TRIBUNNEWS.COM.
Hal ini dapat dilihat pada website LKPP SiRUP dengan label “Pekerjaan Perbaikan Rumah Dinas Gubernur DKI Jakarta” dan kode RUP 50774494.
Proyek diserahkan oleh Cipta Karya, Tata Ruang dan Pengelolaan Pertanahan (Citata) DKI Jakarta.
Sumber pendanaan APBD DKI Jakarta tahun 2024, demikian bunyi situs tersebut. Total plafonnya adalah Rp 22.288.335.510″.
Pj Gubernur DKI Jakarta Hero Budi Hartono mengaku Dinas Citata DKI Jakarta tidak memberitahukan usulan proyek renovasi tersebut.
Proyek renovasi tersebut wajib dilaksanakan karena bangunan tersebut dianggap sebagai cagar budaya yang harus dilestarikan.
“Ini bangunan cagar budaya yang harus kita jaga,” kata Hiro, Kamis (18/4/2024). Sejarah Rumah Dinas Gubernur DKI Jakarta
Berbeda dengan Kediaman Gubernur lainnya, Kediaman Gubernur DKI Jakarta tidak memiliki nama namun memiliki kekayaan sejarah Jakarta.
Lokasinya yang dikelilingi kediaman pejabat Indonesia membuat kediaman Gubernur Jakarta tidak terlihat.
Kantor pusatnya terletak di seberang kediaman Kedutaan Besar Amerika Serikat dan kediaman Wakil Presiden Republik Indonesia.
Padahal sejarah kediaman resmi Gubernur DKI Jakarta sangat panjang.
Pasalnya, dalam sejarah Gubernur Jakarta, gedung ini merupakan kediaman pertama Wali Kota Batavia pada masa penjajahan Belanda.
Bangunan itu adalah rumah tuannya. J. G. Bishop, burgermeister (manajer) pertama Geminitrade Batavia yang memerintah Batavia dari tahun 1916 hingga 29 Juni 1920.
Rumah dinas tersebut dirancang oleh Air Copath di lahan yang dulunya merupakan tanah setempat.
Rumah Art Deco ini berukuran 2.000 meter persegi dan terletak di sudut timur laut Taman Sorupati.
Bangunan ini berdinding bata dengan atap berwarna hijau.
Bangunan ini letaknya berbentuk bujur sangkar, dan diisi dengan sebuah rumah berbentuk persegi panjang (persegi) besar atau kecil dan dua buah bangunan pendek.
Perpanjangan panjang menampilkan teras yang sebagian dibangun dan sebagian terbuka (melingkar).
Garis atap yang panjang dan lurus menggantikan pemandangan sebagian besar ruang dinding interior.
Komposisi bangunan memberikan respon dinamis terhadap Taman Surupati sebelumnya.
Bangunan gudang Belanda pertengahan abad ke-20 ini masih asli.
Terdapat perbaikan kecil pada interior dan eksterior bangunan.
Semula atapnya terbuat dari katak lalu diganti dengan rumput hijau.
Sejak dibangun hingga zaman Jepang, gedung ini digunakan sebagai kantor pusat distrik.
Pada tahun 1949 digunakan sebagai markas besar pemerintah daerah Jakarta.
Banyak pejabat dan Gubernur DKI Jakarta yang pernah berkunjung ke rumah dinas ini.
Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1949, Rumah Gubernur DKI Jakarta digunakan sebagai pusat pemerintahan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Di antara sekian banyak pemimpin dan gubernur yang tinggal di gedung ini adalah Walikota Soerio, Ciamsurizal, dan Sodero.
Kemudian Gubernur Sumarno Sosroatmodjo, Henk Nhang, Yeogu Atmodarmento, Sotiyoso, Fawzi Boo, Joko Widodo (Jokowi), Basuki Tjahja Purnama (Ahok), Jarut Saiful Hidayat, dan Anies Baswedan.
Pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadigin, gedung ini digunakan untuk kegiatan Partai Buruh Perempuan Dharma dan Kurdistan.
Sementara Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dan Anies Baswedan tidak menempati rumah yang disetujui Gubernur Jakarta karena memilih tinggal di rumah pribadi yang juga berlokasi di Jakarta.
Namun, di masa pandemi COVID-19, Anies Baswedan yang tertular virus tersebut memilih melakukan isolasi mandiri di rumah yang telah disetujui Gubernur Jakarta.
Pada tahun 2019, DCKTRP DKI Jakarta berencana merenovasi rumah dinas Gubernur DKI Jakarta di Jalan Taman Surupati, Jakarta Pusat.
Perkiraan anggaran proyek ini adalah 2,422 miliar.
Proyeksi anggaran tersebut tercermin dalam Rancangan Kebijakan Anggaran – Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Tahun 2020.
Estimasi anggaran sementara sebesar 2,422 miliar.
Renovasi dilakukan karena rumah tersebut kini menjadi bagian dari cagar budaya sehingga perawatan harus terus dilakukan. (Wartakotaliev / Vitriandi Al-Fajri / Desi Silviani)