Sejarah Hubungan Iran-Israel: Dari Teman Sampai Jadi Musuh Bebuyutan

Perang di Gaza sudah berlangsung hampir setahun. Tidak hanya di Gaza, serangan roket dan drone juga terjadi antara Israel dan Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman selama berbulan-bulan.

Pada akhir Juli, pemimpin asing Hamas, sebuah organisasi yang diklasifikasikan oleh Jerman sebagai organisasi teroris, terbunuh di Teheran. Pemimpin Iran bertekad untuk membalas dendam. Jumat lalu (27/09), Hassan Nasrallah, ketua kelompok Syiah Lebanon Hizbullah, sekutu penting Teheran, tewas dalam serangan udara Israel di Beirut, bersama dengan petinggi Garda Revolusi Iran.

Sebelumnya, serangkaian ledakan pager melukai ratusan pejabat Hizbullah dan menewaskan beberapa orang. Pada saat itu, masih belum jelas apakah dan bagaimana kepemimpinan militer Iran akan menanggapi konflik ini.

Serangan balik Republik Islam dimulai pada Senin malam, 10 Januari. Pengawal Revolusi Iran menembakkan ratusan roket ke Israel. Serangan itu merupakan pembalasan atas pembunuhan pejabat senior Hamas Ismail Haniyeh, Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah dan seorang jenderal Iran, kata televisi pemerintah Iran. Iran – Israel, dari sekutu menjadi musuh

Iran dan Israel tidak selalu menjadi musuh bebuyutan. Hingga Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979, kedua negara merupakan sekutu dekat. Iran bahkan menjadi salah satu negara pertama yang mengakui negara Israel pada tahun 1948. Israel juga memandang Iran sebagai sekutu melawan negara-negara Arab dalam konflik Timur Tengah. Bagi Teheran pada saat itu, Israel, yang didukung oleh Washington, memberikan keseimbangan politik yang baik kepada negara-negara tetangganya di Arab.

Ayo berlangganan Buletin Mingguan Wednesday Bite secara gratis. Tingkatkan pengetahuanmu di tengah minggu, agar topik pembicaraan jadi lebih menarik!

Israel melatih para ahli pertanian Iran, memberikan pengetahuan teknis, dan membantu membangun dan melatih angkatan bersenjatanya. Kemudian penguasa Iran, Shah Mohammad Reza Pahlavi, membayar semua ini dengan minyak, yang sangat dibutuhkan Israel untuk pembangunan ekonomi.

Pada saat itu, Iran mempunyai komunitas Yahudi terbesar kedua di luar Israel. Setelah revolusi Islam, sebagian besar orang Yahudi meninggalkan negaranya. Namun, lebih dari 20.000 orang Yahudi tinggal di Iran saat ini. Revolusi Islam adalah sebuah titik balik

Setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979 dan bangkitnya semangat keagamaan di kalangan revolusioner di bawah kepemimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini, Teheran membatalkan semua perjanjian dengan Israel.

Ayatollah Khomeini terus mengkritik Israel atas pendudukannya di wilayah Palestina. Teheran secara bertahap mengembangkan retorika keras terhadap Israel untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab, atau setidaknya simpati penduduk negara-negara tersebut.

Ketika Israel melakukan intervensi dalam perang saudara Lebanon pada tahun 1982 dan menginvasi bagian selatan negara itu, Khomeini mengirim Korps Garda Revolusi Iran ke Beirut untuk mendukung milisi Syiah di sana. Periode ini menandai kebangkitan milisi Hizbullah, yang hingga saat ini dipandang sebagai perpanjangan tangan Teheran di Lebanon. Konflik semakin mendalam

Pemimpin agama Iran saat ini, Ayatollah Ali Khamenei, yang memegang keputusan akhir dalam segala hal, melanjutkan kebijakan ini. Khamenei dan seluruh pimpinan Republik Islam Iran juga berulang kali mempertanyakan realitas sejarah pembunuhan sistematis terhadap orang-orang Yahudi Eropa di bawah pemerintahan Nazi dan mencoba untuk merelatifkan dan bahkan menyangkal Holocaust.

Iran tidak hanya mendukung Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Gaza, tetapi juga melakukan intervensi dalam perang Suriah, mendukung milisi Houthi di Yaman dan apa yang disebut Gerakan Perlawanan Islam di Irak. Arsitek utama perang bayangan ini adalah Jenderal Garda Revolusi Qassem Soleimani, yang tewas dalam serangan drone Amerika Serikat (AS) pada awal tahun 2020.

Israel tidak berbuat banyak untuk meredakan ketegangan dengan Iran. Dalam pidatonya, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berulang kali membandingkan Republik Islam Iran dengan Nazi Jerman yang secara langsung mengancam eksistensi negaranya. Dia menggambarkan perjanjian nuklir tahun 2015 sebagai “kesalahan bersejarah yang besar”.

Israel telah melakukan beberapa tindakan sabotase terhadap program nuklir Iran. Pada tahun 2020, kepala program nuklir Iran, Mohsen Fakhrisadeh, dibunuh. Surat kabar Inggris The Guardian dan New York Times melaporkan bahwa semua bukti menunjukkan adanya pembunuhan yang ditargetkan oleh dinas rahasia Israel. Israel tidak menyangkal atau membenarkan hal ini. Narasi musuh penuh konflik

“Iran harus mempertimbangkan kembali hubungannya dengan Israel karena sudah tidak mutakhir lagi,” kata Faeseh Hashemi Rafsanjani dalam wawancara pada akhir tahun 2021. Faeseh adalah putri mantan Presiden Iran Ali Akbar Hashemi Rafsanjani dan mantan anggota Parlemen Iran.

Sadegh Zibakalam, seorang politisi terkemuka yang mengkritik pemerintah, juga berulang kali mengkritik kebijakan Iran terhadap Israel. “Sikap ini mengisolasi negara ini di kancah internasional,” tegas profesor Universitas Teheran itu dalam wawancara dengan DW pada tahun 2022.

Di Israel juga terdapat suara-suara yang menyatakan solidaritas terhadap rakyat Iran. Misalnya saja inisiatif media sosial Israel Loves Iran yang pertama kali menjadi berita utama pada tahun 2012.

Pada tahun 2023, kampanye serupa mendukung warga Iran yang turun ke jalan melawan rezim di Teheran setelah pembunuhan Mahsa Amini. Baru-baru ini, ada upaya lain untuk menghidupkan kembali kampanye tersebut dengan menggunakan tagar #IsraelisLoveIranians.

Namun di tingkat politik, setelah serangan Hamas terhadap Israel pada Oktober 2023 dan Israel mendeklarasikan “perang balas dendam”, perjuangan Hamas menjadi lebih ketat dari sebelumnya. Menurut PBB, lebih dari 41.000 warga Palestina tewas dalam perang tersebut, kebanyakan dari mereka adalah wanita dan anak-anak.

Serangan roket Hizbullah dan pemboman Israel di Lebanon selatan hingga ibu kota Beirut memaksa ratusan ribu orang di Israel dan Lebanon mengungsi. Ketakutan akan eskalasi perang sangatlah besar. Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jerman telah meminta semua pihak yang berkonflik untuk menahan diri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *