‘Saya kerja halal, enggak merugikan orang’ – Polemik penertiban parkir liar yang disebut tidak selesaikan akar persoalan, mengapa sulit diberantas?

Banyak daerah yang memperketat penindakan parkir liar menyusul keluhan warga di media sosial tentang parkir liar yang mereka yakini ilegal.

Pasalnya, operator parkir liar dikabarkan kerap memaksa pengemudi membayar sejumlah biaya dan jika menolak akan menimbulkan kekacauan.

Kepala Dinas Tata Kota, Nirwono Yoga, mengatakan penindakan dengan cara mencegah parkir liar tidak akan efektif memberantas parkir liar yang sudah marak.

Sebab dibalik parkir liar tersebut, lanjutnya, ada kesalahan pemerintah daerah (Pemda) yang tidak menegakkan aturannya sendiri dan adanya dugaan keterlibatan serikat pekerja dan pengurus.

Lalu, apakah ada solusi untuk masalah ini? Dinas Perhubungan DKI Jakarta menangkap 127 pengemudi gelap

Pemprov DKI Jakarta menertibkan secara ketat tempat parkir liar yang beroperasi mulai dari pasar kecil hingga pertokoan (ruko).

Hal itu dilakukan setelah banyak warganet yang mengeluhkan di media sosial mengenai adanya juru parkir ilegal yakni juru parkir yang terpaksa memungut biaya kepada pengguna di banyak toko kecil.

Dalam video yang menjadi viral

Konon pelanggan menolak membayar karena di toko kecil tersebut terdapat tanda bertuliskan: parkir gratis.

Akibatnya, terjadi ketegangan antara sopir bus ilegal, pelanggan, dan pekerja pasar kecil.

Baru-baru ini juga ada kasus pengemudi gelap yang membebankan biaya parkir kepada pengunjung Masjid Istiqlal sebesar Rp 150.000. Video tersebut viral di media sosial dan berujung pada penangkapan jukir ilegal tersebut.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan pihaknya telah melakukan penyerangan terhadap 127 pengemudi gelap sejak 15-16 Mei.

Keputusan itu diambil bersama tim gabungan yang terdiri dari personel Perhubungan DKI Jakarta, Satpol PP, dan TNI/Polri.

Dia menjelaskan, tim menangkap 55 pengemudi gelap di berbagai supermarket dan toko kecil di wilayah Jakarta pada 15 Mei. Kemudian pada 16 Mei, sedikitnya 72 pengemudi gelap ditangkap di 66 tempat.

Syafrin Liputo melalui keterangan tertulis, Jumat (17/05). Pengemudi ilegal: ‘Saya bekerja halal, saya tidak menyakiti orang’

Petugas parkir liar di kawasan Jakarta Pusat, Junaedi – bukan nama sebenarnya – mengaku sedikit khawatir dengan penyerangan yang kini dilakukan Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Alasannya, hal ini hanya akan menjadi lebih buruk jika terjebak dalam prosesnya.

Pria yang berprofesi sebagai supir di restoran tersebut menuturkan, pekerjaannya tersebut sudah ia jalankan sejak akhir tahun 2016 lalu.

“Awalnya saya kerja di bengkel, lalu di daerah saya tidak ada cukup orang yang mengurus stasiun. Jadi, saya gantikan teman yang sakit, sampai sekarang,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Tempat parkir yang dijaga Junaedi sangat luas. Tempatnya berada di luar restoran dan dapat menampung hingga 20 mobil.

Ia mengaku tidak menuduh para tamu tersebut.

Ada kalanya pengunjung berkendara untuk memberikan 5.000 Rp atau Rp.

Junaedi mengantongi uang yang didapatnya dari stasiun. Tidak ada deposit bagi pemilik tempat yang juga pemilik restoran. Termasuk beberapa organisasi besar.

“Perhitungannya, kalau aku kerja, aku dapat uang. Kalau tidak, aku tidak dapat uang. Aku bawa makanan dan minuman atau beli sendiri.”

“Aku juga tidak bayar. Sesederhana yang bisa kulakukan. Tapi aku kerja dengan baik, sesampainya aku hentikan, kalau mau berangkat aku ambil. Tidak ada kekurangan tinggi jangan sampai kehilangan tamu.”

Junaedi bekerja sebagai pengemudi mobil liar dari Selasa hingga Minggu. 12:00-18:00 WIB.

Dalam sehari ia bisa mengantongi antara Rp100.000-Rp150.000.

Jika disimpan, uang yang didapat sekitar Rp 3,7 juta per bulan. Baginya, gambaran itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan di Jakarta.

“Bersyukur saja kamu bisa terus bekerja daripada menganggur?” katanya sambil tertawa.

Selama menjadi pengemudi gelap, Junaedi mengatakan, ada kalanya Dinas Perhubungan DKI Jakarta sedang bekerja jika ada laporan warga yang mengeluhkan kecelakaan lalu lintas di wilayah kerjanya.

Dan setiap kali dia melapor ke pihak berwenang, dia mengaku tidak melarikan diri.

Kepada Polisi Lalu Lintas, pria gempal ini akan menjelaskan bahwa berlalu lintas bukan hanya soal parkir. Namun, ada pengemudi yang datang sesuai permintaan.

Selain itu, ia juga menganggap pekerjaannya sebagai pengemudi mobil liar adalah pekerjaan yang halal.

“Saya bekerja halal, saya tidak berbohong, mencuri atau menyakiti orang. Itu sebabnya jika mereka datang kepada saya, saya bekerja untuk mereka.”

“Jika ditanya mengapa terjadi kecelakaan lalu lintas seperti itu, saya akan menjawab bahwa kemacetan pada jam makan siang adalah hal yang wajar, terutama di pertokoan di pinggir jalan.”

“Mereka juga mengerti.”

Saat ditemui pihak angkutan, Junaedi tidak ditangkap atau diberhentikan sebagai sopir ilegal. Sebagai imbalannya, jika mereka ingin membeli sesuatu, maka akan dilakukan.

“Misalnya dia mau rokok, saya harus beli. Ya namanya parkir liar, tanpa izin.”

Terkait penyetoran uang ke beberapa pihak, kata dia, praktik tersebut terjadi di tempat parkir yang pengemudi gelapnya bukan warga sekitar alias orang yang memesan.

Atau parkir liar itu di tempat orang.

“Sejauh yang saya tahu, sebagian besar simpanan disalurkan ke organisasi besar yang mengendalikan wilayah tersebut.” Mengapa parkir liar sulit diberantas?

Perencana kota Universitas Trisakti, Nirwono Yoga mengatakan, penindakan seperti penangkapan pengemudi liar yang dilakukan Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan kabupaten lain pada hari kemarin belum mampu menyelesaikan permasalahan parkir liar yang ada. telah dibiarkan tumbuh selama bertahun-tahun.

Dia mengatakan, akar permasalahan parkir liar adalah kurangnya lahan parkir yang memadai dan lemahnya penegakan hukum.

Dalam Peraturan Daerah (Perda) Otoritas Khusus Negara Jakarta Nomor 5 Tahun 2012 tentang Perparkiran disebutkan bahwa semua bangunan umum dan/atau rencana kegiatan dan/atau usaha wajib mempunyai tempat parkir sebagai tempat parkir. Persyaratan Satuan (SRP).

Namun bila tidak memungkinkan untuk menyediakan tempat parkir sendiri, maka dapat digabungkan atau digabungkan dengan bangunan lain di dekatnya.

Perparkiran harus direncanakan sesuai dengan peraturan seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), keselamatan dan persaingan, keselamatan dan keamanan pengguna parkir, keselamatan lingkungan, kenyamanan pengguna parkir, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, serta. seperti pertemuan. SRP minimal.

Namun, kata Nirwono Yoga, peraturan tersebut seringkali tidak dipatuhi oleh dunia usaha atau pemerintah daerah.

“Jadi setiap pusat bisnis dan pemerintah daerah harus menyediakan tempat parkir, itu penting. Karena mereka mengundang masyarakat untuk datang ke sana,” kata Nirwono Yoga kepada BBC News Indonesia, Jumat (17/05).

“Sayangnya, peran ini tidak terpenuhi, bahkan gedung-gedung pemerintah di kota dapat melihat bahwa tempat parkir mobil terlalu luas di jalan, sehingga semua tempat parkir menjadi ilegal.”

Dalam banyak kasus, kata dia, sering ditemukan pemilik usaha seperti kafe atau restoran yang tidak memiliki lahan parkir yang cukup. Meski ada tempat parkir, namun tidak dirawat dengan baik.

Di sinilah terjadi parkir liar dan ironisnya tidak ada petugas polisi.

“Terakhir, parkir liar tidak dilihat sebagai kejahatan tapi peluang untuk mendapatkan uang. Tempat-tempat yang tidak parkir dikendalikan oleh beberapa orang atau organisasi besar.”

“Banyak parkir liar yang dikelola dengan dukungan kepolisian dan organisasi besar, kenapa? Karena parkir liar menghasilkan keuntungan paling besar.”

Wakil Ketua Forum Warga Jakarta (FAKTA), Azas Tigor Nainggolan mengatakan, bisnis parkir liar di jalanan Jakarta bisa menghasilkan ratusan juta rupiah dalam setahun.

Tigor memperkirakannya dari nominal rata-rata parkir liar yang dibayar yakni Rp 10.000 dan sudah termasuk waktu parkir baik delapan jam sehari.

Jumlah tersebut kemudian mencakup total 16.000 tempat parkir liar (SRP) di Jakarta.

“Kalau kita hitung parkir hanya berfungsi delapan jam sehari dan upah rata-rata Rp 10.000 per jam, maka pendapatan parkir liar di Jakarta adalah Rp 10.000 x 8 x 16.000, yaitu Rp 1,28 miliar per hari. 38,4 miliar per hari. bulan dan tahun sebesar Rp 460 miliar,” kata Tigor seperti dilansir Kompas.com. Apa solusi terhadap parkir liar?

Nirwono Yoga menilai, jika Pemprov DKI serius memberantas bisnis parkir liar, maka tidak boleh ada pilih kasih.

Kebijakan saat ini juga harus menargetkan pengemudi ilegal di semua tempat komersial yang tidak mematuhi Peraturan Parkir.

Jika mengandalkan UU 5 Tahun 2012, semua orang pribadi dan/atau pelaku usaha yang dinyatakan menyewa tempat parkir di tempat yang belum mendapat izin gubernur bisa dikenakan denda hingga Rp35 juta.

Sementara itu, bagi pelaku usaha atau badan hukum yang menyelenggarakan parkir tanpa izin Gubernur akan dikenakan sanksi berupa denda karena melakukan pemberitahuan, pembekuan, dan pembatalan izin; dengan denda paling banyak Rp 50 juta.

“Kalau toko kecil-kecil saja kan tidak adil, semua pelaku usaha harus disiplin. Karena sama saja. Coba di tempat yang tidak ada parkir legalnya? Bayar saja tempat percetakannya, itu pungli.”

Dalam UU Perparkiran Daerah, lanjutnya, pemerintah daerah telah memberikan solusi bagi pelaku usaha yang mengalami kendala dalam membangun parkir karena keterbatasan lahan.

Usaha-usaha ini dapat berkolaborasi dengan usaha lain untuk menciptakan tempat parkir mobil vertikal yang dapat menampung lebih banyak kendaraan.

Nirwono meyakini warga akan mengikuti parkir di tempatnya dan membayar sesuai nama resmi retribusi jika pemerintah setempat menyediakan tempat parkir yang cukup.

Hal ini terbukti ketika mantan Perdana Menteri Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memanfaatkan pembangkit listrik di berbagai wilayah Jakarta.

“Saat itu pengguna parkir harus menggunakan kartu parkir yang dikeluarkan Bank DKI Jakarta dan itu merupakan pendapatan yang luar biasa karena menghentikan aliran air di kawasan tersebut.”

“Petugas parkir juga punya kendali di lapangan karena ketatnya pemerintah setempat.”

“Sekarang dia sudah tiada, tidak mencalonkan diri, polisi sudah tidak ada lagi. Jadi intinya asal pemerintahannya bersih, stabil maka dia bisa bekerja di lapangan. Kan tidak enak kalau dia tidak dipakai lagi.” ” Apa saja langkah yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta?

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan memperingatkan dan menindak jika ada yang menerima uang jaminan dari parkir liar.

Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono membenarkan telah mendapat laporan dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo terkait kehadiran Ketua RT oknum penerima uang titipan dari juru parkir liar tersebut.

“Iya, saya dapat laporan dari Direktur Pelayanan Perhubungan DKI Jakarta seperti itu. Lalu, melalui proses yang ada saat ini, ada Asisten Pembangunan [Aspem], prosedurnya kepala desa dipanggil RT atau RW juga, Supaya mereka mendapat informasi dan bekerja,” kata Heru di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Jumat (17/05) dilansir Antara.

Heru mengatakan, pihaknya perlu melakukan pengusutan mendalam atas kasus tersebut untuk mengetahui benar atau tidaknya kejadian tersebut. Jika ternyata benar, maka orang tersebut bisa berubah.

“Iya tentu ada perdanya, kita kendalikan perdanya, ada semua peraturannya. RT juga ikuti perdanya, kalau tidak ada disiplin mengajar bisa berubah,” kata Heru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *