Laporan Jurnalis Tribunnews.com Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dalam tumbuh kembang anak, masalah pencernaan selalu menjadi perhatian besar para orang tua.
Karena proses penyerapan nutrisi terjadi di sistem pencernaan, pencernaan yang sehat sangat penting untuk kesehatan tubuh.
Namun, tidak hanya diare saja, orang tua juga harus mengetahui dan menyadari bahwa ada beberapa gangguan atau masalah pencernaan pada anak.
Disampaikan oleh Dokter Spesialis Anak Subspesialis Gastrohepatologi Anak RS Pandak Indah – Bintaro Jaya, dr. Karena Frieda adalah Handayani.
“Ada beberapa masalah pencernaan yang sering terjadi pada anak, mulai dari diare hingga mencret atau sembelit,” kata dr Frieda dalam keterangannya, Sabtu (5/11/2024).
Selain itu, kata dr Frieda, setidaknya ada tiga gangguan pencernaan pada anak yang sebaiknya ditangani tanpa diare.
1. Sembelit
Sembelit atau konstipasi merupakan masalah umum yang terjadi pada anak-anak.
Anak sembelit mengeluhkan kesulitan buang air besar, konsistensi tinja kering yang sulit dikeluarkan, serta buang air besar tidak teratur.
Berikut ini adalah indikator konsistensi tinja yang terdapat pada skala tinja Bristol. Feses normal tipe 3 dan 4:
Ada dua jenis sembelit yang umum dialami anak, antara lain:
• Konstipasi organik, adanya kelainan pada fungsi organ. Pada kondisi ini, beberapa penyakit menyebabkan sembelit.
Misalnya kelainan anatomi usus seperti penyakit celiac, kelainan tiroid, dan penyakit Hirschsprung
• Konstipasi fungsional, dialami oleh banyak anak. Sembelit terjadi ketika anak menahan keinginan untuk buang air besar.
Konstipasi fungsional mungkin disebabkan karena anak khawatir akan merasakan nyeri atau tidak nyaman, misalnya karena tinja yang keras
Jika anak berhenti buang air besar setiap hari, beberapa kondisi mungkin terjadi:
1. Sakit perut yang parah dan kembung
2. Nafsu makan menurun
3. Mual atau refluks dari lambung ke kerongkongan
4. Diare pada celana dalam akibat feses yang terlalu cair
“Untuk mencegah hal tersebut terjadi, orang tua harus waspada saat memeriksa kondisi anaknya. Tanda-tanda yang bisa dideteksi orang tua saat anaknya mengalami sembelit adalah adanya gelembung di sekitar anus dan feses yang besar dan keras,” sarannya.
2. Demam tifoid pada anak
Pada tahun 2019, hampir sembilan juta orang terjangkit demam tifoid dan 110.000 di antaranya meninggal setiap tahunnya.
Demam tifoid merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.
Infeksi ini ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi bakteri.
Gejalanya meliputi demam kronis, sakit kepala, mual, sakit perut, sembelit atau diare.
Beberapa pasien mungkin juga mengalami ruam.
Kasus demam tifoid yang parah dapat menyebabkan komplikasi serius hingga berakibat fatal.
Demam tifoid dapat diobati dengan antibiotik.
Bahkan jika gejalanya hilang, korban dapat menjadi pembawa penyakit dan menularkan infeksi kepada orang lain melalui bakteri yang terdapat dalam tinja.
Oleh karena itu, penting untuk melakukan tes untuk memastikan tidak ada bakteri Salmonella Typhi di tubuh pasien.
Demam tifoid terjadi di daerah dengan sanitasi buruk dan sanitasi air minum yang buruk.
Air bersih, sanitasi dasar, kebersihan saat pengolahan makanan dan vaksinasi demam tifoid efektif mencegah penularan penyakit ini.
Vaksinasi demam tifoid dianjurkan untuk anak usia 2 tahun dan dewasa usia 45 hingga 65 tahun (tergantung jenis vaksin yang digunakan).
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi bakteri Salmonella typhi:
• Masak hingga makanan siap
• Hindari susu mentah dan konsumsi susu yang dipasteurisasi atau disterilkan
• Hindari mengambil es batu di tempat yang sumber airnya tidak jernih
• Bawakan air minum steril atau air matang
• Cuci tangan Anda dengan sabun dan air mengalir sebelum memegang makanan dan sebelum makan
• Cuci sayuran dan buah-buahan dengan benar
3. Intoleransi laktosa
Banyak orang tua yang keliru menyamakan istilah intoleransi laktosa dan alergi susu sapi.
Meski sama-sama mempunyai karakteristik serupa, namun pada dasarnya kedua permasalahan ini jelas berbeda.
Intoleransi laktosa adalah masalah pencernaan, namun alergi susu sapi melibatkan sistem kekebalan tubuh.
Oleh karena itu, meskipun intoleransi laktosa menyebabkan ketidaknyamanan, namun tidak menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa seperti syok anafilaksis.
Laktosa merupakan sekelompok gula yang terdapat pada susu dan turunannya, seperti yogurt dan keju.
Produk turunan laktosa lainnya adalah roti, sereal, dan makanan kemasan yang mengandung susu dan keju.
Gejala intoleransi laktosa bergantung pada jumlah yang dikonsumsi dan jumlah yang dapat ditoleransi tubuh.
Semakin banyak produk berbasis laktosa yang dikonsumsi, semakin parah gejalanya.
Gejala yang terjadi antara lain mual, sakit perut, kram, kembung, dan mencret yang banyak mengandung gas.
Jika diperlukan dan tersedia di lingkungan hidup, intoleransi laktosa dapat diobati melalui suplementasi enzim laktase.
Selain itu, berikan suplementasi kalsium dan vitamin D jika anak tidak dapat mengonsumsi produk susu dalam jumlah yang cukup.
Dalam beberapa kasus, intoleransi laktosa bersifat sementara.
“Namun pada beberapa orang, intoleransi laktosa berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu, mereka memerlukan bimbingan gizi agar mendapat cukup kalsium dan vitamin D3,” ujarnya.