Sambut Pemerintahan Baru Suriah, Prancis Kembali Kibarkan Bendera di Damaskus setelah 12 Tahun Absen

TRIBUNNEWS.COM – Peristiwa bersejarah disaksikan di Kedutaan Besar Prancis di Suriah, di Damaskus pada Selasa (17/12/2024).

Untuk pertama kalinya dalam 12 tahun, bendera Prancis akhirnya bebas berkibar lagi di Suriah.

Sebelumnya, bendera Prancis dilarang berkibar di Suriah atas perintah Bashar al-Assad pada tahun 2012.

Selain melarang bendera Prancis pada tahun itu, rezim Assad juga memutuskan hubungan dengan Prancis di tengah perang saudara yang dipicu oleh fenomena Arab Springs saat itu.

Pemerintah Prancis juga bereaksi terhadap pengibaran bendera mereka di kompleks kedutaan di Damaskus.

Prancis menegaskan perintah pengibaran bendera di Suriah.

Namun, pengibaran bendera Prancis bukan berarti kedutaan mereka kembali beroperasi setelah 12 tahun memutus hubungan dengan Suriah.

Prancis mengaku masih menunggu komunikasi dengan pemerintah baru Suriah setelah rezim Assad digulingkan.

Langkah Perancis untuk menunggu juga didasarkan pada upaya beberapa negara Barat yang secara bertahap membuka saluran komunikasi dengan otoritas baru di Damaskus.

Bahkan ada di antara mereka yang mengirimkan delegasinya untuk menemui pemimpin kelompok “Hayat Tahrir al-Sham” (HTS), Ahmed al-Sharia, yang menggulingkan rezim Assad.

Hal ini terlihat dari langkah yang dilakukan Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS).

Berita itu dikonfirmasi oleh ketua UE. Politik luar negeri, Kaja Kallas pada Senin (16/12/2024).

Dikutip Times of Israel, Kallas menyatakan telah memerintahkan diplomat senior Uni Eropa untuk terbang langsung ke Damaskus.

Diplomat yang ditunjuk oleh UE Suriah ditugaskan untuk menjalin hubungan dengan pemerintahan baru negara tersebut.

Upaya UE untuk mendekati HTS juga dilakukan oleh AS. dia. Di akhir minggu lalu.

Meskipun HTS terdaftar sebagai organisasi teroris di Amerika Serikat pada Data Departemen Luar Negeri tahun 2018, tidak menghentikan upaya mereka untuk mencapai kemajuan.

Pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh Amerika Serikat. dia. Menteri Luar Negeri Antony Blinken Sabtu (14/12/2024).

Pada konferensi pers di Yordania, Blinken secara terbuka mengkonfirmasi kontak antara pemerintahan Biden dan HTS, yang memimpin koalisi kelompok oposisi bersenjata yang menggulingkan Assad.

Blinken sendiri enggan membahas detail pembicaraan langsung dengan HTZ.

Namun, dia menekankan bahwa penting bagi Amerika Serikat untuk melakukan hal tersebut

– Ya, kami telah melakukan kontak dengan HTS dan pihak lain, kata Blinken di kota pelabuhan Aqaba.

Blinken menegaskan itu adalah tujuan utama Amerika Serikat

“Pesan kami kepada rakyat Suriah adalah: kami ingin mereka berhasil, dan kami siap membantu mereka mencapainya,” tutup Blinken. Kisah Pelarangan Bendera Prancis di Suriah Foto selebaran yang disediakan oleh Saudi Press Agency (SPA) pada 11 November 2023, menunjukkan Presiden Suriah Bashar al-Assad menghadiri pertemuan darurat Liga Arab dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) , di Riyadh. (Agen Pers Saudi/AFP)

Larangan mengibarkan bendera Perancis dimulai pada tahun 2011, ketika Suriah dilanda gelombang protes besar-besaran yang dimulai sebagai bagian dari Arab Spring yang menyebar ke seluruh wilayah Arab.

Dikutip BBC, bendera Prancis saat itu kerap digunakan oleh beberapa kelompok oposisi penentang rezim Bashar al-Assad pada periode awal konflik sipil di Suriah.

Beberapa kelompok tersebut melihat bendera Prancis sebagai simbol kebebasan dan perlawanan terhadap kekuasaan Assad, mengingat Suriah pernah menjadi jajahan Prancis.

Namun selang beberapa waktu muncul reaksi keras dari rezim Assad terkait tindakan tersebut.

Pada tahun 2012, di tengah meningkatnya ketegangan dan protes, pemerintah Suriah mulai melarang penggunaan bendera Perancis.

Rezim Assad bahkan memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Prancis, karena negara tersebut diduga berada di balik pemberontakan yang terjadi pada Arab Spring.

Dikutip dari artikel Guardian pada 7 Desember 2012, Prancis diketahui terlibat dalam pendanaan Liwa al-Tawhid, kelompok milisi berkekuatan 8.000 orang yang berperang di bawah bendera pemberontakan Suriah.

Saat itu, Liwa al-Tawhid membenarkan bahwa bantuan keuangan dari Perancis cukup untuk kemampuan finansial mereka untuk membeli amunisi tambahan.

Surat kabar Perancis Le Figaro juga melaporkan pada saat itu bahwa penasihat militer Perancis juga bertemu dengan kelompok pemberontak Suriah di daerah antara Lebanon dan Damaskus.

Saat itu juga diberitakan bahwa kelompok HTS yang dulu bernama Jabhat al-Nusra menerima dana dari Paris untuk menggulingkan rezim Assad.

(Tribunnews.com/Bobby)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *