Sebagian Besar Tindak Terorisme di Indonesia Terjadi karena Pelaku Terpapar Internet

Dilansir reporter Tribunnews.com Eko Sutriyanto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen R. Achmad Nurwakhid mengatakan, terorisme berdasarkan informasi terutama disebabkan oleh pengaruh konten di Internet.

Achmad Nurwahid dalam diskusi publik bertajuk “Cinta Masyarakat Indonesia” dari Balik Jeruji di Kuningan, Jakarta Selatan, mengatakan, “Di dunia maya, konon paparan terorisme saat ini hampir 80 persen, karena dunia maya.” /12). 5/2024).

Situasi ini diperparah dengan masuknya ide-ide secara masif di era digital, sehingga diperlukan pengelolaan dan pemantauan yang ketat terhadap berbagai ide.

“Kita harus menghentikan ini, kita harus berupaya dalam periklanan dan membangun batasan. Kami berhenti menyumbang, mengangkut atau mendanai terorisme,” kata Achmad.

Dia menekankan bahwa ekstremisme dan ide-ide delusi tidak ada hubungannya dengan agama apa pun. Namun seringkali ada stigma yang melekat pada keyakinan tersebut.

“Apakah ekstremisme ada hubungannya dengan agama? Saya tekankan bahwa ekstremisme, ekstremisme tidak ada hubungannya dengan agama. tetapi dengan orang-orang beragama. Biasanya tergantung agama mayoritas di daerah tersebut,” kata Achmad.

Direktur Pembinaan Narapidana dan Anak Pendamping Dirjen Van Pas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Erwedi Supriyatno mengaku mendukung program pembinaan narapidana teroris (Napiter) di lapas yang salah satunya berwawasan nasional.

Napitarisme hanya salah paham atau ideologi palsu, dan terorisme bukan agama, kata Erwedi Supriyatno.

Dikatakannya, program pengembangan mendalam nasional berkaitan dengan pihak-pihak terkait dalam pemberantasan terorisme, termasuk BPIP dan BNPT.

Salah satunya melalui program klinik Pancasila, perpustakaan Pancasila di lapas dan lain sebagainya. Ia mengungkapkan, rehabilitasi sosial merupakan wujud nyata pengelolaan narapidana di Indonesia.

Pasalnya, sebelumnya hubungan dengan Napiter kerap menimbulkan keresahan.

“Dulu kami dibuat kewalahan dengan perlakuan Napiter dalam hal penempatannya. Ada juga pemberontakan Napiter di penjara,” ujarnya.

“Selain itu, ada kecenderungan Napiter menular ke narapidana lain, seperti narapidana narkoba. Kalaupun satu blok, mereka bisa mempengaruhi dan ini berdampak besar,” imbuhnya.

Dikatakannya, informasi terkini menunjukkan bahwa pada tahun 2023 terdapat sedikitnya 223 orang Napiter yang telah menyatakan janji setianya kepada NKRI dan 169 orang Napiter yang menyatakan janji setianya kepada NKRI pada tahun 2024. “Tren terkini Napiter perempuan sangat tinggi.

Dan ini menjadi perhatian kami,” ujarnya.

“Kami terus memberikan masukan, salah satunya melalui program safari misi bersama Napiter yang telah berjanji setia kepada NKRI,” imbuhnya.

Staf khusus Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), orang tua Antonius Benny Susetyo mengungkapkan hal serupa.

Ia mengatakan, penanganan terorisme tidak mudah karena berkaitan dengan ideologi.

Untuk itu, menurutnya, diperlukan pendekatan holistik dengan pendekatan Pancasila. Baik secara ekonomi maupun sosial.

“Benar, permasalahan saat ini adalah merebaknya radikalisme di era digital. Dan ini sangat sulit karena media sulit diakses dalam ruang dan waktu,” ujarnya.

“Mereka menyebarkan ekstremisme di dunia maya. Ini tantangan kita, apalagi ruang digital kita masih satu arah,” imbuhnya.

Ia menambahkan, penting untuk melibatkan pegiat media sosial dalam menciptakan model pendidikan Pancasila yang modern. Alasannya, pola pendidikan Pancasila lama kurang populer di kalangan generasi milenial. “Kalau anak zaman sekarang diajari P4, dalam waktu satu jam mereka akan tertidur,” ujarnya.

“Kita harus membuat film seri Napiter yang menarik tentang bagaimana mereka ingin berkomitmen pada NKRI,” imbuhnya.

Pengamat Kebijakan Pengawasan dan Penegakan Imigrasi Erwin Hendra Winata mengatakan, penyelesaian terorisme Imigrasi juga mencakup pengawasan. Baik WNI yang terpapar ekstremisme maupun WNA yang dilaporkan terkait ekstremisme.

Pendekatan kami mirip dengan kasus ISIS, banyak WNI yang mengajukan dokumen untuk keluar negeri. Ketika kembali, mereka terungkap, kata dia, di rumah tersangka teroris di Turi Cemani RT 02 RW 08, Grogol Sukoharjo, Kamis. (8-3-2023).

“Kami masih melarang orang asing masuk ke Indonesia dan mengajukan visa turis, tapi pergerakannya kegiatannya adalah intelijen dan lain-lain. Dan kita melakukan koordinasi dengan BIN, BNPT dan lembaga terkait lainnya,” imbuhnya.

Nasir Djamil, Anggota Komite III DPR RI dari Partai PKS, mengatakan penanganan ekstremisme tidak semudah membalikkan tangan.

Apalagi kasus residivisme Napiter terus terjadi. Jadi bicara pemusnahan akar, efektif atau tidak? Saya belum bilang. Karena masih ada kasus residivisme Napiter, ujarnya.

Menurutnya, deradikalisasi diperlukan setelah adanya pemidanaan. Pasalnya, label teroris membuat Napiter kesulitan mendapatkan pekerjaan. Selain itu, perlu adanya program lanjutan bagi narapidana.

Jadi latihan Napiter sesuai dengan levelnya. Hal ini juga memerlukan kemauan politik dari pemerintah yang serius dalam mengatasi ekstremisme.

“Kami sudah dipetakan oleh BNPT daerah mana yang masuk kategori merah atau hijau sehingga bisa diciptakan alat untuk melakukan mitigasi,” ujarnya.

Terorisme tidak hanya menjadi masalah nasional, namun juga menjadi masalah global yang mempunyai dampak yang luas bagi negara-negara di dunia.

“Ancaman terorisme bisa datang dari mana saja dan kapan saja, sehingga diperlukan kewaspadaan dan kerja sama semua pihak untuk menghadapinya,” kata Sumber Rajasa Ginting, penyelenggara FGD.

Keterangan: Bincang-bincang publik bertajuk Cinta NKRI dari balik bar di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (28/5/2024).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *