang ditolak Dewan Informasi.
Diberitakan sebelumnya, Ketua Dewan Media Ninik Rahayu mengatakan partainya dan seluruh pemilih menolak RUU Penyiaran dan Televisi yang banyak dibicarakan.
Ia mengkritik RUU Penyiaran dan Pertelevisian. Sebab, UU No. 40 Tahun 1999 tentang media tidak masuk dalam pertimbangan.
“(Hal ini) menunjukkan tidak adanya manfaat penyediaan jurnalisme berkualitas dalam produk periklanannya. Termasuk manipulasi yang akan dilakukan melalui platform tersebut,” ujarnya di Gedung Dewan Pers Jakarta, Selasa (14/5). / 2024).
Ia menilai RUU Penyiaran memiliki makna bahwa media tidak akan bebas, independen, dan tidak akan memberikan jurnalisme yang berkualitas.
“Karena dalam konteks pemberitaan, Dewan Jurnalis berpendapat jika perubahan ini terus berlanjut, maka ada aturan tertentu yang akan membuat media menjadi produk media yang buruk. Itu adalah media yang tidak profesional dan independen,” jelasnya.
Menurut dia, proses penyusunan UU Penyiaran dan Pertelevisian melanggar putusan Nomor MK 91/PUU-XVIII/2020 yakni rumusan peraturan yang memerlukan dukungan berarti.
“Apa artinya? Harus ada partisipasi masyarakat. Hak masyarakat untuk mendengar pendapat. Hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya,” ujarnya.
Ia mengatakan, Dewan Informasi dan pemangku kepentingan juga tidak dilibatkan dalam proses penyusunan UU Penyiaran dan Pertelevisian.
Sekaligus, ia menegaskan UU Penyiaran dan Televisi bertentangan langsung dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Media.
Pasalnya, UU Penyiaran secara khusus mengatur larangan penyiaran berita investigasi.
“Karena sesuai Pasal 40 undang-undang tersebut, kami tidak lagi menerima adanya kontrol, pelarangan, dan pembatasan terhadap publikasi karya jurnalistik yang unggul,” kata Ninick.
Kemudian, terkait penyelesaian konflik komunikasi massa dalam UU Penyiaran dan Pertelevisian, akan diterapkan berbagai lembaga yang tidak berwenang mengubah prinsip etika kerja media.
“Kewenangan penyelesaian pekerjaan jurnalisme ada pada Dewan Jurnalis. dan ditentukan dalam undang-undang,” kata Ninick.
Ninick meminta adanya harmonisasi peraturan hukum agar tidak tumpang tindih.
Dia menjelaskan, prinsip penyelesaian konflik jurnalis juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024.
“Pemerintah baru-baru ini menyetujuinya. Mengapa dalam rancangan ini penyelesaian sengketa terkait media dipercayakan kepada stasiun televisi?”